Senin, 21 Mei 2012


Pahlawan Yang Kampungan
Oleh: Marjani
Sudah wajar bila isi media massa selalu didominasi berbagai isu korupsi pejabat publik dan birokrasi pusat maupun daerah. Telinga pun sudah bosan mendengar sikap dan perilaku elite yang tidak serius untuk berbenah dan bekerja. Meskipun hal ini tidak dapat digeneralisasi, fakta banyak birokrasi pemerintah yang masih buruk, tidak dapat dikesampingkan.
Miskin Transparansi
Penulis sangat sepakat dengan pendapat yang disampaikan oleh M. Alfan Alfian dalam tulisannya yang berjudul Bangsa Main-main (18-11) di salah satu halaman media masa nasional. Bagaimana tidak main-main, belum juga terungkap dugaan adanya mafia hukum dan pajak yang bermain dalam kasus Gayus, si terdakwa bisa dengan santainya meleggang keluar dari rutan dan menonton pertandingan tenis di Bali. Apalagi pengakuan yang disampaikan pihak Polri dan Rutan sempat berbeda dengan keterangan yang bersangkutan.
Contoh tersebut hanya merupakan salah satu praktek birokrasi yang ada di negeri ini. Kondisi ini secara empiris menunjukkan kepada masyarakat bahwa birokrasi Indonesia memang sangat miskin transparansi, tidak akuntabel, dan tidak kredibel.
Wajar saja jika masyarakat menilai sangat rendah institusi penegak hukum dan elemen pemerintah baik di pusat maupun daerah. Sebab, birokrasi lembaga-lembaga ini dirasakan sangat minim perbaikan akan transparansi. Bagaimana dapat diubah dan diawasi jika birokrasinya tidak pernah sungguh-sungguh membuka diri terhadap kritik dan masukan dari masyarakat. Agaknya sangat sulit memercayai janji-janji perbaikan yang disampaikan. Selain tidak konsisten, hal tersebut hanya lip service.
Lamban dan Kaku
Penyakit lain yang masih menjangkiti birokrasi Indonesia adalah lamban dan kaku. Birokrasi sulit untuk bergerak cepat dan tangkas jika masalah sudah muncul di depan mata. Kelambanan dan kekakuan ini mungkin disebabkan oleh internal birokrasi sendiri yang tidak memiliki semangat (passion) untuk mewujudkan visi mencerdaskan dan menyejahterakan kehidupan masyarakat. Birokrasi lebih berkutat pada perhitungan cost dan benefit yang sering penuh dengan kepentingan. Praktek selama ini yang terjadi, masyarakat lebih sering menanggung cost yang lebih besar daripada benefit yang diperoleh.
Jika birokrasi sendiri tidak serius untuk melakukan peranannya, sudah pasti tidak ada yang dapat diharapkan dari birokrasi itu. Masyarakat memerlukan birokrasi yang responsif, cepat, dan bijak dalam mengambil setiap keputusan. Birokrasi yang sangat menyadari kekurangan dan kelemahannya, tapi cepat untuk memperbaikinya dan membangun apa yang menjadi kekuatannya. Kultur seperti itulah yang harusnya ada dalam jati diri birokrasi yang hendak menyongsong era perkembangan dan pembangunan ekonomi yang potensial.
Masih ‘Kampungan’
Birokrasi yang miskin transparansi dan akuntabilitas serta lamban dan kaku adalah birokrasi yang sudah pasti tidak sehat dan ketinggalan zaman. Tidak salah jika menyebutnya sebagai birokrasi yang “kampungan” atau kuno. Coba saja lihat, birokasi bisnis atau dunia usaha, indikator untuk dapat dikatakan berkualitas dan bersih adalah transparan, akuntabel, inovatif, dan cepat mengambil keputusan. Masyarakat tidak akan menaruh kepercayaannya kepada perusahaan atau entitas bisnis yang tertutup dan kaku. Itu sebabnya, dalam BUMN mutlak diterapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Hasilnya adalah SDM, manajemen, dan kultur organisasi yang berkualitas dan dapat diandalkan. Secara individual dan kelembagaan dapat bersaing dengan entitas bisnis yang lain baik secara nasional maupun internasional. Bukankah reputasi birokrasi semacam ini yang diharapkan semua pihak.
Jika hal tersebut yang ingin diwujudkan, sudah waktunya, semua unsur kelembagaan pemerintah memberikan peran dan peluang yang lebih besar bagi masyarakat untuk terlibat langsung. Birokrasi jangan pelit dan takut akan kehilangan kekuasan, karena toh, kedaulatan adalah di tangan rakyat. Berikan ruang yang lebih luas untuk demokrasi partisipatif agar masyarakat dapat menjadi pengontrol yang efektif. Sudah banyak regulasi yang mendukung hal tersebut dan birokrasi seharusnya menaatinya.
Sangat tepat apa yang ditulis oleh Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt (2007), bahwa government should be run like a democracy. Tiga elemen utama dalam prinsip-prinsip new public service yang diperkenalkan keduanya adalah serving (melayani), love (cinta), dan citizenship (kewarganegaraan). Bahwa negeri ini milik publik dan hanya untuk publik, bukan untuk kepentingan segelintir elite atau golongan tertentu.

Sobat….Selamat Berjuang !
Yakinkan bahwa tujuan kamu ke negeri seberang hanya untuk “menuntut ilmu”
dan pulang dengan membawa segudang ilmu.
Maaf…ku hanyalah insane kerdil yang penuh dengan kekurangan, kekhilafan
dan keterbatasan......
Billiton, 1 januari  2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar