Senin, 21 Mei 2012


KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadinya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan mereka. Kemiskinan biasanya disebabkan oleh terbatanya alat pemenuh kebutuhan dasar, atau sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. 
Kemiskinan dapat dikelompokan menjadi dua kategori , yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relative. Kemiskinan absolut biasanya mengacu kepada satu standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat ataupun negara.
Kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, karena terdapat bukti tentang adanya kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini akan menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin. 
Penyebab kemiskinan biasanya sering dihubungkan dengan:
1.      penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
2.     penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
3.     penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
4.     penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
5.     penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur social.
Tanggapan utama dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan adalah:
1.      Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
2.     Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.
Kemiskinan merupakan persoalan yang menarik di bicarakan bagi semua kalangan, baik politisi, budayawan, LSM, maupun praktisi bidang keilmuan lainnya. Kemiskinan juga merupakan permasalahan yang mendasar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Pada tahun 1976 kemiskinan Indonesia turun dari 40% menjadi 11%. Namun, krisis ekonomi tahun 1997 menambah angka kemiskinan. Di tahun 1998, persentasenya kembali naik menjadi 24%, atau sekitar 40 juta jiwa (baca: www.unsiap.or.ip) dan tahun 2004 menjadi 16,6%.
Untuk di perkotaan, angka tingkat kemiskinan kian bertambah seiring semakin derasnya arus urbanisasi. Apalagi urbanisasi merupakan salah satu proses tercepat di antara proses perubahan sosial lainnya, dimana proses urbanisasi melahirkan proses sosial yang berdampak pada banyak aspek, baik ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.
Pada proses urbanisasi terjadi pertukaran budaya dan terbentuk sebuah permukiman baru atau percampuran dengan permukiman lama.
Aspek lain adalah perebutan sumber lahan yang semakin lama semakin sedikit. Belum lagi faktor psikologi atau budaya asal yang dibawa dari daerah asal yang tidak dapat beradaptasi. Ini semua akan mempengaruhi faktor psikologis. Jika dapat beradaptasi, maka budaya tersebut akan mendominasi budaya yang telah terbangun.
Tingginya tingkat kemiskinan di perkotaan dipicu oleh semakin kurangnya lapangan kerja yang diperebutkan, serta kurangnya keterampilan yang dimiliki. Faktor lain adalah para urban yang datang tidak dibekali dengan keterampilan untuk bertahan hidup di kota. Faktor lain adalah rendahnya kepedulian masyarakata kota.
Semakin rumitnya persoalan kemiskinan membuat pemerintah memprioritaskan pengentasan kemiskinan sebagai program utama, dengan mendorong semua departemennya untuk membuat program pengentasan kemiskinan.
Kemiskinan kaum kota bukan hanya pada kemiskinan materi, tapi juga miskin gagasan, miskin informasi, keterampilan dan jaringan. Faktor itu diakibatkan kondisi sosial perkotaan yang sifat kepedulian dan bekerjasama yang sudah luntur.
Dari gambaran kemiskinan tersebut, pemerintah dalam P2KP, yang sekarang bernama PNPM Mandiri Perkotaan, memiliki garis kerja TRIDAYA, yaitu kegiatan sosial, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek kegiatan tersebut dikerjakan oleh masyarakat, diwakili oleh lembaga masyarakat yang di sebut dengan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).
Harapannya, BKM mampu menjadi lembaga partisipatif yang menggali gagasan dan permasalahan yang terjadi di lingkungan masing-masing. Pendanaan juga langsung masuk ke rekening BKM. Dalam proses pelaksanaannya, kegiatan BKM didampingi oleh fasilitator yang bertugas memberikan arahan terkait fungsi dan peran BKM sebagai wakil perubahan dalam masyarakat.
Fasilitator juga berfungsi ganda, yaitu mengawasi jalannya siklus kegiatan dalam masyarakat. Fasilitator berperan membangun kapasitas sumberdaya manusia (SDM) atau pengurus BKM dan kelompok swadaya masyarakat (KSM), serta mencoba menggali gagasan tentang kegiatan yang berdampak pada tiga hal (Tridaya) di atas.
Namun ada hal yang, menurut saya, mengganjal dari pengamatan saya secara keseluruhan terhadap BKM yang ada. Kegiatan yang ada dalam BKM atau masyarakat lebih diprioritaskan pada pembangunan fisik.
Kegiatan lingkungan mengalami penyempitan makna, dimana lingkungan dipahami sebagai “sekadar” pembangunan fisik jalan, WC umum, rumah dan bak penampung air. Tidak jadi masalah jika pembangunan fisik tersebut membuat masyarakat mampu menerima manfaat dari aspek peningkatan ekonomi atau perbaikan mutu kesehatan (sanitasi). Sayangnya, lingkungan di sini tidak dimaknai dengan pembangunan fisik yang berdampak pada ekonomi rill dan persoalan kesehatan.
Begitu pula dengan kegiatan sosial, dimana banyak kegiatan sosial hanya bersifat pelatihan tanpa melihat dari aspek ekonomi berkelanjutan dan rill dengan melihat faktor keterampilan, talenta, aspek pasar dan sumberdaya alam (SDA) yang mendukung.
Yang lebih parah adalah kegiatan ekonomi, yang menurut saya, tidak mengalami perkembangan (stagnan) dan hanya bergulat pada dana bergulir saja, tanpa ada langkah lebih jauh untuk mengarahkan KSM/peminjam ini untuk bisa “bekerja sama dalamsatu usaha, bukan “bekerja sama-sama dalam usaha berbeda”.
Dari analisis kemiskinan yang sudah dipaparkan di atas, tampak ada kecendrungan kemiskinan yang terjadi di kawasan kota disebabkan datangnya kaum urban yang berbaur berasal dari daerah yang sudah miskin—secara materi, pendidikan, keterampilan, informasi dan relasi. Ditambah kaum miskin yang bukan urban, tapi di-ninabobo-kan harta peninggalan yang tidak terkelola, sehingga menjadi habis (kasus masyarakat Betawi di Jakarta dan masyarakat asli Tamamaung di Kelurahan Tamamaung Makassar).
Faktor kaum asli diakibatkan kurangnya keterampilan dan unformasi serta relasi dari luar membuat datangnya kaum urban yang miskin menjadi beban baru. Selain itu, datangnya kaum urban terlatih yang lebih aktif mengelola sumberdaya di sekitar juga menyebabkan faktor kemiskinan.
Dari gambaran tersebut sangat jelas bahwa dalam bentuk kegiatan perlu keterkaitan satu sama lain pada tiga aspek kegiatan Tridaya tersebut, di mana kegiatan sosial dapat berdampak pada ekonomi; kegiatan lingkungan dapat berdampak ekonomi dan sosial; serta kegiatan ekonomi dapat berdampak lingkungan dan sosial.
Salah satu contoh yang dilakukan British Council dengan kegiatan kewirausahaan sosialnya, dimana semua aspek kegiatan ekonomi dapat diharapkan berdampak lingkungan dan sosial. Harapannya kemudian, setiap kegiatan sosial berupa pelatihan lebih pada penguatan masyarakat dari segi aspek skill dan gambaran dari aspek pasar, sehingga KSM yang bergerak di bidang ekonomi dapat melakukan sebuah kerja kewirausahaan.
Kegiatan selama ini hanya bersifat bantuan modal usaha yang dikelola sendiri-sendiri, walau pada kenyataannnya mereka harus berkelompok. Pertanyaannya, untuk apa mereka berkelompok jika usaha yang dibangun hanya orang per orang?
Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya kesamaan dalam sebuah usaha dalam satu kelompok akibat tiadanya informasi atau skillterhadap usaha yang layak jual. Sehingga, harapannnya adalah bagaimana kegiatan sosial nantinya dapat menjadi sebuah gagasan baru untuk sebuah unit usaha baru bagi kelompok swadaya masyarakat.
Selama ini kegiatan sosial lebih banyak pada kegiatan menjahit dan tata boga. Atau yang lainnya berupa pengadaan alat sosial seperti kursi sosial, peralatan sosial lain dan pengadaan alat yang tidak dibarengi pelatihan penggunaan serta aspek pasar serta inovasi produk untuk bertahan menghadapi daya saing pasar.
Kemiskinan memang sangat menarik untuk dibicarakan, sehingga kemiskinan menjadi semacam sebuah “produk unggulan” yang laris manis untuk dijual. Namun, apakah dengan hal itu kemiskinan di masyarakat akan berkurang?
Ataukah kemiskinan merupakan sebuah takdir semata?
Kemiskinan yang terjadi di negeri tercinta ini bukan lagi menjadi hal yang aneh, kita sudah sering melihat di televisis-televisi tentang berita kemiskinan yang selalu tidak pernah absen dari daftar berita yang dibacakan oleh pembawa berita, bahkan masalah ini sudah menjadi konsumsi publik sehari-hari. Kemiskinan bukan hanya kekurangan kebutuhan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tapi  kekurangan akses untuk mencapai kesehatan dan pendidikan juga merupakan kemiskinan. Banyak sekali anak-anak kecil yang seharusnya mereka bisa menikmati indahnya bangku sekolah tapi mereka harus terpaksa mengamen dan menjadi pemulung agar bisa menyambung hidupnya. Para lansia yang seharusnya bisa menikamati masa tuanya dengan bersantai bersama keluarganya tetapi mereka terpaksa harus bekerja banting tulang untuk mencari sesuap nasi dan masih banyak lagi kisah-kisah seperti mereka yang seharusnya tidak terjadi.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah di mana pemerintah selama ini???dan benarkah ini murni kemiskinan ataukah pemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah dan para elite politik???. Karena seringkali kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sama sekali tidak menguntungkan bagi si miskin, bahkan bisa dikatakan justru menjadi beban bagi si miskin, seperti kebijakan pemerintah yang sekarang ini menjadi perbincangan hangat yaitu kenaikan BBM . Saya sendiri tidak tahu apakah nantinya kebijakan ini akan membuat si miskin aman ataukah terancam. Semoga saja nantinya pemerintah bisa lebih bijak dan tegas dalam mengambil semua keputusan
Jika kemiskinan adalah takdir, maka mari kita meminjam kata dari Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, ”Saya loncat dari takdir satu masuk ke takdir yang lain.” Ini mengisyaratkan, takdir adalah pilihan. Dan sebuah pilihan terjadi karena ada proses berpikir. Maka kemiskinan akan berubah dengan mengubah pola pikir tentang kemiskinan tersebut. (marjani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar