Kamis, 24 Mei 2012


POTRET NEGARA HUKUM KITA

Berbicara mengenai hukum dalam suatu negara, tidak lepas dari pembicaraan mengenai Konstitusi Negara. Indonesia sebagai Negara hukum yang secara tegas telah diamanatkan dalam UUD Tahun 1945, memberi semangat kepada penyelenggara Negara dan warga negaranya untuk senantiasa menjadikan hukum sebagai panglima dalam setiap aktifitas penyelenggaraan Negara maupun aktivitas warga negaranya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Namun demikian apa yang diharapkan dari semangat para penyelenggara Negara dan semangat warga negaranya, tidak semua dapat terlaksana sesuai harapan. Setidaknya ada dua faktor penyebab dari serangkaian ketidakkonsistenan tersebut, yakni Pertama, Faktor perangkat hukumnya yang muncul dari pertanyaan awal yakni bagaimana Negara membingkai perangkat hukumnya. Kedua, bagaimana semangat penyelenggara Negara dan warga masyarakatnya.
Tulisan ini hendak mengulas pengaruh konfigurasi politik semenjak tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan era reformasi (1998-2006) dan produk hukum yang dihasilkan sebagai akibat konfigurasi politik. Pada bagian lain juga akan melihat potret Negara hukum kita, dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh kondisi Negara kita yang demokratis maupun pada masa kondisi Negara kita dikuasai oleh pemerintahan yang otoritarian.
Sistem hukum nasional tidak pernah terlepas dari struktur ruhaniah masyarakat yang mendukung sistem hukum tersebut. Dengan kata lain, sistem hukum suatu negara selalu berhubungan erat dengan kebudayaan, struktur berpikir, dasar nilai, keimanan, penjelmaan kepribadian, sifat dan corak masyarakat dimana hukum itu dilahirkan dan ditumbuhkan. (Ahmad Ubbe, : 2003 Hal 1).
 Bingkai Negara Hukum
Pada masa orde lama (5 Juli 1959-Maret1966) dimana dominasi kekuasan Negara terhadap rakyat sangat kuat, semangat penyelenggaraan Negara diwarnai nuansa sentralistik yang otoriter, paham Negara hukum (rechtsstaat), seperti yang didengung-dengungkan dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi slogan yang selalu memunculkan perdebatan. Betulkah hukum menjadi panglima dalam setiap penyelesaian masalah yang fundamental dalam penyelenggaraan Negara. Bukankan yang terjadi sebaliknya, bahwa dominasi politik selalu mewarnai pengambilan keputusan dan kebijakan penyelenggaraan Negara. Domain politik dan domain hukum hanya berbatas tipis baik dalam interprestasi dan implementasinya, sesuai kehendak penguasa yang mendominasi keputusan-keputusan fundamental.
Pada masa orde baru (Maret 1966- Mei 1998), terjadi penterjemahan konsep Negara hukum materiil dimana Negara dapat menggunakan kewenangan yang melekat padanya mendasar pada kekuasaan formal (freis ermersen), sebagai penterjemahan konsep Negara kesejahteraan (welfare state). Dalih demi kepentingan umum selalu dijadikan alasan pembenar bagi setiap pengambilan keputusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perhitungan ekonomi hampir selalu dikedepankan dalam setiap pengambilan keputusan, dan kurang memperhatikan aspek sosial, budaya dan aspek-aspek lain yang terkait.
Masa orde baru juga tidak terjadi perubahan yang fundamental, karena baik era orde lama-orde baru masih memberkakukan UUD Tahun 1945. Pada awal berkuasanya dua rezim di masa itu, Negara menunjukkan sikap yang demokratis dan menghasilkan produk hukum yang responsif, tapi setelah selang beberapa tahun kemudian kembali pada model kekuasaan yang non demokratis. Harus kita akui memang ada semangat baru untuk merubah potret penyelenggaraan Negara, ketika gerakan ajakan pengamalan Pancasila dan UUD Tahun 1945 secara murni dan konsekwen gencar dilakukan pada era ini. Namun hakekat yang tersembunyi dari kehendak yang kuat untuk mempertahankan Pancasila dan UUD Tahun 1945 adalah dikandung maksud untuk melanggengkan kekuasaan yang pada waktu itu di dominasi oleh kekuatan Militer dan Golkar.
Pidato Presiden Suharto pada tanggal 1 Mei 1998 yang menyatakan mengundurkan diri dari Jabatan Presiden setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran yang dimotori mahasiswa, pemuda dan berbagai komponen bangsa di Jakarta dan di Daerah-daerah di Indonesia, merupakan tonggak pertama terjadinnya era baru yakni era reformasi.
Era reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan, menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, sehingga mampu mewujudkan pemerintahan good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semua hal itu diharapkan mampu mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sesuai amanat Pembukaan UUD Tahun 1945. Reformasi juga diharakan mampu mendorong perubahan mental bangsa, baik pemimpin maupun rakyatnya, sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan persamaan.
Setidaknya ada enam tuntutan populer yang didesakkan pada era reformasi, antara lain sebagai berikut :
  1. Amandemen UUD Tahun 1945.
  2. Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI.
  3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, serta pemberantasn KKN.
  4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pemerintah Pusat dan Daerah (otonomi).
  5. Mewujudkan kebebasan Pers.
  6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. (Sekjen MPR, 2006 : 3)

Supremasi hukum ? Itulah kehendak sebagian besar masyarakat Indonesia sesudah reformasi berjalan. Bingkai pemerintahan sebelumnya yang bertumpu pada UUD Tahun 1945 sebelum perubahan membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelenggaraan Negara yang tidak sesuai dengan jiwa/kepribadian bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni antara lain :
  1. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) antar lembaga Negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
  2. Infrastruktur politik yang dibentuk antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi, sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
  3. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
  4. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli, dan monopsoni.

Tuntutan perubahan yang merupakan salah satu agenda adalah perubahan UUD Tahun 1945 yang dilakukan MPR, selain merupakan perwujudan reformasi juga sejalan dengan Pidato Ir. Soekarno, Ketua Panitia Penyusun UUD Tahun 1945, yang dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan “bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.
Perubahan UUD Tahun 1945 mengenai Indonesia adalah Negara hukum diatur dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Ketentuan ini berasal dari Penjelasan UUD Tahun 1945, yang diangkat kedalam Pasal UUD Tahun 1945 perubahan. Negara hukum yang dimaksud adalah Negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). Masuknya rumusan itu kedalam UUD Tahun 1945 merupakan salah satu contoh pelaksanaan kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan, yakni kesepakatn untuk memasukkan hal-hal normatif yang ada di dalam Penjelasan ke dalam Pasal-pasal.
Masuknya ketentuan mengenai Indonesia adalah Negara hukum dari penjelasan yang semula rumusan lengkapnya adalah “ Negara yang berdasar atas hukum” ke dalam Pasal dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa bangsa Indonesia adalah Negara hukum, baik dalam penyelenggaraan Negara maupun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Secara umum, dalam setiap Negara yang menganut paham Negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (eguality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap Negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya :
  1. Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
  2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
  3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa pemerintah/Negara maupun warga Negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.

Berdasarkan ketentuan, Pasal 24 negara hukum Indonesia mengenal juga adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai salah satu lingkungan peradilan disamping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan agama. Adapun PTUN sering juga diterima sebagai salah satu ciri Negara hukum.
Didalam lieratur memang dikenal juga ciri lain sebagi varian di dalam Negara hukum, yakni adanya peradilan tata usaha Negara atau peradilan administrasi (administratief rechtsspraak). Namun ciri itu tidak selalu ada dinegara hukum, karena sangat tergantung pada tradisi yang melatarbelakanginya. Ciri itu biasanya ada di Negara dengan latar belakang tradisi Eropa Kontinental dengan menggunakan istilah rechsstaat. Didalam rechsstaat pelembagaan peradilan dibedakan dengan adanya peradilan khusus administrasi Negara karena pihak yang menjadi subyek hukum berbeda kedudukannya yakni pemerintah/pejabat tata usaha Negara melawan warga Negara sebagai perseorangan atau badan hukum privat. Namun di Negara hukum yang berlatar belakang tradisi Anglo Saxon yang Negara hukumnya menggunakan istilah the rule of law peradilan khusus tata usaha Negara pada umumnya tidak dikenal, sebab pandangan dasarnya semua orang (pejabat atau bukan pejabat) berkedudukan sama didepan hukum.
Indonesia Negara Hukum Seperti Apa ?
Konsep Negara hukum formil, dimana terjadi pemisahan yang ketat diantara lembaga penyelenggara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), pada kenyataannya banyak merugikan kepentingan rakyat, karena pada kenyataannya pemerintahan lebih banyak bersikap menunggu/pasif. Tidak adanya kebebasan eksekutif dalam mengimplementasikan kewenangan (sebagai pelaksana undang-undang murni), pada kenyataannya banyak menimbulkan masalah-masalah baru yang penyelesaiannya lambat. Oleh sebab itu kita tidak menganut paham Negara hukum formil. Ketiga poros kekuasaan mempunyai fungsi yang tidak limitatif. Praktek pembatasan diantara ketiga lembaga tersebut secara tegas telah terbukti membawa stagnasi dalam pembangunan hukum kita.
Meskipun tidak sepenuhnya menganut paham Negara hukum dari Eropa Kontinental, karena warisan sistem hukum Belanda, Indonesia menerima dan melembagakan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam sistem peradilannya. Sementara itu penggunaan istilah rechsstaat dihapus dari UUD Tahun 1945 sejalan dengan peniadaan Penjelasan UUD Tahun 1945. Istilah resmi yang dipakai sekarang adalah “negara hukum” seperti yang tercantum dalan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 hasil perubahan yang menyerap substansi rechsstaat dan the rule of law sekaligus. Unsur konsepsi Negara hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon (the rule of law) di dalam UUD Tahun 1945 terlihat dari bunyi Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Konsekwensi ketentuan itu adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat Negara dan penduduk (warga Negara dan orang asing) harus berdasarkan hukum. Ketentuan itu sekaligus dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara maupun oleh penduduk.
Pahan Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat dengan Negara kesejahteraan (welfare state) atau paham Negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaaan UUD Tahun 1945. Pelaksanaan paham Negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya Negara kesejahteraan di Indonesia.
Negara Indonesia sebagai Negara kesejahteraan, berarti terdapat tanggung jawab Negara untuk mengembangkan kebijakan Negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baik, melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.
Determinasi Politik atas Hukum.
Asumsi ini berawal dari pemahaman kita bahwa sesungguhnya hukum itu sangat dipengaruhi politik. Singkat kata hukum merupakan produk politik, sehingga tidak berlebihan jika hukum merupakan kristalisasi kehendak kekuatan-kekuaan politik yang saling berkompetisi. Konfigurasi politik yang ada pada kurun waktu tertentu akan melatarbelakangi suatu produk hukum dan mempengaruhi potret hukum pada saat itu juga, atau dengan kata lain bahwa “politik itu determinan atas hukum”. (Moh Mahfud MD, 1999 : 291). Perjalanan sejarah telah membuktikan selalu terjadi tarik ulur atau pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter Sebagai gambaran, penulis sampaikan sejarah perjalanan konfigurasi politik Negara kita, sebagai berikut :
  1. Pada awal kemerdekaan (18 Agustus-16 Oktober 1945), melalui Ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD Tahun 1945 secara formal Negara tersusun dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter, karena menyerahkan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA kepada Presiden sebelum Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dibantu oleh sebuah komite nasional.
  2. Melalui Maklumat No. X Tahun 1945 yang kemudian disusul dengan perubahan sistem kabinet, konfigurasi politik berubah menjadi sangat demokratis (1945-1959).
  3. Konfigurasi politik yang demokratis ini bergeser menjadi sangat otoriter sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberi jalan bagi Bung Karno untuk menerapkan konsepsi demokrasi terpimpinnya (1959-1966).
  4. Ketika orde baru lahir pada Bulan Maret 1966 konfigurasi politik kembali bergeser kearah yang demokratis. Semboyan yang dikumandangkan ketika itu adalah menegakkan kehidupan yang demokratis dan konstitusional, melaksanakan Pancasila dan UUD Tahun 1945 secara murni dan konsekwen, membangun supremasi hukum dan sebagainya (1966-1969/1971).
  5. Keadaan demokratis hanya berlangsung selama tiga tahun pada awal orde baru, sebab setelah seminar AD II, memutuskan untuk mengutamakan pembangunan ekonomi, maka format baru politik Indonesia yang disusun adalah format yang tidak demokratis, format yang memberikan kekuatan politik bagi pemerintah (eksekutif) melalui tangan-tangannya di MPR dan DPR. Tujuannya adalah agar bisa tercipta stabilitas politik yang dapat memperlancar jalannya pembangunan (ekonomi). Format politik yang baru itu dituangkan di dalam dua Undang-Undang Politik, yakni UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU N0. 16 Tahun 1969 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD. Meskipun telah beberapa kali diubah, kedua Undang-undang ini secara substansial tetap berlaku sampai runtuhnya orde baru (1998).
  6. Konfigurasi Politik era reformasi (1998-sekarang) lebih diwarnai kemauan politik Wakil-wakil rakyat di Lembaga Formal (MPR DPR dan DPD) seperti tuntutan pelaksanaan otonomi daerah yang luas (UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perimbangan pembagian keuangan yang lebih besar porsinya untuk Daerah ( UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam bidang Politik juga muncul UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol, UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR,DPR,DPD dan DPRD dan sebagainya. Nuansa yang hendak dibangun dalam sistem politik dan penyelenggaraan Negara adalah sebuah konfigurasi politik yang demokratis, dan sudah secara nyata selama kurun waktu delapan tahun terakhir bangsa kita telah banyak melahirkan produk-produk hukum yang responsif, meski disana-sini perlu penyempurnaan.

Penetapan demokratis dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan indikator-indikator tertentu, sebab kedua istilah tersebut bersifat ambigu (Moh Mahfud MD, 1999 : 294). Indikator –indikator yang dipergunakan adalah peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberapa hal yang tampak dari indikator tersebut adalah :
  1. Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD yang berlaku. UUD yang sama pada waktu yang berbeda (seperti UUD Tahun 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik yang demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1969/1971) dan konfigurasi politik yang otoriter (periode 1959-1969 dan 1969/1971-sampai 1998), sebaliknya UUD Tahun 1945 yang berada pada periode yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950) yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi yang sama, yakni demokratis. Dengan demikian demokratis atau tidaknya sebuah sistem politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain-pemain politiknya.
  2. Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan (gezagsverhouding), ternyata konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Hal tersebut dapat ditandai antara lain :
    • Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif, menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partisipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga Negara terutama pihak eksekutif (sentralistis).
    • b. Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif dalam arti mencerminkan kehendak aspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positivistik-instrumentalistik dalam arti lebih mencerminkan kehendak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah.
    • c. Cakupan isi hukum yang responsif biasanya rinci, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail (limitatif) sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan hukum konservatif biasanya memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu, sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peratuan pelaksanaan yang sifatnya interpretatif. (Moh Mahfud MD, 1999 : 296).

Sikap Ambigu dalam Tataran Implementasi Hukum
Lantas bagaimana potret Negara hukum kita saat ini ? Kita memang terjebak pada keadaan yang ambiguous, karena tidak memiliki kepastian orientasi tentang konsepsi negara hukum mana yang kita anut, apakah rechsstaat atau the rule of law ? (Moh Mahfud MD, 1999 : 364). Didalam salah satu Pasal UUD Tahun 1945, kita kenal istilah Negara hukum yang diadopsi dari kata rechsstaat dari penjelasan UUD Tahun 1945, meski istilah tersebut telah dihapus, tetapi didalam keseluruhan elemen konstitusi ini terdapat elemen-elemen rechsstaat maupun the rule of law. Bahkan dalam Undang-undang Pokok Kehakiman kita, UU No. 14 Tahun 1970 terakhir dengan UU No. 35 Tahun 1999 ada arahan, agar para hakim dalam memutus perkara, supaya menggali rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, yang berarti tidak harus berpatokan secara ketat kepada peraturan perundang-undangan. Namun pada saat yang sama, ada arahan untuk berpegang teguh pada asas legalitas, yang berarti harus berpegang pada peraturan perundang-undangan.
Ambiguitas atau konsep sintetis seperti ini sering menimbulkan situasi yang runyam, karena tidak jarang ada klaim yang saling bertentangan, tetapi masing-masing menyatakan berpijak pada prinsip Negara hukum. Situasinya menjadi lebih runyam dengan adanya sikap ingin menang dalam berperkara, dan bukan ingin menegakkan dan keadilan. Jika perkara dapat dimenangkan dengan konsep rechsstaat, dalil yang digunakan adalah asas legalitas dan kepastian hukum, tetapi pada saat yang lain, untuk memenangkan perkara lain justru yang ditonjolkan adalah kebebasan hakim untuk memutus perkara berdasarkan rasa keadilan sehingga hakim harus berani keluar dari ketentuan/undang-undang yang berlaku.
Pemencaran Kekuasaan
Paham Negara hukum demokratis hanya akan mendapat pengakuan dari teori dan pendapat siapapun, apabila adanya pemencaran kekuasan. Pemencaran secara horizontal akan terlihat pada bekerjanya lembaga-lembaga pemegang kekuasaan Negara, seperti MPR, DPR, MA, BPK dan lembaga yang setingkat seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial (hasil Perubahan UUD Tahun 1945). Sedangkan pemencaran kekuasaan secara vertikal akan menghasilkan hubungan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang akan melahirkan otonomi dan desentralisasi pada tipe Negara yang demokratis dan sentralistik berpadanan dengan dekonsentrasi pada Negara yang tidak demokratis.
Baik pada kurun waktu 1945-1959, era orde lama (1959-1966) maupun era orde baru (1966-1998) dan terakhir era reformasi (1998-sekarang), terjadi konfigurasi Politik yang berpengaruh pada konfigurasi hukum yang silih berganti antara paham Negara hukum yang demokratis maupun paham Negara hukum non demokratis yang tekanannya pada pola hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dapat berwujud otonomi berpasangan dengan desentralisasi (penyerahan kekuasaan) dihadapkan pada perubahan yang sentralistik berpasangan dengan dekonsentrasi (pelimpahan kekuasaan).
 Dinamika kehidupan ketatanegaraan dari kurun waktu tertentu yang tidak sama pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh konfogurasi politik yang sedang eksis pada waktu itu. Tidaklah berlebihan jika labilitas kehidupan ketatanegaraan tersebut berpengaruh pula pada pola hubungan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Menurut pendapat penulis, akan lebih bijak sekiranya penerapan konsepsi negara hukum tersebut dikombinasikan dengan pilihan yang tegas. Pada saat penerapan hukum yang bersifat publik khususnya hukum pidana, akan lebih tepat apabila konsepsi Negara hukum rechsstaat yang kita terapkan. Namun pada saat yang lain, yakni ketika hakim memeriksa perkara hukum privat konsepsi Negara hukum the rule of law, menjadi lebih dapat memberikan rasa keadilan dan menghindarkan para pencari keadilan dari sekedar ingin memenangkan suatu perkara. Aspek legal formal menjadi penentu dalam upaya penegakan hukum, dengan tetap memperhatikan kepastian dan kesebandingan hukum.
Kembali pada konsep semula bahwa, sebaik apapun suatu produk hukum apabila semangat para penyelenggara Negara maupun warga masyarakatnya, tidak mempunyai “kehendak” untuk menjadikan hukum sebagai instrumen pemberi perlindungan dan keadilan, sehingga supremasi hukum diabaikan, maka tragedi hukum akan terus menerus terjadi dan menjadi bahan perdebatan yang tidak pernah berujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar