Senin, 28 Mei 2012


Renungan akan arti suatu kepercayan dan pergi dari jalan untuk sutu hubungan yang dalam kecemburuan
tampa aku sadri ku uda menyakitinya, meski terkadang niat tuk sebuah kemajuan masa depan namun bila ini menyakiti apa salahnya kita tinggalkan, kadang ku tak percaya dan kadang pula dari mereka yang tidak percaya.... kehadiran suatu hubungan bukan karena suatu keadaan namun kenyataan hari ini relasi membentuk suatu keadaan....... lupakan segalanya demi sebuah hubungan
mungkin ini menyadarkanku. hagrai suatu hal bukan bertindak demi suatu hal yang menurutmu baik. bila ku teruskan minatku maka harapan besarku akan hancur karena salahku yang menilai dalam satu dimensi <apa yg="" aku="" perbuat="" untuk="" menggantikan="" opsesiku="" dari="" jalan="" yang="" berbeda="" pula=""></apa>
keputusan untk meninggalkan sesuatu dmi harapan bagiku bukan hal yang mudah tp ni keharusan demi harmonisasi harapanku bersamanya, apa yg bisa aq lakukan lagi untuk menjadi manusia dan derajat ku hari esok ? bila ku bingung dan diam tampa berpikir tentang nanti aq berbuat apa ,mungkin aku bukan lah aku. heri esok ku lebih peting namun harapanku bersamanya jauh lebih berharga. inikah "masih banyak jalan menuju roma".

jika berat meninggalkan maka jgan memaksakan, jika itu jga pnting bagimu,.,.tpi cbalah komunikasi yg lebih baik lagi, mgkin itu lebih baix u/ sbuah hrpan itu.

untuk apa memaksakan suatu jalan bila di awalnya telah membuat kapal yang berlayar ini lepas kendali... harapku hanya kangenku dengan tujuan yang ku nanti di akhir pelayanku ini

menyalahkan ini semuanya karena ku <benarkah atau="" ternyanya="" sama="" saja=""> aku percaya mungkin itu hanya batuan karang yang mengalihkan pelayarku menjadi kandas, aq percaya dan yakin tk ada misi dari yg kau jalani <namun ini="" membingungkanku="" ap="" hanya="" sebuah="" modus="" untk="" menanamkan="" penyesalan="" bila="" berakhir="" aku="" tk="" sama="" sepertimu="" itu="" kata="" mu="" namun="" hari="" in="" dan="" kemarik="" aq="" ngak="" pernah="" tau="" masih="" saja="" percaya="">

aku ngak percaya bila kau seprti yang ada dalam pikiran ku

sendiri dengan mu masalhku.


Kamu benar saat mengatakan manusia tidak ada yang sempurna, dan kenyataannya aku adalah Manusia. Semua hal yang aku lewati malam itu adalah sebuah kewajaran atas diriku sebagai manusia, aku bisa merasakan banyak hal. Aku bisa merasa sangat bahagia, aku juga bisa merasa sangat kecewa, sakit dan terluka. Karena aku adalah manusia. Tapi lain halnya jika aku sudah mulai mati rasa, enggan lagi merasa apa-apa. Tak lagi punya keinginan, hanya bisa diam dan coba menuruti kemana arah membawaku pergi.
Masalahku bukanlah kamu, bukan kalian atau mereka, tenang saja, aku tidak mencari kambing hitam dari sekelumit rasa sakit yang sedang aku nikmati. Masalahku adalah kehidupan. Kehidupan yang begitu rumit, kehidupan yang kadang tak adil dalam kacamata pandanganku. Ya, masalahku adalah kehidupan itu sendiri, dimana bernaung didalamnya makhluk-makhluk hitam putih dengan kadar yang berbeda. Makhluk-makhluk yang berjenis sama denganku, ku sebut saja mereka "manusia lainnya". Entah aku yang tak mengerti bahasa mereka atau mereka yang tak mengerti bahasaku, kedengarannya bahasa kami sama, namun kenapa sulit sekali menemukan ke-se-pemahaman diantara aku dan kamu dan lainnya, ya diantara kami. Masalahku bukan kalian, masalahku adalah kehidupan, yang menyimpan banyak sosok manusia yang kadang tak aku suka bentuk sifatnya, tapi tak sedikit pula yang aku suka juga. Kadang aku bertanya, kenapa ada manusia yang tak seimbang dalam dirinya. Hanya ada keinginan meminta saja tanpa ada rasa ingin memberi. Hanya ada keinginan Bicara saja tanpa ada rasa ingin mendengarkan. Bukankah hidup itu akan indah saat tercapai keseimbangan didalamnya?
Seorang tua pernah mengingatkanku,

"tuntutlah dirimu sendiri, sebelum kamu menuntut orang lain".

Aku tidak akan menterjemahkannya disini, karena aku pun tidak mengerti banyak. Aku tidak ingin menuntut orang lain. Sesungguhnya yang aku inginkan selama ini adalah keseimbangan dalam kehidupanku, dimana separuh waktu aku gunakan untuk mendengarkan dan separuhnya lagi untuk bicara. Pada saat sepanjang waktu aku dituntut untuk mendengar dan kehilangan waktu untuk bicara, disana ketidakseimbangan terjadi dalam hidupku. Dan disana, masalahkupun tercipta.
Aku sedang bicara pada diriku sendiri saat ini, wajar jika kamu tak mengerti apa yang sedang aku tulis. Karena terkadang yang terucap dariku hanya setengahnya saja, ku biarkan yang mengerti yang mencoba menggali makna atas sajianku sore ini
Aku adalah manusia, Masalahku adalah kehidupan...

Kamis, 24 Mei 2012


“Ulasan  fenomena peraturan daerah bermasalah”

 Republik Indonesia (RI) didirikan tertutama untuk mewujudkan cita-cita besar, yaitu mensejahterahkan rakyatnya. Gagasan itu termaksud  dalam pembukaan UUD 1945 dan secara operasional dikukuhkan dalam pasal 18 UU 1945  melalui konsepsi otonomi daerah. Beberapa model  otonomi daerah  telah dilansungakan di indonesia berdasarkan dengan pergantian rezim.  Sejak era pascakemerdekaan,  era pemerintahan orde lama hingga orde baru  kebijakan  sentaralisasi  yang diterapakan hasilanya tidak subtansial dan tidak signifikan bagi masyarakat daerah. Suatua hal yang berbeda dari yang sebelumnya, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Daerah Dengan Pemerintahan Pusat telah merubah pendahulu  dari sistem sentaralistik menjadi sistem disentaralistik. Pemerintahan daerah relatif  memiliki kewewenang untuk mengelolah daerahnya dan belajar untuk lebih mandiri.  
Dibawah naungan Negara Keasatuan Republik indonesia (NKRI) kebijakan desentraliasi diterapkan dengan tujuan utama untuk  meningkatakan pelayanan kepada masyarakat  dan mensejahterakan  rakyat. Adalah jelas bahwa otonomi daerah yang hendak dibangun di negeri ini dimaksudkan untuk memberdayakan pemerintah daerah  dan masyarakatnya  sehingga daerah bisa lebih maju secara ekonomi dan politik. Seiringan dengan itu  pemerintah daerah yang demokratis pun diharapkan  bisa diwujudkan. Untuk merealisasikan  tujuan otonomi daerah tersebut, diperlukan instrumen hukum yang beperan aktif mendukung keberhasilannya.
Peraturan daerah (Perda) merupakan pilar utama yang memayungi relisasi otonomi daerah. Sebagaimana halnya  undang-undang, peraturan daerah memiliki karakteristis yang bersifat mengatur, khususnya mengatur relasi antara pemerintahan lokal, masyarakat lokal  dan stakeholder lokal seperti dunia usaha. Peraturan daerah bukan hanya mengatur tentang hal-hal yang menyangkut  kehidupan politik, sosial,  dan budaya masyarakat, tetapi juga ekonomi daerah. Karena itu, perda menjadi instrument penting dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan pada umumnya.
Di tataran praktis, perda yang dibuat belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibatnya, muncul pembatalan Perda oleh Depertemen Dalam Negri (Depdgri) dan Mahkamah Agung. Pembatalan Perda tersebut disebabkan oleh keinginan pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan melalui pajak  dan retribusi  yang tak jarang justru melanggar undang-undang   atau peraturan yang diatasnya. Sebagai contoh, menurut kajian Depertemen Dalam negri(Depdagri), dari 5.054 Perda yang diterima  selama periode 1999-2006, 930 diantaranya adalah Perda bermasalah. Dari jumlah tersebut, Depdagri telah membatalkan 506 perda bermasalah, 156 Perda di revisi dan 24 Perda dibatalkan sendiri oleh Pemda. Sementara itu, selam periode 2007 perda yang dibatalkan berjumlah 173.
Secara menyeluruh dapat disimpulakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan sejak 2001 dipahami secara berbeda oleh pemerinthan pusat dengan daerah. Hal ini tercermin dengan jelas dari regulasi yang dibuat  daerah-daerah yang tak jarang  dinilai melanggar peraturan atau rundang-undangan diatasnya. Dia satu sisi, pemerintahan pusat  telah membuat payung hukum berupa UU, PP, dan Peraturan Sektoral, tetapi juga sering bertentangan dalam hal harmonisasinya  sehingga menbingungkan daerah. Selain itu adalah  kurangnya pendampingan  dan pengawasan pemerintah terhadap pembuatan peraturan daerah  kurang memadai,daerah cenderung dibiarkan  membuat  dan merumuskan perda sehingga hasilnya kurang berkwalitas, kurang bisa di pertanggung jawabkan dan bahkan menimbulkan  permasalahan dalam masyarakat.
Ada beberapa factor yang menyebabkan perda dinilai bermasalah: pertama kurangnya fleksibelnya  aturan hukum yang mendukung proses pembuatan Perda. Kedua proses pembuatan Perda seolah-olah menjadi sebuah rutinitas pekerjaan saja, tampa ada upaya lebih khusus untuk menciptakan aturan yang lebih berkwalitas. Ketiga selain itu pelaksana pembentukan peraturan daerah (biro hukum dan perundang-undangan), dalam halnya seringkali tidak didasarkan pada skala prioritas isu yang ada dalam masyrakat. keempat proses  pembentukan perda masih kurang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam keseluruhan proses pembentukan Perda.
Factor-factor yang mengahambat dan mendukung  proses legeslasi  di daerah terutama terkait dengan kelembagaan ,baik di lembaga ( Pemda atau DPRD) maupun terkait dengan koordinasi  dengan lembaga lainnya. Dalam konteks lembaga pembuat perda yaitu  dewa perwakilan rakyat daerah (DPRD), kewenangan yang dimiliki (DPRD) hingga kini tdak di iringi dengan kinerja yang memuaskan. Pencapaian yang kurang memuaskan tersebut disebabkan oleh beberapa kendala yang terkait dengan proses legislasi daerah di tingakat DPRD, diantaranya : tidak adanya pengaturan yang memadai tentang tata cara penyampaian reperda secara komperensif, ketidak sinkronan  perundang-undangan yang berlaku mengenai perlu adanya keberadaan lembaga legislasi, pemberlakuan empat tingkat pembicaraan di tingkat pembicaraan di tingkat DPRD yang menjadikan kurang efisiennya pembahasan reperda, ketiadaan peraturan mengenai perlu atau tidaknya  naskah akademik,  peraturan yang memadai tentang partisipasi publik dalam pembentukan reperda dan kurangnya dukungan SDM dan anggaran dalam pembentukan Perda di DPRD.
Hambatan di lembaga eksekutip  (Pemda) sebagimana diungkapkan diatas bahwa  sistem penganggaran dan pertanggung jawaban yang tidak fleksebelitas. Kopentensi di lembaga pemda yang sering berganti-ganti  posisi jabatan. serta kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga yang seharusnya  dapat memberikan peran optimal dalam pembuatan Perda  seperti Depdagri( dalam kontek  hirarki) Dephukham ( dalam kontekssubtansi yang menyangkut HAM) serta Depertemen yang terkait. Pemda, bahkan  harus mengundang staf di Depertemen tersebut  secara pribadi untuk memberikan masukan atas draf reperda yang di buat.
Untuk mencegah agar perda tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi  maka pemberdayaan pemerintahan daerah  melalui  peningkatan kapasitas pembentukan peraturan daerah perlu dilakukakan. Peningkatan teknis pemerintahan daerah dalam memahami materi kewenangan yang dimilikinya, wilayah wewenangnya,enggang waktu kewenangannya  dan prosedur pembentukannya, perlunya pengaturan yang lebih jelas mengenai hak-hak warga untuk terlubat dalam proses pembauatan perda. Kepala daerah dan DPRD dalam membentuk peraturan  daerah perlu melibatkan pelaku kepentingan yang terkait, adanya rekomendasi untuk mengatasi hambatan di tingkat pemda terkait perlunya fleksibelitas aturan yang menyangkut anggaran dan pertanggung jawaban, serta pemerintahan daerah perlu  mendapatkan bantuan  teknis  maupun subtansial dalam proses pembentukan peraturan daerah untuk mencegah  terjadinya pembantalan  Perda .

EVALUASI PELAKSANAAN OTONOMI PEMERINTAH DAERAH DALAM SISTIM PEMERINTAHAN

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.
Dalam konteks otonomi pada masa kekuasaan Belanda di Indonesia, Belanda tidak menguasai secara penuh seluruh nusantara, dalam arti menempatkan kantor pemerintahan diseluruh nusantara, Belanda hanya mengatur pemerintahan yang modern di pulau Jawa dan Madura serta Sumatera.
Sejarah otonomi daerah di Indonesia penuh dengan liku-liku yang menegangkan, Undang-Undang no.1 tahun 1945 merupakan Undang-Undang pertama yang mengatur tentang pemerintah daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, Undang-Undang ini memuat Otonomi yang luas kepada daerah. Kemudian terjadi beberapa kali pergantian juga dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, sampai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999.
Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana tersebut merupakan isu yang sangat sensitif di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang diharapkan untuk pengobat duka bagi masyarakat- masyarakat didaerah surplus justru melahirkan ketimpangan baru bagi daerah-daerah yang memiliki PAD yang rendah.
Ketimpangan antar daerah tersebut tidak mustahil akan menimbulkan konflik antar masyarakat dan antar daerah..
OTONOMI DAERAH SEBAGAI SUATU DILEMA
Kerajaan-kerajaan di nusantara umumnya terbentuk karena adanya penyatuan beberapa perkampungan yang kemudian memiliki seorang pemimpin yang pada akhirnya disebut raja, seiring dengan masuknya peradaban hindu dan budha kenusantara maka para penguasaan kerajaan telah diidentifikasikan sebagai wakil tuhan dengan demikian dianggap sebagai orang suci yang harus dihormati sebagai titisan dewa.
Seiring waktu para raja diseluruh negeri nusantara semakin menyadari bahwa mereka perlu untuk diakui sebagai penguasa yang besar, maka terjadilah pencaplokan kekuasaan dari kerajaan satu dengan kerajaan lainnya di nusantara dan praktek-praktek seperti ini merupakan kodrat alam yang terjadi diseluruh dunia, bahkan dilegitimasikan oleh setiap agama besar di dunia, dengan dalih perluasan agama, misi suci dan siar agama.
Kembali pada permasalahan daerah, penguasa daerah lain oleh suatu kerajaan terhadap kerajaan lainnya membawa suatu bentuk hubungan baru yang terjalin antara kerajaan dikalaim sebagi wilayah kerajaan penakluk, ekspresi penguasaan terhadap kerajaan tersebut dapat penyerahan upeti oleh kerajaan yang ditaklukan kepada penakluk .
Dalam tahapan selanjutnya untuk melanggengkan penguasaan pusat memberikan beberapa jaminan misalnya jaminan keamanan dalam arti wilayah taklukan tersebut akan dijaga oleh bala tentara kerajaan penakluk ada kekuasaan penakluk yang hendak menguasai.
PERMASALAHAN.
Dari sejarah kehadiran Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut beberapa persoalan yang layak disebut dilema adalah :
1. Kenyataan bahwa apabila daerah dikuatkan dengan otonomi dan pelimpahan kewenangan yang besar atas daerah, maka pemerintah pusat akan merasa jadi kuran berwibawa dan kurang dihiraukan oleh daerah, hal mana sangat tidak disukai oleh pusat terutama oleh elit-elitnya yang masih banyak doktrin kekuasaan tunggal sehingga mereka akan merasa tidak berwibawa bila daerah diberi otonomi luas.
2. Kenyataan lain yang mendorong pusat untuk memperkuat sentralisasi juga karena alasan politik, mengingat tidak semua wilayah di Indonesia memiliki kemampuan yang sama, selain itu sentralisasi cenderung menguntungkan wilayah Jawa, sehingga apabila sanggup dipertahankan, maka keadaan diseputar kekuasaan akan tetap aman, dan juga berarti partai pemerintah akan tetap dapat berkuasa karena bisa mendapat dukungan mayoritas suara rakyat
3. Daerah-daerah kaya yang merasa termaginalkan menurut otonomi yang seluas-luasnya bahkan merdeka, tuntutan tersebut didukung oleh kondisi global yang lagi menempatkan Hak Asasi Manusia seb agai isu utama dunia, sehingga kalangan aktifis daerah kaya berani menantang pemerintah pusat sebab mereka dapat terlindungi dengan Hak Asasi Manusia, dilain pihak pemerintah pusat tidak bisa mempertahankan sistim sentralisasi apabila hendak menarik simpati daerah kaya dan dunia internasional dewasa ini.
Kondisi tersebut diatas memberikan sedikit gambaran awal bahwa otonomi akan diberikan oleh pusat dengan sukarela apabila pemerintah pusat terdesak dan dalam posisi yang lemah, dan sebaliknya posisi daerah yang kuat, tetapi setelah posisi pemerintah pusat kuat maka desentralisasi harus ditinjau kembali, kenyataan bahwa Undang-Undang Nomor ; 22 tahun 1948 lahir karena kondisi yang tidak menentu saat itu, selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 juga lahir disaat kekuasaan pemerintah pusat masih dalam posisi yang sulit, tetapi manakala pemerintah pusat telah merasa kuat maka lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 yang diawali dengan beberapa Pen pres yang ditentang oleh masyarakat daerah dan kemudian direspon oleh kalangan aktifis 66.
Pemerintah rezim orde baru selanjutnya mengiming-imingi daerah dengan otonomi luas, tetapi setelah orde baru kuat maka sentralisasilah yang dilanggengkan, demikianlah pula saat reformasi otonomi disuarakan dengan lantang dan pusat merespon dengan Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tetapi belum sempat Undang-Undang ini diterapkan dengan baik timbul upaya pemerintah pusat untuk merivisi kembali undang-undang nomor 22 tahun1999 alsan apalagi yang dfikemukakan selain masalah klise yang menyembunyikan kepentingan elit pusat yang semakin tidak berwibawa atas daerah.
Tingkatan otonomi atau otonomi bertingkat telah menjadi perdebatkan panjang dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di indonesia, hampir setiap pergantian Undang-Undang dan perumusan pemerintahan Undang-Undang yang baru, tingkatan daerah otonomi daerah telah menjadi perdebatan yang hangat mengingat dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 1948, daerah dibagi dalam 3 tingkatan, ialah : propinsi, Kabupaten /kota besar dan desa /kota kecil negeri, marga dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, selain itu dalam ayat 2 ditegaskan tentang keberadaan daerah istimewa sebagai berikut daerah-daerah yang mempunyai hak asal-usul dan dizaman sebelum republik indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dengan Undang-Undang pembentukan termasuk yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Tingkatan tersebut tetap dipertahankan sampai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 yang berbunyi wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dan yang merupakan sebanyak-banyaknya tiga tingkat yang derajatnya dari atas kebawah adalah sebagai berikut :
1. Daerah tingkat Ke-I termasuk kotapraja jakarta raya.
2. Daerah tingkat ke-II termasuk kotaprja dan
3. Daerah tingkat III.
Menarik agaknya menyimak beberapa pendapat tersebut diatas, tetapi agak sulit untuk menemukan jalan keluar yang baik, sebab apabila kewenangan propinsi dikembalikan lagi seperti semula dalam arti hierarkhi dipertegas maka perbedaan antara undang-undang nomor 22 perubahan dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 yang sebelumnya ditentang itu tidak akan jauh berbeda lagi.
Agaknya mirip dengan wacana yang berkembang manakala orba muncul mengoreksi orde lama, tekad pelaksanaan otonomi daerah begitu mengemuka dan Undang-Undang Nomor 18 harus diganti karena tidak sesuai dengan semangat orde baru, begitu orde baru kuat bukannya merombak malah meniru Undang-Undang nomor 18 tahu 1965 demikian pula halnya dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, agaknya harus diakui bahwa para elit pusat saat ini lebih menghendaki pola hubungan pusat daerah seperti masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, kalau demikian agaknya kita perlu merevisi ulang tentang siapa saja yang patut disebut reformator khususnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Melihat lagi kebelakang agaknya ada baiknya bila ide menempatkan propinsi hanya sebagai daerah administratif belaka dipertimbangkan , ide yang telah dirintis oleh bung hatta kemudian dihidupkan kembali oleh Rudini pada tahun sebilan puluhan yang santer diperbincangkan dan merumuskan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 untuk dipertimbangkan implementasinya, sebab pelaksanaan otonomi bertingkat tiga telah dilaksanakan pada masa Undang-Undang No. 1 tahun 1957 bahkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 dengan hasil yang tidak memuaskan karena anggaran negara yang terbatas ,
Beberapa faktor yang memungkinkan terlaksananya otonomi nyata dan bertanggung jawab.
Dalam faktor ini termasuk adalah :
a. Kesiapan Aparatur pemerintahan yang akan menunjang pelaksanaan otonomi;
b. Tenaga personalia yang akan menempati aparatur pemerintahan.
c. Faktor-faktor lainnya.
Berbagai faktor diatas sifatnya tidak berdiri sendiri dan saling menjalin antara satu dengan yang lainnya, penyusunan model-model daerah otonom adalah didasarkan pada faktor-faktor tersebut diatas. Sangat disadari penyusunan model-model sebagaimana dikemukakan diatas bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, diperlukan adanya suatu kejelian dalam menetapkan kategori-kategori yang diambil dari faktor-faktor yang mendasari penysunan model tersebut.


POTRET NEGARA HUKUM KITA

Berbicara mengenai hukum dalam suatu negara, tidak lepas dari pembicaraan mengenai Konstitusi Negara. Indonesia sebagai Negara hukum yang secara tegas telah diamanatkan dalam UUD Tahun 1945, memberi semangat kepada penyelenggara Negara dan warga negaranya untuk senantiasa menjadikan hukum sebagai panglima dalam setiap aktifitas penyelenggaraan Negara maupun aktivitas warga negaranya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Namun demikian apa yang diharapkan dari semangat para penyelenggara Negara dan semangat warga negaranya, tidak semua dapat terlaksana sesuai harapan. Setidaknya ada dua faktor penyebab dari serangkaian ketidakkonsistenan tersebut, yakni Pertama, Faktor perangkat hukumnya yang muncul dari pertanyaan awal yakni bagaimana Negara membingkai perangkat hukumnya. Kedua, bagaimana semangat penyelenggara Negara dan warga masyarakatnya.
Tulisan ini hendak mengulas pengaruh konfigurasi politik semenjak tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan era reformasi (1998-2006) dan produk hukum yang dihasilkan sebagai akibat konfigurasi politik. Pada bagian lain juga akan melihat potret Negara hukum kita, dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh kondisi Negara kita yang demokratis maupun pada masa kondisi Negara kita dikuasai oleh pemerintahan yang otoritarian.
Sistem hukum nasional tidak pernah terlepas dari struktur ruhaniah masyarakat yang mendukung sistem hukum tersebut. Dengan kata lain, sistem hukum suatu negara selalu berhubungan erat dengan kebudayaan, struktur berpikir, dasar nilai, keimanan, penjelmaan kepribadian, sifat dan corak masyarakat dimana hukum itu dilahirkan dan ditumbuhkan. (Ahmad Ubbe, : 2003 Hal 1).
 Bingkai Negara Hukum
Pada masa orde lama (5 Juli 1959-Maret1966) dimana dominasi kekuasan Negara terhadap rakyat sangat kuat, semangat penyelenggaraan Negara diwarnai nuansa sentralistik yang otoriter, paham Negara hukum (rechtsstaat), seperti yang didengung-dengungkan dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi slogan yang selalu memunculkan perdebatan. Betulkah hukum menjadi panglima dalam setiap penyelesaian masalah yang fundamental dalam penyelenggaraan Negara. Bukankan yang terjadi sebaliknya, bahwa dominasi politik selalu mewarnai pengambilan keputusan dan kebijakan penyelenggaraan Negara. Domain politik dan domain hukum hanya berbatas tipis baik dalam interprestasi dan implementasinya, sesuai kehendak penguasa yang mendominasi keputusan-keputusan fundamental.
Pada masa orde baru (Maret 1966- Mei 1998), terjadi penterjemahan konsep Negara hukum materiil dimana Negara dapat menggunakan kewenangan yang melekat padanya mendasar pada kekuasaan formal (freis ermersen), sebagai penterjemahan konsep Negara kesejahteraan (welfare state). Dalih demi kepentingan umum selalu dijadikan alasan pembenar bagi setiap pengambilan keputusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perhitungan ekonomi hampir selalu dikedepankan dalam setiap pengambilan keputusan, dan kurang memperhatikan aspek sosial, budaya dan aspek-aspek lain yang terkait.
Masa orde baru juga tidak terjadi perubahan yang fundamental, karena baik era orde lama-orde baru masih memberkakukan UUD Tahun 1945. Pada awal berkuasanya dua rezim di masa itu, Negara menunjukkan sikap yang demokratis dan menghasilkan produk hukum yang responsif, tapi setelah selang beberapa tahun kemudian kembali pada model kekuasaan yang non demokratis. Harus kita akui memang ada semangat baru untuk merubah potret penyelenggaraan Negara, ketika gerakan ajakan pengamalan Pancasila dan UUD Tahun 1945 secara murni dan konsekwen gencar dilakukan pada era ini. Namun hakekat yang tersembunyi dari kehendak yang kuat untuk mempertahankan Pancasila dan UUD Tahun 1945 adalah dikandung maksud untuk melanggengkan kekuasaan yang pada waktu itu di dominasi oleh kekuatan Militer dan Golkar.
Pidato Presiden Suharto pada tanggal 1 Mei 1998 yang menyatakan mengundurkan diri dari Jabatan Presiden setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran yang dimotori mahasiswa, pemuda dan berbagai komponen bangsa di Jakarta dan di Daerah-daerah di Indonesia, merupakan tonggak pertama terjadinnya era baru yakni era reformasi.
Era reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan, menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, sehingga mampu mewujudkan pemerintahan good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semua hal itu diharapkan mampu mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sesuai amanat Pembukaan UUD Tahun 1945. Reformasi juga diharakan mampu mendorong perubahan mental bangsa, baik pemimpin maupun rakyatnya, sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan persamaan.
Setidaknya ada enam tuntutan populer yang didesakkan pada era reformasi, antara lain sebagai berikut :
  1. Amandemen UUD Tahun 1945.
  2. Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI.
  3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, serta pemberantasn KKN.
  4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pemerintah Pusat dan Daerah (otonomi).
  5. Mewujudkan kebebasan Pers.
  6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. (Sekjen MPR, 2006 : 3)

Supremasi hukum ? Itulah kehendak sebagian besar masyarakat Indonesia sesudah reformasi berjalan. Bingkai pemerintahan sebelumnya yang bertumpu pada UUD Tahun 1945 sebelum perubahan membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelenggaraan Negara yang tidak sesuai dengan jiwa/kepribadian bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni antara lain :
  1. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) antar lembaga Negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
  2. Infrastruktur politik yang dibentuk antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi, sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
  3. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
  4. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli, dan monopsoni.

Tuntutan perubahan yang merupakan salah satu agenda adalah perubahan UUD Tahun 1945 yang dilakukan MPR, selain merupakan perwujudan reformasi juga sejalan dengan Pidato Ir. Soekarno, Ketua Panitia Penyusun UUD Tahun 1945, yang dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan “bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.
Perubahan UUD Tahun 1945 mengenai Indonesia adalah Negara hukum diatur dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Ketentuan ini berasal dari Penjelasan UUD Tahun 1945, yang diangkat kedalam Pasal UUD Tahun 1945 perubahan. Negara hukum yang dimaksud adalah Negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). Masuknya rumusan itu kedalam UUD Tahun 1945 merupakan salah satu contoh pelaksanaan kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan, yakni kesepakatn untuk memasukkan hal-hal normatif yang ada di dalam Penjelasan ke dalam Pasal-pasal.
Masuknya ketentuan mengenai Indonesia adalah Negara hukum dari penjelasan yang semula rumusan lengkapnya adalah “ Negara yang berdasar atas hukum” ke dalam Pasal dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa bangsa Indonesia adalah Negara hukum, baik dalam penyelenggaraan Negara maupun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Secara umum, dalam setiap Negara yang menganut paham Negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (eguality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap Negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya :
  1. Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
  2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
  3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa pemerintah/Negara maupun warga Negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.

Berdasarkan ketentuan, Pasal 24 negara hukum Indonesia mengenal juga adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai salah satu lingkungan peradilan disamping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan agama. Adapun PTUN sering juga diterima sebagai salah satu ciri Negara hukum.
Didalam lieratur memang dikenal juga ciri lain sebagi varian di dalam Negara hukum, yakni adanya peradilan tata usaha Negara atau peradilan administrasi (administratief rechtsspraak). Namun ciri itu tidak selalu ada dinegara hukum, karena sangat tergantung pada tradisi yang melatarbelakanginya. Ciri itu biasanya ada di Negara dengan latar belakang tradisi Eropa Kontinental dengan menggunakan istilah rechsstaat. Didalam rechsstaat pelembagaan peradilan dibedakan dengan adanya peradilan khusus administrasi Negara karena pihak yang menjadi subyek hukum berbeda kedudukannya yakni pemerintah/pejabat tata usaha Negara melawan warga Negara sebagai perseorangan atau badan hukum privat. Namun di Negara hukum yang berlatar belakang tradisi Anglo Saxon yang Negara hukumnya menggunakan istilah the rule of law peradilan khusus tata usaha Negara pada umumnya tidak dikenal, sebab pandangan dasarnya semua orang (pejabat atau bukan pejabat) berkedudukan sama didepan hukum.
Indonesia Negara Hukum Seperti Apa ?
Konsep Negara hukum formil, dimana terjadi pemisahan yang ketat diantara lembaga penyelenggara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), pada kenyataannya banyak merugikan kepentingan rakyat, karena pada kenyataannya pemerintahan lebih banyak bersikap menunggu/pasif. Tidak adanya kebebasan eksekutif dalam mengimplementasikan kewenangan (sebagai pelaksana undang-undang murni), pada kenyataannya banyak menimbulkan masalah-masalah baru yang penyelesaiannya lambat. Oleh sebab itu kita tidak menganut paham Negara hukum formil. Ketiga poros kekuasaan mempunyai fungsi yang tidak limitatif. Praktek pembatasan diantara ketiga lembaga tersebut secara tegas telah terbukti membawa stagnasi dalam pembangunan hukum kita.
Meskipun tidak sepenuhnya menganut paham Negara hukum dari Eropa Kontinental, karena warisan sistem hukum Belanda, Indonesia menerima dan melembagakan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam sistem peradilannya. Sementara itu penggunaan istilah rechsstaat dihapus dari UUD Tahun 1945 sejalan dengan peniadaan Penjelasan UUD Tahun 1945. Istilah resmi yang dipakai sekarang adalah “negara hukum” seperti yang tercantum dalan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 hasil perubahan yang menyerap substansi rechsstaat dan the rule of law sekaligus. Unsur konsepsi Negara hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon (the rule of law) di dalam UUD Tahun 1945 terlihat dari bunyi Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Konsekwensi ketentuan itu adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat Negara dan penduduk (warga Negara dan orang asing) harus berdasarkan hukum. Ketentuan itu sekaligus dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara maupun oleh penduduk.
Pahan Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat dengan Negara kesejahteraan (welfare state) atau paham Negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaaan UUD Tahun 1945. Pelaksanaan paham Negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya Negara kesejahteraan di Indonesia.
Negara Indonesia sebagai Negara kesejahteraan, berarti terdapat tanggung jawab Negara untuk mengembangkan kebijakan Negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baik, melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.
Determinasi Politik atas Hukum.
Asumsi ini berawal dari pemahaman kita bahwa sesungguhnya hukum itu sangat dipengaruhi politik. Singkat kata hukum merupakan produk politik, sehingga tidak berlebihan jika hukum merupakan kristalisasi kehendak kekuatan-kekuaan politik yang saling berkompetisi. Konfigurasi politik yang ada pada kurun waktu tertentu akan melatarbelakangi suatu produk hukum dan mempengaruhi potret hukum pada saat itu juga, atau dengan kata lain bahwa “politik itu determinan atas hukum”. (Moh Mahfud MD, 1999 : 291). Perjalanan sejarah telah membuktikan selalu terjadi tarik ulur atau pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter Sebagai gambaran, penulis sampaikan sejarah perjalanan konfigurasi politik Negara kita, sebagai berikut :
  1. Pada awal kemerdekaan (18 Agustus-16 Oktober 1945), melalui Ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD Tahun 1945 secara formal Negara tersusun dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter, karena menyerahkan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA kepada Presiden sebelum Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dibantu oleh sebuah komite nasional.
  2. Melalui Maklumat No. X Tahun 1945 yang kemudian disusul dengan perubahan sistem kabinet, konfigurasi politik berubah menjadi sangat demokratis (1945-1959).
  3. Konfigurasi politik yang demokratis ini bergeser menjadi sangat otoriter sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberi jalan bagi Bung Karno untuk menerapkan konsepsi demokrasi terpimpinnya (1959-1966).
  4. Ketika orde baru lahir pada Bulan Maret 1966 konfigurasi politik kembali bergeser kearah yang demokratis. Semboyan yang dikumandangkan ketika itu adalah menegakkan kehidupan yang demokratis dan konstitusional, melaksanakan Pancasila dan UUD Tahun 1945 secara murni dan konsekwen, membangun supremasi hukum dan sebagainya (1966-1969/1971).
  5. Keadaan demokratis hanya berlangsung selama tiga tahun pada awal orde baru, sebab setelah seminar AD II, memutuskan untuk mengutamakan pembangunan ekonomi, maka format baru politik Indonesia yang disusun adalah format yang tidak demokratis, format yang memberikan kekuatan politik bagi pemerintah (eksekutif) melalui tangan-tangannya di MPR dan DPR. Tujuannya adalah agar bisa tercipta stabilitas politik yang dapat memperlancar jalannya pembangunan (ekonomi). Format politik yang baru itu dituangkan di dalam dua Undang-Undang Politik, yakni UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU N0. 16 Tahun 1969 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD. Meskipun telah beberapa kali diubah, kedua Undang-undang ini secara substansial tetap berlaku sampai runtuhnya orde baru (1998).
  6. Konfigurasi Politik era reformasi (1998-sekarang) lebih diwarnai kemauan politik Wakil-wakil rakyat di Lembaga Formal (MPR DPR dan DPD) seperti tuntutan pelaksanaan otonomi daerah yang luas (UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perimbangan pembagian keuangan yang lebih besar porsinya untuk Daerah ( UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam bidang Politik juga muncul UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol, UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR,DPR,DPD dan DPRD dan sebagainya. Nuansa yang hendak dibangun dalam sistem politik dan penyelenggaraan Negara adalah sebuah konfigurasi politik yang demokratis, dan sudah secara nyata selama kurun waktu delapan tahun terakhir bangsa kita telah banyak melahirkan produk-produk hukum yang responsif, meski disana-sini perlu penyempurnaan.

Penetapan demokratis dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan indikator-indikator tertentu, sebab kedua istilah tersebut bersifat ambigu (Moh Mahfud MD, 1999 : 294). Indikator –indikator yang dipergunakan adalah peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberapa hal yang tampak dari indikator tersebut adalah :
  1. Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD yang berlaku. UUD yang sama pada waktu yang berbeda (seperti UUD Tahun 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik yang demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1969/1971) dan konfigurasi politik yang otoriter (periode 1959-1969 dan 1969/1971-sampai 1998), sebaliknya UUD Tahun 1945 yang berada pada periode yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950) yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi yang sama, yakni demokratis. Dengan demikian demokratis atau tidaknya sebuah sistem politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain-pemain politiknya.
  2. Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan (gezagsverhouding), ternyata konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Hal tersebut dapat ditandai antara lain :
    • Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif, menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partisipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga Negara terutama pihak eksekutif (sentralistis).
    • b. Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif dalam arti mencerminkan kehendak aspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positivistik-instrumentalistik dalam arti lebih mencerminkan kehendak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah.
    • c. Cakupan isi hukum yang responsif biasanya rinci, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail (limitatif) sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan hukum konservatif biasanya memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu, sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peratuan pelaksanaan yang sifatnya interpretatif. (Moh Mahfud MD, 1999 : 296).

Sikap Ambigu dalam Tataran Implementasi Hukum
Lantas bagaimana potret Negara hukum kita saat ini ? Kita memang terjebak pada keadaan yang ambiguous, karena tidak memiliki kepastian orientasi tentang konsepsi negara hukum mana yang kita anut, apakah rechsstaat atau the rule of law ? (Moh Mahfud MD, 1999 : 364). Didalam salah satu Pasal UUD Tahun 1945, kita kenal istilah Negara hukum yang diadopsi dari kata rechsstaat dari penjelasan UUD Tahun 1945, meski istilah tersebut telah dihapus, tetapi didalam keseluruhan elemen konstitusi ini terdapat elemen-elemen rechsstaat maupun the rule of law. Bahkan dalam Undang-undang Pokok Kehakiman kita, UU No. 14 Tahun 1970 terakhir dengan UU No. 35 Tahun 1999 ada arahan, agar para hakim dalam memutus perkara, supaya menggali rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, yang berarti tidak harus berpatokan secara ketat kepada peraturan perundang-undangan. Namun pada saat yang sama, ada arahan untuk berpegang teguh pada asas legalitas, yang berarti harus berpegang pada peraturan perundang-undangan.
Ambiguitas atau konsep sintetis seperti ini sering menimbulkan situasi yang runyam, karena tidak jarang ada klaim yang saling bertentangan, tetapi masing-masing menyatakan berpijak pada prinsip Negara hukum. Situasinya menjadi lebih runyam dengan adanya sikap ingin menang dalam berperkara, dan bukan ingin menegakkan dan keadilan. Jika perkara dapat dimenangkan dengan konsep rechsstaat, dalil yang digunakan adalah asas legalitas dan kepastian hukum, tetapi pada saat yang lain, untuk memenangkan perkara lain justru yang ditonjolkan adalah kebebasan hakim untuk memutus perkara berdasarkan rasa keadilan sehingga hakim harus berani keluar dari ketentuan/undang-undang yang berlaku.
Pemencaran Kekuasaan
Paham Negara hukum demokratis hanya akan mendapat pengakuan dari teori dan pendapat siapapun, apabila adanya pemencaran kekuasan. Pemencaran secara horizontal akan terlihat pada bekerjanya lembaga-lembaga pemegang kekuasaan Negara, seperti MPR, DPR, MA, BPK dan lembaga yang setingkat seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial (hasil Perubahan UUD Tahun 1945). Sedangkan pemencaran kekuasaan secara vertikal akan menghasilkan hubungan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang akan melahirkan otonomi dan desentralisasi pada tipe Negara yang demokratis dan sentralistik berpadanan dengan dekonsentrasi pada Negara yang tidak demokratis.
Baik pada kurun waktu 1945-1959, era orde lama (1959-1966) maupun era orde baru (1966-1998) dan terakhir era reformasi (1998-sekarang), terjadi konfigurasi Politik yang berpengaruh pada konfigurasi hukum yang silih berganti antara paham Negara hukum yang demokratis maupun paham Negara hukum non demokratis yang tekanannya pada pola hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dapat berwujud otonomi berpasangan dengan desentralisasi (penyerahan kekuasaan) dihadapkan pada perubahan yang sentralistik berpasangan dengan dekonsentrasi (pelimpahan kekuasaan).
 Dinamika kehidupan ketatanegaraan dari kurun waktu tertentu yang tidak sama pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh konfogurasi politik yang sedang eksis pada waktu itu. Tidaklah berlebihan jika labilitas kehidupan ketatanegaraan tersebut berpengaruh pula pada pola hubungan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Menurut pendapat penulis, akan lebih bijak sekiranya penerapan konsepsi negara hukum tersebut dikombinasikan dengan pilihan yang tegas. Pada saat penerapan hukum yang bersifat publik khususnya hukum pidana, akan lebih tepat apabila konsepsi Negara hukum rechsstaat yang kita terapkan. Namun pada saat yang lain, yakni ketika hakim memeriksa perkara hukum privat konsepsi Negara hukum the rule of law, menjadi lebih dapat memberikan rasa keadilan dan menghindarkan para pencari keadilan dari sekedar ingin memenangkan suatu perkara. Aspek legal formal menjadi penentu dalam upaya penegakan hukum, dengan tetap memperhatikan kepastian dan kesebandingan hukum.
Kembali pada konsep semula bahwa, sebaik apapun suatu produk hukum apabila semangat para penyelenggara Negara maupun warga masyarakatnya, tidak mempunyai “kehendak” untuk menjadikan hukum sebagai instrumen pemberi perlindungan dan keadilan, sehingga supremasi hukum diabaikan, maka tragedi hukum akan terus menerus terjadi dan menjadi bahan perdebatan yang tidak pernah berujung.


Kunjungan Kerja Anggota DPR ke Luar Negeri

BAB  I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Berbagai masalah memang selalu menyelimuti bangsa kita mulai dari bencana alam, berbagai macam kecelakaan transportasi, khasus korupsi yang sampai sekarang belum terselesaikan bahkan berbagai khasus yang menimpa saudara kita yang bekerja sebagai TKI di negeri orang. Menanggapi beberapa permasalahan tersebut, hendaknya pemerintah harus lebih peka dan menjadikan permasalahan yang bersifat penting untuk perubahan bangsa ke arah yang lebih baik demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Di penghujung tahun 2010 ini memang ketabahan rakyat Indonesia di uji setelah adanya gempa yang menimpa di daerah Wasior, Tsunami Mentawai dan meletusnya gunung Merapi, rakyat dibuat geram dengan berbagai kebijakan yang di ambil oleh badan legeslatif kita (DPR), yang mengagendakan untuk melakukan kunjungan kerja ke luar negeri seperti ke Inggris, Jepang, Perancis, Korea, India, Cina, Italia, Yunani dan Belanda. Memang di era globalisasi seperti sekarang ini tidak dapat kita pungkiri hubungan internasional antar negara harus ditingkatkan supaya bangsa kita lebih dikenal di dunia internasional sehingga kita lebih dihargai di dunia internasional. Akan tetapi cara yang digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kita untuk menjalin hubungan Internasional dengan negara Sahabat akhir-akhir ini di rasa kurang tepat dengan kondisi Indonesia sekarang, karena melihat kondisi bangsa kita yang sedang tertimpa musibah banyak rakyat yang memerlukan bantuan dari pemerintah, malah terkesan dikesampingkan dengan adanya agenda kunjungan kerja ke luar negeri yang menghabiskan dana yang hingga 107 M.
Sebagai wakil dari rakyat, seharusnya para anggota DPR lebih aktif dan peka terhadap rakyat yang telah mempercayai mereka untuk menjadi wakilnya di pusat. Namun seperti apa yang kita lihat sekarang, para anggota dewan lebih mengutamakan agenda yang bersifat kurang populer di mata masyarakat dan terkesan membuang-buang uang (pemborosan) hanya sekedar untuk pergi keluar negeri. Tindakan semacam inilah yang menjadikan citra DPR di masyarakat menurun, terlebih lagi di masa lalu banyak anggota dewan kita yang tersangkut masalah korupsi dan penyuapan yang sudah menjadi rahasia masyarakat. Berbagai tindakan yang dilakuakan anggota dewan sekarang lebih disorot oleh masyarakat sehingga mereka harus berhati-hati dan bekerja sesuai apa yang telah mereka janjikan kepada rakyat.
Pengambilan topik “Kunjungan Kerja Anggota DPR ke Luar Negeri” sangat menarik untuk di bahas. Karena berbagai masalah timbul dimasyarakat setelah munculnya agenda semacam ini, kebanyakan dari masyarakat tidak setuju dengan agenda kunjungan kerja ke luar negeri ini karena alasan dan tujuan yang ingin dicapai terlihat kurang penting. Sanggahan dari para anggota dewan juga mewarnai topik ini, ada anggota dewan yang pro ada juga yang kontra terhadap agenda tersebut.

1.2. Identifikasi Masalah
Dalam penulisan makalah yang berjudul “Kunjungan Kerja Anggota DPR ke Luar Negeri”,penulis membatasi masalah yang di bahas dalam makalah ini sebagai berikut:
  1. Bagimana  kunjungan kerja keluar negeri oleh DPR  RI ?
  2. Apa tujuan yang ingin dicapai dalam kunjungan kerja BK DPR RI ?
  3. Bagimana kesesuaian  kunjungan kerja DPR  RI   ke luar negeri dengan kondisi negara saat ini ?
1.3.Tujuan Penulisan.
Dalam penulisan makalah ini penulis  berharap secara pribadi dan pembaca secara umunya dapat :
1.      Mampu memahami kunjungan kerja keluar negeri oleh DPR.
2.      Mampu memahami Apa tujuan yang ingin dicapai dalam kunjungan kerja BK DPR RI.
3.      Mampu memberikan tanggapan terhadap kesesuaian  kunjungan kerja DPR  RI   ke luar negeri dengan kondisi negara saat ini
BAB  II
KAJIAN TEORI
2.1.Dasar Kunjungan Kerja.
Kunjungan kerja merupakan agenda tahunan yang dilakukan oleh anggota DPR yang telah diatur di dalam aturan perundangan yaitu UU Nomor 27 tahun 209 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD . Sehingga Seperti apa yang di ungkapkan oleh Wakil Ketua DPR RI Anis Matta  pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tidak bisa melarang kunjungan kerja ke luar negeri karena hal itu merupakan hak anggota dewan yang di atur di dalam UU no 29 tahun 2009 pasal 77-78. Selain itu keputusan terhadap  persoalan tersebut sudah dibahas dan disetujui dalam rapat pimpinan DPR.
2.2.Badan legislatif
2.2.1.      Pengertian Legislatif
Budiardjo (2008:316) Badan legilatif atau legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain lagi adalah parliament, suatu istilah yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merundingkan. Sebutan lain mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan people’s representative body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apa pun perbedaan dalam namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan symbol dari rakyat yang berdaulat.
Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat; rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu “kehendak” (yang mana oleh Rousseau disebut Volente Generale atau General Will). Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini mrupakan suara yang authentic dari general will itu. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan maupun undang-undang, mengikat seluruh masyarakat.
Dengan berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan tu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang.
2.2.2.      Hak Dan Kewajiban Legislatif
Syafi’ie dan Azhari (2006:63-64) untuk menjamin pelaksanaan tugas-tugasnya, Legislatif/DPR diberi berbagai hak dan kewajiban oleh UUD 1945 yaitu:
1.      Hak Petisi (hak untuk mengajukan pertanyaan bagi setiap anggota).
2.      Hak Budget (untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah).
3.      Hak Interprestasi (untuk meminta keterangan terutama pada eksekutif).
4.      Hak Amandemen (untuk mengadakan perubahan peraturan).
5.      Hak Angket (untuk mengadakan penyelidikan karena diduga terlibat kasus).
6.      Hak inisiatif (untuk mengajukan rancangan undang-undang).
7.      Hak Prakarsa.
8.      Hak untuk mengajukan pernyataan pendapat.

Sedangkan kewajiban Legislatif/DPR adalah sebagai berikut:
1.      Mempertahankan Pancasila dan UUD 1945.
2.      Menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah.
3.      Memperhatikan aspirasi masyarakat.
  
2.2.3.      Fungsi Legislatif
Di antara fungsi badan legislatif  (Budiardjo 1998:182-183) yang paling penting ialah:
1.    Menentukan Policy (Kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk itu dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan hak budget.
2.    Untuk mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus.

Di samping itu terdapat banyak badan legislatif yang menyelenggarakan beberapa fungsi lain seperti misalnya mensahkan (“ratify”) perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif. Perlu dicatat bahwa beberapa badan legislatif (antara lain Amerika Serikat) mempunyai wewenang untuk meng”impeach” (menuntut) dan mengadili pejabat tinggi, termasuk presiden. Di Perancis badan legislatif berwenang menuntut pejabat tinggi termasuk presiden dan menteri-menteri, akan tetapi pengadilan tinggilah yang mengadili.   

BAB III
PEMBAHASAN
3.1.Pembahasan.
3.1.1        Kunjungan kerja DPR RI ke luar Negri .
Berdasarkan pada Kunjungan kerja merupakan agenda tahunan yang dilakukan oleh anggota DPR yang telah diatur di dalam aturan perundangan yaitu UU Nomor 27 tahun 209 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD . Sehingga Seperti apa yang di ungkapkan oleh Wakil Ketua DPR RI Anis Matta  pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tidak bisa melarang kunjungan kerja ke luar negeri karena hal itu merupakan hak anggota dewan yang di atur di dalam UU no 29 tahun 2009 pasal 77-78. Selain itu keputusan terhadap  persoalan tersebut sudah dibahas dan disetujui dalam rapat pimpinan DPR.
Menurut Wakil Ketua DPR RI Anis Matta, kunjungan kerja anggota dewan ke luar negeri merupakan bagian dari proses legislasi di DPR. Dalam aturan perundangan, menurut beliau telah memberikan amanah otoritas legislasi kepada DPR, akan tetapi DPR tidak memiliki infrastruktur legislasi yang memadai. Oleh sebab itu, cara paling sederhana dalam menyusun proses legsilatif di DPR dengan menggunakan metode "benchmarking", yakni tiru dan modifikasi, metode seperti inilah yang akan digunakan oleh anggota DPR dalam melakukan kunjungan ke beberapa Negara Sahabat . 
Penerapan pola seperti ini tidak hanya dilakukan oleh parlemen Indonesia tetapi ditiru oleh parlemen hampir di seluruh negara, termasuk Jepang dan China.
Ditanya mengapa DPR tidak melakukan penguatan infrastruktur legislasi, menurut dia, hal itu diatur alam aturan perundangan yakn UU Nomor 27 tahun 209 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). 
Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera ini menambahkan, untuk mengatasi kunjungan kerja ke luar negeri ini harus memperkuat infrastruktur legislasi di parlemen, sehingga proses legislasi nantinya berbasis riset. Sehingga nantinya DPR perlu membangun 'law center' serta 'budget office'.  Menurut Anis Mata, hal itu belum belum dilakukan karena belum diakomodasi dalam aturan perundangan. Saat ini, DPR sedang dalam proses revisi UU No 27 tahun 2009 tentang MD3. Dalam revisi tersebut, akan diusulkan penguatan infrastruktur legislasi. Membicarakan soal efisiensi kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri, belau mengakui, tidak seluruhnya efisien. Untuk meningkatkan efisiensi, DPR perlu melakukan peningkatan transparansi dan efektivitas.
Proses dan skema kunjungan harus jelas dan transparan, Anis Mata juga menjelaskan, transparansi dilakukan dengan cara meminta anggota yang berkunjung ke luar negeri membuat daftar persoalan yang akan dipelajari dan melakukan konferensi pers setelah kembali dari luar negeri sebagai pertanggungjawaban public atas kunjungan kerja yang dilakukan. 
3.1.2.      Tujuan yang ingin dicapai dalam kunjungan kerja BK DPR  RI ke luar Negri.
Dalam rencana kunjungannya ke Yunani, Badan Kehormatan DPR memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, seperti apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua Badan kehormatan DPR Nudirman Munir tujuan kunjungan ke Parlemen Yunani adalah
1.    Bertemu dengan Ketua Parlemen Yunani, untuk mempelajari kode etik yang ada di Parlemen Yunani.
2.    BK DPR juga akan mempelajari mekanisme pengaduan pelanggaran kode etik Parlemen Yunani. Diharapkan BK dapat mengefektifkan kinerjanya menjaga pelaksanaan tatib DPR.
3.    BK juga akan bertemu dengan sejumlah LSM di Yunani. BK juga akan bertemu dengan pimpinan fraksi di Parlemen Yunani.
4.    Meningkatkan cara beretika anggota DPR dengan mempelajari pola Parlemen Yunani yang bebas rokok.

3.1.3.      Kesesuaian agenda kunjungan dengan kondisi Bangsa sekarang.
Di tengah realitas kebangsaan yang memilukan akibat bencana, agenda kunjngan kerja anggota dewan ini tentu menyedihkan dan menyayat hati, terutama rakyat korban bencana. Publik nyata-nyata ditinggalkan oleh mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat itu. Kunjungan kerja itu baik jika pelaksanaannya memenuhi asas kemanfaatan dan kepatutan. Tetapi sudah menjadi fakta bahwa kegiatan itu kerap disalahgunakan, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa kunjungan itu tidak begitu bermanfaat, terlalu mengada-ada, serta untuk jalan-jalan belaka.
Nurani kita juga tersayat ketika mengetahui jumlah pengeluaran dana untuk kunjungan kerja DPR itu. Jika dibandingkan dengan besaran dana bantuan sosial penanggulangan bencana, terlihat ada ketimpangan. Jumlah dana pelesiran ternyata melampaui harga beli Menara Sirene (Early Warning System) yang sangat dibutuhkan di wilayah-wilayah rawan gempa dan tsunami. Untuk APBN-P tahun 2010, kunjungan kerja ke luar negeri oleh pemerintah dan DPR disisihkan dana sebesar Rp 170 miliar, dan untuk menghias rumah dinas Pak “Beye” dianggarkan pula Rp 42 miliar. Kebijakan ini berbanding terbalik dengan jumlah anggaran negara untuk bantuan sosial penanggulangan bencana yang hanya sebesar Rp 3.792,8 miliar. Jumlah anggaran penanggulangan sosial bencana ini sungguh terlalu kecil dan tidak masuk akal. Apalagi dalam konteks Indonesia hari-hari ini yang terus dirundung bencana alam.
Dari alokasi anggaran, terlihat bahwa kebijakan menanggulangi bencana belum menjadi prioritas di negeri ini. Carut-marut penanggulangan dampak bencana di lapangan (misalnya di Mentawai dan Gunung Merapi) oleh BNPB (Badan Nasional Pananggulangan Bencana) juga menjadi bukti bahwa pemerintah belum (dan bisa jadi tidak) memikirkan secara serius satu sistem penanggulangan bencana yang cerdas serta mencakup keseluruhan kepentingan masyarakat korban. Idealnya, program tersistem sebagai bentuk antisipasi kemungkinan dampak bencana secara baik telah dimiliki oleh negara ini, terutama pasca tsunami Aceh enam tahun silam. Dengan demikian, ketika bencana tiba yang terkadang memang sulit untuk di prediksi sudah ada kebijakan penanggulangan (sistem yang bekerja) dari pemerintah untuk mengantisipasinya.
 Dalam rencana studi banding 8 orang anggota Badan Kehormatan DPR ke Yunani menghabiskan anggaran sekitar Rp1,5 miliar. Menurut Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, anggaran biaya perjalanan belajar etika itu setara dengan jaminan kesehatan (jamkesmas) bagi 25.000 orang miskin di negeri ini.Anggaran kunjungan kerja anggota Dewan yang terus meningkat, merupakan sebuah ironi. Perjalanan yang dinilainya menghambur-hamburkan uang negara itu didapat melalui pajak yang dibayarkan rakyat. Hal in tentu bertolak belakang jika membandingkannya dengan anggaran bagi program kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan yang justru didapatkan dari pinjaman. Anggaran yang didapat dari rakyat kemudian dimanfaatkan untuk kunjungan dan studi banding. Sedangkan untuk program PNPM sebesar Rp74 triliun didapatkan dari pinjaman. Dengan kata lain, uang rakyat untuk plesiran, dan untuk menanggulangi kemiskinan malah dari pinjaman.
Dari sejumlah insentif yang diterima, FITRA mencatat, setidaknya dalam setiap studi banding, anggota Dewan mendapatkan uang harian Rp20-Rp26 juta, asuransi perjalanan 50 US Dollar per orang dan uang representasi 2.000 US Dollar. Hasil dari kunjungan kerja ke luar negeri juga kerap dikritisi. Sejumlah kunjungan dinilai tak berkorelasi positif dengan pembahasan RUU yang berjalan. Produktivitas Dewan dalam hal legislasi juga dinilai rendah.
3.1.3.1.     Pihak-pihak yang kontra dengan rencana kunjungan kerja DPR RI ke luar Negri.
Beberapa tanggapan yang ditujukan kepada anggota dewan bermunculan terhadap kunjungan kerja, mulai dari masyarakat, Parpol, bahkan dari anggota dewan itu sendiri. Contohnya seperti adanya larangan dari partai politik, hal ini cukup beralasan karena  kebijakan ini muncul di tengah derasnya kecaman publik terhadap agenda ke luar negeri parlemen yang notabenya berisi anggota parpol. Tampaknya keputusan pelarangan ini bermaksud meredam gejolak sesaat di tengah masyarakat. Ini terlihat ketika pelarangan tersebut hanya bersifat pernyataan di media massa, tanpa tindak lanjut serius di DPR. Kemungkinan ketika polemik ini lepas dari amatan publik, kunjungan yang hanya digunakan  untuk “berfoya-foya” akan terulang kembali. Kebijakan ini juga adalah wujud parpol untuk cuci tangan. Kelak, ketika masih ada kunjungan kerja yang dilakukan, tentu kesan yang timbul bukan lagi tanggung jawab parpol, tetapi kesalahan kader. Padahal, semua kebijakan kader di parlemen adalah bagian integral dari program partai politik.
Alasan penghentian kunjungan ke luar negeri karena alasan bencana tidaklah rasional. Ini tidak berarti adalah benar kalau kuker di waktu kini pantas dilakukan. Tentu tidak demikian, kalau memang kunjungan kerja sejak awal telah dirancang atas dasar asumsi kepentingan mendasar, maka akan terasa berfaedahnya bagi kemaslahatan negeri. Masyarakat tentu mendukung kalau kunjungan itu memang sungguh penting bagi kepentingan bangsa dan negara, apalagi demi kepentingan masyarakat korban bencana. Ketidak sinkronan keputusan ini dengan memberhentikan kunjungan sebab ada bencana mengukuhkan tuduhan bahwa kunjungan ke luar negeri selama ini memang tidak dirancang dalam kerangka kebutuhan mendasar, kunjungan itu miskin kepentingan dan kemanfaatan yang terlampaui penting untuk dilakukan. Ambil contoh agenda kunjungan Badan Kehormatan ke Yunani yang bertujuan untuk mempeljari etika anggota parlemen Yunani sangat terlihat mengada-ada karena negara kita yang berideologi Pancsila telah memiliki nilai-nilai etika yang jauh lebih baik.
 Ketikabermunculan kritikan, para petinggi parpol baru menunjukan sikap menentang kebijakan menghambur-hamburkan uang negara itu. Masyarakat tidaklah bodoh, Kalau memang para petinggi parpol itu serius, maka mestinya kebijakan buruk ini sedari dulu dikritisi. Apalagi kalau kebijakan ke luar negeri itu dirasa banyak yang tidak tepat. Hal ini bukan tanpa alasan petinggi parpol memiliki otoritas, termasuk kepentingan dengan kebijakan yang dicetuskan di parlemen, sehingga parpol memiliki kekuatan mengontrol anggotanya agar taat asas dalam merumuskan kebijakan. Mengapa tidak sejak awal kebijakan yang tidak penting, dan hanya sebagai ajang jalan-jalan itu, disikapi? Skenario permainan, melalui pernyataan larangan  sesungguhnya tidaklah baik. Ini hanya cara biasa agar parpol terlihat “menarik” di mata publik.
Tanggapan juga datang dari anggota dewan, seprti apa yang di ungkapkan oleh Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil mendesak Pimpinan DPR untuk membatalkan kunjungan Badan Kehormatan DPR ke Yunani. Kunjungan yang memakan biaya Rp 2,2 miliar semula ditujukan untuk melihat kebersihan Parlemen Yunani dari asap rokok.
Menurut beliau kunjungan anggota DPR ke luar negeri harusnya bertujuan jelas. Jika disampaikan oleh pimpinan Badan Kehormatan DPR bahwa kunjungan tersebut hanya untuk melihat pola hidup bebas merokok di Parlemen Yunani, kunjungan ini tak boleh di-ACC. Tolakan tidak hanya dilontarkan oleh para anggota dewan, malah lebih mngejutkan lagi Gayus Lumbuun yang menjadi ketua Badan Kehormatan itu sendiri menolak agenda kunjungan BK DPR ke Yunani dan meminta Pimpinan DPR membatalkan kunjungan BK ke Yunani, beliau menganggap kunjungan BK tidak bermanfaat, karena untuk keperluan mempelajari kode etik itu bisa dengan cara lain yang lebih mudah dan efisien. Misalnya dengan mengundang pakar filsafat yang ada di universitas, antara lain seperti Universitas Indonesia. Atau cara lainnya juga bisa dengan meminta kepada kedutaan atau perwakilan negara sahabat yang ada di Indonesia mengenai masukan atau bahan serta fasilitas lainnya untuk keperluan yang bisa diterapkan di Indonesia. Menurut beliau, dirinya tidak bisa melarang rekan-rekannya pergi ke Yunani, karena rencana kunjungan kerja ini tidak pernah dilarang oleh pimpinan dewan, pimpinan DPR bertanggung jawab atas sejumlah badan di DPR. Seperti Badan Kehormatan yang berada di bawah kewenangan dari Wakil Ketua DPR yang dipegang dipegang oleh Taufik Kurniawan sehingga tanggungjawab keputusan berada di tangan beliau. Gayus Lumbuun mencontohkan dari beberapa keputusan terdahulu, pimpinan dewan sudah pernah menolak rencana kunjungan kerja dari Komisi V. Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, pernah menolak rencana Komisi V melakukan kunjungan kerja ke Turki. Karena memang faktor-faktor yang diperoleh Pak Pramono tidak sesuai.
3.1.3.2.     Pihak-pihak yang pro dengan rencana kunjungan kerja DPR RI ke luar Negri.
Dalam agenda kujungan kerja BK DPR ada pihak yang menyetujui rencana tersebut seperti Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan pimpinan tidak melarang BK DPR studi banding ke Yunani karena kunjungan itu hak anggota dewan serta kunjungan itu merupakan bagian metode penyusunan legislasi dengan meniru dan memodifikasi untuk membangun infrastruktur legislasi yang memadai di tubuh DPR. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Wakil Ketua DPR Anis Mata yang menegaskan bahwa keputusan yang diambil terhadap kunjungan kerja BK sudah melalui tinjauan dan proses dengan tahapan tertentu.



BAB  IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Agenda kunjungan kerja para anggota DPR keluar negeri merupakan hal yang wajar dan ketentuan tersebut telah di atur dalam UU No 27 tahun 2009. Akan tetapi kunjungan kerja anggota DPR harus memenuhi asas kmanfaatan dan kepatutan sehingga tidak terkesan kunjungan kerja yang dilakukan hanya merupakan alasan angota DPR untuk jalan-jalan. Tentunya hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya laporan secara transparan kepada rakyat terhadap kunjungan kerja yang telah dilakukan dan realisasi apakah yng dapat diberikan kepada rakyat. Namun melihat kondisi bangsa kita sekarang ini yang sering kali dirundung bencana, agenda kunjungan kerja sebaiknya di tunda dulu mengingat anggaran yang dipergunakan untuk kunjungan kerja tidaklah sedikit dan rakyat Indonesia memerlukan bantuan dana dari pemerintah terutama para korban bencana. Sebagai wakil rakyat, para anggota Dewan hendaknya memaklumi hal tersebut karena mereka dipilih oleh rakyat sebagai wakil di pusat, jadi siapa lagi yang akan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan rakyat bila para anggota Dewan yang terhormat tidak lagi memikirkan nasib dan kondisi rakyatnya.
4.2.Saran
Sebaiknya para anggota Dewan lebih peka terhadap masalah yang terjadi di negara ini. Sehingga dalam memutuskan suatu usulan terutama yang menyangkut masalah dana yang besar hendaknya memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA