Kamis, 24 Mei 2012


“Ulasan  fenomena peraturan daerah bermasalah”

 Republik Indonesia (RI) didirikan tertutama untuk mewujudkan cita-cita besar, yaitu mensejahterahkan rakyatnya. Gagasan itu termaksud  dalam pembukaan UUD 1945 dan secara operasional dikukuhkan dalam pasal 18 UU 1945  melalui konsepsi otonomi daerah. Beberapa model  otonomi daerah  telah dilansungakan di indonesia berdasarkan dengan pergantian rezim.  Sejak era pascakemerdekaan,  era pemerintahan orde lama hingga orde baru  kebijakan  sentaralisasi  yang diterapakan hasilanya tidak subtansial dan tidak signifikan bagi masyarakat daerah. Suatua hal yang berbeda dari yang sebelumnya, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Daerah Dengan Pemerintahan Pusat telah merubah pendahulu  dari sistem sentaralistik menjadi sistem disentaralistik. Pemerintahan daerah relatif  memiliki kewewenang untuk mengelolah daerahnya dan belajar untuk lebih mandiri.  
Dibawah naungan Negara Keasatuan Republik indonesia (NKRI) kebijakan desentraliasi diterapkan dengan tujuan utama untuk  meningkatakan pelayanan kepada masyarakat  dan mensejahterakan  rakyat. Adalah jelas bahwa otonomi daerah yang hendak dibangun di negeri ini dimaksudkan untuk memberdayakan pemerintah daerah  dan masyarakatnya  sehingga daerah bisa lebih maju secara ekonomi dan politik. Seiringan dengan itu  pemerintah daerah yang demokratis pun diharapkan  bisa diwujudkan. Untuk merealisasikan  tujuan otonomi daerah tersebut, diperlukan instrumen hukum yang beperan aktif mendukung keberhasilannya.
Peraturan daerah (Perda) merupakan pilar utama yang memayungi relisasi otonomi daerah. Sebagaimana halnya  undang-undang, peraturan daerah memiliki karakteristis yang bersifat mengatur, khususnya mengatur relasi antara pemerintahan lokal, masyarakat lokal  dan stakeholder lokal seperti dunia usaha. Peraturan daerah bukan hanya mengatur tentang hal-hal yang menyangkut  kehidupan politik, sosial,  dan budaya masyarakat, tetapi juga ekonomi daerah. Karena itu, perda menjadi instrument penting dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan pada umumnya.
Di tataran praktis, perda yang dibuat belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibatnya, muncul pembatalan Perda oleh Depertemen Dalam Negri (Depdgri) dan Mahkamah Agung. Pembatalan Perda tersebut disebabkan oleh keinginan pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan melalui pajak  dan retribusi  yang tak jarang justru melanggar undang-undang   atau peraturan yang diatasnya. Sebagai contoh, menurut kajian Depertemen Dalam negri(Depdagri), dari 5.054 Perda yang diterima  selama periode 1999-2006, 930 diantaranya adalah Perda bermasalah. Dari jumlah tersebut, Depdagri telah membatalkan 506 perda bermasalah, 156 Perda di revisi dan 24 Perda dibatalkan sendiri oleh Pemda. Sementara itu, selam periode 2007 perda yang dibatalkan berjumlah 173.
Secara menyeluruh dapat disimpulakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan sejak 2001 dipahami secara berbeda oleh pemerinthan pusat dengan daerah. Hal ini tercermin dengan jelas dari regulasi yang dibuat  daerah-daerah yang tak jarang  dinilai melanggar peraturan atau rundang-undangan diatasnya. Dia satu sisi, pemerintahan pusat  telah membuat payung hukum berupa UU, PP, dan Peraturan Sektoral, tetapi juga sering bertentangan dalam hal harmonisasinya  sehingga menbingungkan daerah. Selain itu adalah  kurangnya pendampingan  dan pengawasan pemerintah terhadap pembuatan peraturan daerah  kurang memadai,daerah cenderung dibiarkan  membuat  dan merumuskan perda sehingga hasilnya kurang berkwalitas, kurang bisa di pertanggung jawabkan dan bahkan menimbulkan  permasalahan dalam masyarakat.
Ada beberapa factor yang menyebabkan perda dinilai bermasalah: pertama kurangnya fleksibelnya  aturan hukum yang mendukung proses pembuatan Perda. Kedua proses pembuatan Perda seolah-olah menjadi sebuah rutinitas pekerjaan saja, tampa ada upaya lebih khusus untuk menciptakan aturan yang lebih berkwalitas. Ketiga selain itu pelaksana pembentukan peraturan daerah (biro hukum dan perundang-undangan), dalam halnya seringkali tidak didasarkan pada skala prioritas isu yang ada dalam masyrakat. keempat proses  pembentukan perda masih kurang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam keseluruhan proses pembentukan Perda.
Factor-factor yang mengahambat dan mendukung  proses legeslasi  di daerah terutama terkait dengan kelembagaan ,baik di lembaga ( Pemda atau DPRD) maupun terkait dengan koordinasi  dengan lembaga lainnya. Dalam konteks lembaga pembuat perda yaitu  dewa perwakilan rakyat daerah (DPRD), kewenangan yang dimiliki (DPRD) hingga kini tdak di iringi dengan kinerja yang memuaskan. Pencapaian yang kurang memuaskan tersebut disebabkan oleh beberapa kendala yang terkait dengan proses legislasi daerah di tingakat DPRD, diantaranya : tidak adanya pengaturan yang memadai tentang tata cara penyampaian reperda secara komperensif, ketidak sinkronan  perundang-undangan yang berlaku mengenai perlu adanya keberadaan lembaga legislasi, pemberlakuan empat tingkat pembicaraan di tingkat pembicaraan di tingkat DPRD yang menjadikan kurang efisiennya pembahasan reperda, ketiadaan peraturan mengenai perlu atau tidaknya  naskah akademik,  peraturan yang memadai tentang partisipasi publik dalam pembentukan reperda dan kurangnya dukungan SDM dan anggaran dalam pembentukan Perda di DPRD.
Hambatan di lembaga eksekutip  (Pemda) sebagimana diungkapkan diatas bahwa  sistem penganggaran dan pertanggung jawaban yang tidak fleksebelitas. Kopentensi di lembaga pemda yang sering berganti-ganti  posisi jabatan. serta kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga yang seharusnya  dapat memberikan peran optimal dalam pembuatan Perda  seperti Depdagri( dalam kontek  hirarki) Dephukham ( dalam kontekssubtansi yang menyangkut HAM) serta Depertemen yang terkait. Pemda, bahkan  harus mengundang staf di Depertemen tersebut  secara pribadi untuk memberikan masukan atas draf reperda yang di buat.
Untuk mencegah agar perda tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi  maka pemberdayaan pemerintahan daerah  melalui  peningkatan kapasitas pembentukan peraturan daerah perlu dilakukakan. Peningkatan teknis pemerintahan daerah dalam memahami materi kewenangan yang dimilikinya, wilayah wewenangnya,enggang waktu kewenangannya  dan prosedur pembentukannya, perlunya pengaturan yang lebih jelas mengenai hak-hak warga untuk terlubat dalam proses pembauatan perda. Kepala daerah dan DPRD dalam membentuk peraturan  daerah perlu melibatkan pelaku kepentingan yang terkait, adanya rekomendasi untuk mengatasi hambatan di tingkat pemda terkait perlunya fleksibelitas aturan yang menyangkut anggaran dan pertanggung jawaban, serta pemerintahan daerah perlu  mendapatkan bantuan  teknis  maupun subtansial dalam proses pembentukan peraturan daerah untuk mencegah  terjadinya pembantalan  Perda .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar