KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan keadaan dimana
terjadinya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan ,
pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan mereka. Kemiskinan
biasanya disebabkan oleh terbatanya alat pemenuh kebutuhan dasar, atau sulitnya
akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan dapat dikelompokan menjadi dua
kategori , yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relative. Kemiskinan
absolut biasanya mengacu kepada satu standard yang konsisten , tidak terpengaruh
oleh waktu dan tempat ataupun negara.
Kemiskinan yang paling parah terdapat di
dunia bekembang, karena terdapat bukti tentang adanya kemiskinan di setiap
region. Di negara-negara maju, kondisi ini akan menghadirkan kaum tuna wisma
yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota. Kemiskinan dapat
dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang
miskin.
Penyebab
kemiskinan biasanya sering dihubungkan dengan:
1.
penyebab individual, atau patologis, yang
melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari
si miskin;
2.
penyebab keluarga, yang menghubungkan
kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
3.
penyebab sub-budaya (subcultural), yang
menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau
dijalankan dalam lingkungan sekitar;
4.
penyebab agensi, yang melihat kemiskinan
sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
5.
penyebab struktural, yang memberikan alasan
bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur social.
Tanggapan utama dalam rangka mengurangi
tingkat kemiskinan adalah:
1.
Bantuan kemiskinan, atau membantu secara
langsung kepada orang miskin. Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam
kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan
perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan
lain-lain.
2.
Persiapan bagi yang lemah. Daripada
memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera
menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih
mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau
keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.
Kemiskinan merupakan persoalan yang menarik
di bicarakan bagi semua kalangan, baik politisi, budayawan, LSM, maupun
praktisi bidang keilmuan lainnya. Kemiskinan juga merupakan permasalahan yang
mendasar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Pada tahun 1976 kemiskinan Indonesia turun
dari 40% menjadi 11%. Namun, krisis ekonomi tahun 1997 menambah angka
kemiskinan. Di tahun 1998, persentasenya kembali naik menjadi 24%, atau sekitar
40 juta jiwa (baca: www.unsiap.or.ip) dan tahun 2004 menjadi 16,6%.
Untuk di perkotaan, angka tingkat kemiskinan
kian bertambah seiring semakin derasnya arus urbanisasi. Apalagi urbanisasi
merupakan salah satu proses tercepat di antara proses perubahan sosial lainnya,
dimana proses urbanisasi melahirkan proses sosial yang berdampak pada banyak
aspek, baik ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.
Pada proses urbanisasi terjadi pertukaran
budaya dan terbentuk sebuah permukiman baru atau percampuran dengan permukiman
lama.
Aspek lain adalah perebutan sumber lahan yang
semakin lama semakin sedikit. Belum lagi faktor psikologi atau budaya asal yang
dibawa dari daerah asal yang tidak dapat beradaptasi. Ini semua akan
mempengaruhi faktor psikologis. Jika dapat beradaptasi, maka budaya tersebut
akan mendominasi budaya yang telah terbangun.
Tingginya tingkat kemiskinan di perkotaan
dipicu oleh semakin kurangnya lapangan kerja yang diperebutkan, serta kurangnya
keterampilan yang dimiliki. Faktor lain adalah para urban yang datang tidak
dibekali dengan keterampilan untuk bertahan hidup di kota. Faktor lain adalah
rendahnya kepedulian masyarakata kota.
Semakin rumitnya persoalan kemiskinan membuat
pemerintah memprioritaskan pengentasan kemiskinan sebagai program utama, dengan
mendorong semua departemennya untuk membuat program pengentasan kemiskinan.
Kemiskinan kaum kota bukan hanya pada
kemiskinan materi, tapi juga
miskin gagasan, miskin informasi, keterampilan dan
jaringan. Faktor itu diakibatkan kondisi sosial perkotaan yang sifat
kepedulian dan bekerjasama yang sudah luntur.
Dari gambaran kemiskinan tersebut, pemerintah
dalam P2KP, yang sekarang bernama PNPM Mandiri Perkotaan, memiliki garis kerja
TRIDAYA, yaitu kegiatan sosial, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek kegiatan
tersebut dikerjakan oleh masyarakat, diwakili oleh lembaga masyarakat yang di
sebut dengan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).
Harapannya, BKM mampu menjadi lembaga
partisipatif yang menggali gagasan dan permasalahan yang terjadi di lingkungan
masing-masing. Pendanaan juga langsung masuk ke rekening BKM. Dalam proses
pelaksanaannya, kegiatan BKM didampingi oleh fasilitator yang bertugas
memberikan arahan terkait fungsi dan peran BKM sebagai wakil perubahan dalam
masyarakat.
Fasilitator juga berfungsi ganda, yaitu
mengawasi jalannya siklus kegiatan dalam masyarakat. Fasilitator berperan
membangun kapasitas sumberdaya manusia (SDM) atau pengurus BKM dan kelompok
swadaya masyarakat (KSM), serta mencoba menggali gagasan tentang kegiatan yang
berdampak pada tiga hal (Tridaya) di atas.
Namun ada hal yang, menurut saya, mengganjal
dari pengamatan saya secara keseluruhan terhadap BKM yang ada. Kegiatan yang
ada dalam BKM atau masyarakat lebih diprioritaskan pada pembangunan fisik.
Kegiatan lingkungan mengalami penyempitan
makna, dimana lingkungan dipahami sebagai “sekadar” pembangunan fisik jalan, WC
umum, rumah dan bak penampung air. Tidak jadi masalah jika pembangunan fisik
tersebut membuat masyarakat mampu menerima manfaat dari aspek peningkatan
ekonomi atau perbaikan mutu kesehatan (sanitasi). Sayangnya, lingkungan di sini
tidak dimaknai dengan pembangunan fisik yang berdampak pada ekonomi rill dan
persoalan kesehatan.
Begitu pula dengan kegiatan sosial, dimana
banyak kegiatan sosial hanya bersifat pelatihan tanpa melihat dari aspek
ekonomi berkelanjutan dan rill dengan melihat faktor keterampilan, talenta,
aspek pasar dan sumberdaya alam (SDA) yang mendukung.
Yang lebih parah adalah kegiatan ekonomi,
yang menurut saya, tidak mengalami perkembangan (stagnan) dan hanya bergulat
pada dana bergulir saja, tanpa ada langkah lebih jauh untuk mengarahkan
KSM/peminjam ini untuk bisa “bekerja sama dalamsatu
usaha, bukan “bekerja sama-sama dalam usaha berbeda”.
Dari analisis kemiskinan yang sudah dipaparkan
di atas, tampak ada kecendrungan kemiskinan yang terjadi di kawasan kota
disebabkan datangnya kaum urban yang berbaur berasal dari daerah yang sudah
miskin—secara materi, pendidikan, keterampilan, informasi dan relasi. Ditambah
kaum miskin yang bukan urban, tapi di-ninabobo-kan harta peninggalan yang tidak
terkelola, sehingga menjadi habis (kasus masyarakat Betawi di Jakarta dan
masyarakat asli Tamamaung di Kelurahan Tamamaung Makassar).
Faktor kaum asli diakibatkan kurangnya
keterampilan dan unformasi serta relasi dari luar membuat datangnya kaum urban
yang miskin menjadi beban baru. Selain itu, datangnya kaum urban terlatih yang
lebih aktif mengelola sumberdaya di sekitar juga menyebabkan faktor kemiskinan.
Dari gambaran tersebut sangat jelas bahwa
dalam bentuk kegiatan perlu keterkaitan satu sama lain pada tiga aspek kegiatan
Tridaya tersebut, di mana kegiatan sosial dapat berdampak pada ekonomi;
kegiatan lingkungan dapat berdampak ekonomi dan sosial; serta kegiatan ekonomi
dapat berdampak lingkungan dan sosial.
Salah satu contoh yang dilakukan British
Council dengan kegiatan kewirausahaan sosialnya, dimana semua aspek kegiatan
ekonomi dapat diharapkan berdampak lingkungan dan sosial. Harapannya kemudian,
setiap kegiatan sosial berupa pelatihan lebih pada penguatan masyarakat dari
segi aspek skill dan gambaran dari aspek pasar, sehingga KSM yang
bergerak di bidang ekonomi dapat melakukan sebuah kerja kewirausahaan.
Kegiatan selama ini hanya bersifat bantuan
modal usaha yang dikelola sendiri-sendiri, walau pada kenyataannnya mereka
harus berkelompok. Pertanyaannya, untuk apa mereka berkelompok jika usaha yang
dibangun hanya orang per orang?
Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya
kesamaan dalam sebuah usaha dalam satu kelompok akibat tiadanya informasi
atau skillterhadap usaha yang layak jual. Sehingga, harapannnya adalah
bagaimana kegiatan sosial nantinya dapat menjadi sebuah gagasan baru untuk
sebuah unit usaha baru bagi kelompok swadaya masyarakat.
Selama ini kegiatan sosial lebih banyak pada
kegiatan menjahit dan tata boga. Atau yang lainnya berupa pengadaan alat sosial
seperti kursi sosial, peralatan sosial lain dan pengadaan alat yang tidak
dibarengi pelatihan penggunaan serta aspek pasar serta inovasi produk untuk
bertahan menghadapi daya saing pasar.
Kemiskinan memang sangat menarik untuk
dibicarakan, sehingga kemiskinan menjadi semacam sebuah “produk unggulan” yang
laris manis untuk dijual. Namun, apakah dengan hal itu kemiskinan di masyarakat
akan berkurang?
Ataukah kemiskinan merupakan sebuah takdir
semata?
Kemiskinan yang terjadi di negeri
tercinta ini bukan lagi menjadi hal yang aneh, kita sudah sering melihat di
televisis-televisi tentang berita kemiskinan yang selalu tidak pernah absen
dari daftar berita yang dibacakan oleh pembawa berita, bahkan masalah ini sudah
menjadi konsumsi publik sehari-hari. Kemiskinan bukan hanya kekurangan
kebutuhan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tapi kekurangan akses
untuk mencapai kesehatan dan pendidikan juga merupakan kemiskinan. Banyak sekali
anak-anak kecil yang seharusnya mereka bisa menikmati indahnya bangku sekolah
tapi mereka harus terpaksa mengamen dan menjadi pemulung agar bisa menyambung
hidupnya. Para lansia yang seharusnya bisa menikamati masa tuanya dengan
bersantai bersama keluarganya tetapi mereka terpaksa harus bekerja banting
tulang untuk mencari sesuap nasi dan masih banyak lagi kisah-kisah seperti
mereka yang seharusnya tidak terjadi.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah
di mana pemerintah selama ini???dan benarkah ini murni kemiskinan ataukah
pemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah dan para elite politik???. Karena
seringkali kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sama sekali tidak
menguntungkan bagi si miskin, bahkan bisa dikatakan justru menjadi beban bagi
si miskin, seperti kebijakan pemerintah yang sekarang ini menjadi perbincangan
hangat yaitu kenaikan BBM . Saya sendiri tidak tahu apakah nantinya kebijakan
ini akan membuat si miskin aman ataukah terancam. Semoga saja nantinya
pemerintah bisa lebih bijak dan tegas dalam mengambil semua keputusan
Jika kemiskinan adalah takdir, maka mari kita
meminjam kata dari Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, ”Saya loncat dari takdir
satu masuk ke takdir yang lain.” Ini mengisyaratkan, takdir adalah pilihan. Dan
sebuah pilihan terjadi karena ada proses berpikir. Maka kemiskinan akan berubah
dengan mengubah pola pikir tentang kemiskinan tersebut. (marjani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar