“Ulasan fenomena peraturan daerah bermasalah”
Republik Indonesia (RI) didirikan tertutama
untuk mewujudkan cita-cita besar, yaitu mensejahterahkan rakyatnya. Gagasan itu
termaksud dalam pembukaan UUD 1945 dan
secara operasional dikukuhkan dalam pasal 18 UU 1945 melalui konsepsi otonomi daerah. Beberapa
model otonomi daerah telah dilansungakan di indonesia berdasarkan
dengan pergantian rezim. Sejak era
pascakemerdekaan, era pemerintahan orde
lama hingga orde baru kebijakan sentaralisasi
yang diterapakan hasilanya tidak subtansial dan tidak signifikan bagi
masyarakat daerah. Suatua hal yang berbeda dari yang sebelumnya, UU No 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintahan Daerah Dengan Pemerintahan Pusat telah merubah
pendahulu dari sistem sentaralistik
menjadi sistem disentaralistik. Pemerintahan daerah relatif memiliki kewewenang untuk mengelolah
daerahnya dan belajar untuk lebih mandiri.
Dibawah naungan
Negara Keasatuan Republik indonesia (NKRI) kebijakan desentraliasi diterapkan
dengan tujuan utama untuk meningkatakan
pelayanan kepada masyarakat dan
mensejahterakan rakyat. Adalah jelas
bahwa otonomi daerah yang hendak dibangun di negeri ini dimaksudkan untuk
memberdayakan pemerintah daerah dan
masyarakatnya sehingga daerah bisa lebih
maju secara ekonomi dan politik. Seiringan dengan itu pemerintah daerah yang demokratis pun
diharapkan bisa diwujudkan. Untuk
merealisasikan tujuan otonomi daerah
tersebut, diperlukan instrumen hukum yang beperan aktif mendukung
keberhasilannya.
Peraturan
daerah (Perda) merupakan pilar utama yang memayungi relisasi otonomi daerah.
Sebagaimana halnya undang-undang,
peraturan daerah memiliki karakteristis yang bersifat mengatur, khususnya
mengatur relasi antara pemerintahan lokal, masyarakat lokal dan stakeholder lokal seperti dunia usaha.
Peraturan daerah bukan hanya mengatur tentang hal-hal yang menyangkut kehidupan politik, sosial, dan budaya masyarakat, tetapi juga ekonomi
daerah. Karena itu, perda menjadi instrument penting dalam meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan pada umumnya.
Di tataran
praktis, perda yang dibuat belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibatnya, muncul pembatalan Perda
oleh Depertemen Dalam Negri (Depdgri) dan Mahkamah Agung. Pembatalan Perda
tersebut disebabkan oleh keinginan pemerintah daerah untuk memaksimalkan
pendapatan melalui pajak dan
retribusi yang tak jarang justru
melanggar undang-undang atau peraturan yang diatasnya. Sebagai contoh,
menurut kajian Depertemen Dalam negri(Depdagri), dari 5.054 Perda yang
diterima selama periode 1999-2006, 930
diantaranya adalah Perda bermasalah. Dari jumlah tersebut, Depdagri telah
membatalkan 506 perda bermasalah, 156 Perda di revisi dan 24 Perda dibatalkan
sendiri oleh Pemda. Sementara itu, selam periode 2007 perda yang dibatalkan
berjumlah 173.
Secara
menyeluruh dapat disimpulakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah yang
diterapkan sejak 2001 dipahami secara berbeda oleh pemerinthan pusat dengan
daerah. Hal ini tercermin dengan jelas dari regulasi yang dibuat daerah-daerah yang tak jarang dinilai melanggar peraturan atau rundang-undangan
diatasnya. Dia satu sisi, pemerintahan pusat
telah membuat payung hukum berupa UU, PP, dan Peraturan Sektoral, tetapi
juga sering bertentangan dalam hal harmonisasinya sehingga menbingungkan daerah. Selain itu
adalah kurangnya pendampingan dan pengawasan pemerintah terhadap pembuatan peraturan
daerah kurang memadai,daerah cenderung
dibiarkan membuat dan merumuskan perda sehingga hasilnya kurang
berkwalitas, kurang bisa di pertanggung jawabkan dan bahkan menimbulkan permasalahan dalam masyarakat.
Ada beberapa
factor yang menyebabkan perda dinilai bermasalah: pertama kurangnya fleksibelnya
aturan hukum yang mendukung proses pembuatan Perda. Kedua proses pembuatan Perda seolah-olah menjadi sebuah rutinitas
pekerjaan saja, tampa ada upaya lebih khusus untuk menciptakan aturan yang
lebih berkwalitas. Ketiga selain itu
pelaksana pembentukan peraturan daerah (biro hukum dan perundang-undangan),
dalam halnya seringkali tidak didasarkan pada skala prioritas isu yang ada
dalam masyrakat. keempat proses pembentukan perda masih kurang melibatkan partisipasi
aktif masyarakat dalam keseluruhan proses pembentukan Perda.
Factor-factor
yang mengahambat dan mendukung proses
legeslasi di daerah terutama terkait
dengan kelembagaan ,baik di lembaga ( Pemda atau DPRD) maupun terkait dengan
koordinasi dengan lembaga lainnya. Dalam
konteks lembaga pembuat perda yaitu dewa
perwakilan rakyat daerah (DPRD), kewenangan yang dimiliki (DPRD) hingga kini
tdak di iringi dengan kinerja yang memuaskan. Pencapaian yang kurang memuaskan
tersebut disebabkan oleh beberapa kendala yang terkait dengan proses legislasi
daerah di tingakat DPRD, diantaranya : tidak adanya pengaturan yang memadai
tentang tata cara penyampaian reperda secara komperensif, ketidak
sinkronan perundang-undangan yang
berlaku mengenai perlu adanya keberadaan lembaga legislasi, pemberlakuan empat
tingkat pembicaraan di tingkat pembicaraan di tingkat DPRD yang menjadikan
kurang efisiennya pembahasan reperda, ketiadaan peraturan mengenai perlu atau
tidaknya naskah akademik, peraturan yang memadai tentang partisipasi
publik dalam pembentukan reperda dan kurangnya dukungan SDM dan anggaran dalam
pembentukan Perda di DPRD.
Hambatan di
lembaga eksekutip (Pemda) sebagimana
diungkapkan diatas bahwa sistem
penganggaran dan pertanggung jawaban yang tidak fleksebelitas. Kopentensi di lembaga
pemda yang sering berganti-ganti posisi
jabatan. serta kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga yang seharusnya dapat memberikan peran optimal dalam
pembuatan Perda seperti Depdagri( dalam
kontek hirarki) Dephukham ( dalam
kontekssubtansi yang menyangkut HAM) serta Depertemen yang terkait. Pemda,
bahkan harus mengundang staf di Depertemen
tersebut secara pribadi untuk memberikan
masukan atas draf reperda yang di buat.
Untuk
mencegah agar perda tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka pemberdayaan pemerintahan daerah melalui
peningkatan kapasitas pembentukan peraturan daerah perlu dilakukakan.
Peningkatan teknis pemerintahan daerah dalam memahami materi kewenangan yang
dimilikinya, wilayah wewenangnya,enggang waktu kewenangannya dan prosedur pembentukannya, perlunya
pengaturan yang lebih jelas mengenai hak-hak warga untuk terlubat dalam proses
pembauatan perda. Kepala daerah dan DPRD dalam membentuk peraturan daerah perlu melibatkan pelaku kepentingan
yang terkait, adanya rekomendasi untuk mengatasi hambatan di tingkat pemda
terkait perlunya fleksibelitas aturan yang menyangkut anggaran dan pertanggung
jawaban, serta pemerintahan daerah perlu
mendapatkan bantuan teknis maupun subtansial dalam proses pembentukan
peraturan daerah untuk mencegah
terjadinya pembantalan Perda .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar