EVALUASI
PELAKSANAAN OTONOMI PEMERINTAH DAERAH DALAM SISTIM PEMERINTAHAN
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.
Dalam konteks otonomi pada masa kekuasaan Belanda di
Indonesia, Belanda tidak menguasai secara penuh seluruh nusantara, dalam arti menempatkan
kantor pemerintahan diseluruh nusantara, Belanda hanya mengatur pemerintahan
yang modern di pulau Jawa dan Madura serta Sumatera.
Sejarah otonomi daerah di Indonesia penuh dengan
liku-liku yang menegangkan, Undang-Undang no.1 tahun 1945 merupakan
Undang-Undang pertama yang mengatur tentang pemerintah daerah, kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, Undang-Undang ini memuat Otonomi yang
luas kepada daerah. Kemudian terjadi beberapa kali pergantian juga dari
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, sampai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999.
Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana tersebut merupakan
isu yang sangat sensitif di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 yang diharapkan untuk pengobat duka bagi masyarakat- masyarakat didaerah
surplus justru melahirkan ketimpangan baru bagi daerah-daerah yang memiliki PAD
yang rendah.
Ketimpangan antar daerah tersebut tidak mustahil akan
menimbulkan konflik antar masyarakat dan antar daerah..
OTONOMI DAERAH SEBAGAI SUATU DILEMA
Kerajaan-kerajaan di nusantara umumnya terbentuk karena
adanya penyatuan beberapa perkampungan yang kemudian memiliki seorang pemimpin
yang pada akhirnya disebut raja, seiring dengan masuknya peradaban hindu dan
budha kenusantara maka para penguasaan kerajaan telah diidentifikasikan sebagai
wakil tuhan dengan demikian dianggap sebagai orang suci yang harus dihormati
sebagai titisan dewa.
Seiring waktu para raja diseluruh negeri nusantara
semakin menyadari bahwa mereka perlu untuk diakui sebagai penguasa yang besar,
maka terjadilah pencaplokan kekuasaan dari kerajaan satu dengan kerajaan
lainnya di nusantara dan praktek-praktek seperti ini merupakan kodrat alam yang
terjadi diseluruh dunia, bahkan dilegitimasikan oleh setiap agama besar di
dunia, dengan dalih perluasan agama, misi suci dan siar agama.
Kembali pada permasalahan daerah, penguasa daerah lain
oleh suatu kerajaan terhadap kerajaan lainnya membawa suatu bentuk hubungan
baru yang terjalin antara kerajaan dikalaim sebagi wilayah kerajaan penakluk,
ekspresi penguasaan terhadap kerajaan tersebut dapat penyerahan upeti oleh
kerajaan yang ditaklukan kepada penakluk .
Dalam tahapan selanjutnya untuk melanggengkan penguasaan
pusat memberikan beberapa jaminan misalnya jaminan keamanan dalam arti wilayah
taklukan tersebut akan dijaga oleh bala tentara kerajaan penakluk ada kekuasaan
penakluk yang hendak menguasai.
PERMASALAHAN.
Dari sejarah kehadiran Undang-Undang Pemerintah Daerah
tersebut beberapa persoalan yang layak disebut dilema adalah :
1. Kenyataan bahwa apabila daerah dikuatkan dengan
otonomi dan pelimpahan kewenangan yang besar atas daerah, maka pemerintah pusat
akan merasa jadi kuran berwibawa dan kurang dihiraukan oleh daerah, hal mana
sangat tidak disukai oleh pusat terutama oleh elit-elitnya yang masih banyak
doktrin kekuasaan tunggal sehingga mereka akan merasa tidak berwibawa bila
daerah diberi otonomi luas.
2. Kenyataan lain yang mendorong pusat untuk memperkuat
sentralisasi juga karena alasan politik, mengingat tidak semua wilayah di
Indonesia memiliki kemampuan yang sama, selain itu sentralisasi cenderung
menguntungkan wilayah Jawa, sehingga apabila sanggup dipertahankan, maka
keadaan diseputar kekuasaan akan tetap aman, dan juga berarti partai pemerintah
akan tetap dapat berkuasa karena bisa mendapat dukungan mayoritas suara rakyat
3. Daerah-daerah kaya yang merasa termaginalkan menurut
otonomi yang seluas-luasnya bahkan merdeka, tuntutan tersebut didukung oleh
kondisi global yang lagi menempatkan Hak Asasi Manusia seb agai isu utama
dunia, sehingga kalangan aktifis daerah kaya berani menantang pemerintah pusat
sebab mereka dapat terlindungi dengan Hak Asasi Manusia, dilain pihak
pemerintah pusat tidak bisa mempertahankan sistim sentralisasi apabila hendak
menarik simpati daerah kaya dan dunia internasional dewasa ini.
Kondisi
tersebut diatas memberikan sedikit gambaran awal bahwa otonomi akan diberikan
oleh pusat dengan sukarela apabila pemerintah pusat terdesak dan dalam posisi
yang lemah, dan sebaliknya posisi daerah yang kuat, tetapi setelah posisi
pemerintah pusat kuat maka desentralisasi harus ditinjau kembali, kenyataan
bahwa Undang-Undang Nomor ; 22 tahun 1948 lahir karena kondisi yang tidak
menentu saat itu, selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 juga lahir
disaat kekuasaan pemerintah pusat masih dalam posisi yang sulit, tetapi
manakala pemerintah pusat telah merasa kuat maka lahirnya Undang-Undang Nomor
18 tahun 1965 yang diawali dengan beberapa Pen pres yang ditentang oleh
masyarakat daerah dan kemudian direspon oleh kalangan aktifis 66.
Pemerintah
rezim orde baru selanjutnya mengiming-imingi daerah dengan otonomi luas, tetapi
setelah orde baru kuat maka sentralisasilah yang dilanggengkan, demikianlah
pula saat reformasi otonomi disuarakan dengan lantang dan pusat merespon dengan
Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tetapi belum sempat
Undang-Undang ini diterapkan dengan baik timbul upaya pemerintah pusat untuk
merivisi kembali undang-undang nomor 22 tahun1999 alsan apalagi yang
dfikemukakan selain masalah klise yang menyembunyikan kepentingan elit pusat
yang semakin tidak berwibawa atas daerah.
Tingkatan
otonomi atau otonomi bertingkat telah menjadi perdebatkan panjang dalam
perjalanan sejarah pemerintahan daerah di indonesia, hampir setiap pergantian
Undang-Undang dan perumusan pemerintahan Undang-Undang yang baru, tingkatan
daerah otonomi daerah telah menjadi perdebatan yang hangat mengingat dalam
Undang-Undang nomor 22 tahun 1948, daerah dibagi dalam 3 tingkatan, ialah :
propinsi, Kabupaten /kota besar dan desa /kota kecil negeri, marga dan
sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, selain
itu dalam ayat 2 ditegaskan tentang keberadaan daerah istimewa sebagai berikut
daerah-daerah yang mempunyai hak asal-usul dan dizaman sebelum republik
indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dengan
Undang-Undang pembentukan termasuk yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
Tingkatan
tersebut tetap dipertahankan sampai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun
1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah, sebagaimana yang diatur dalam pasal
2 ayat 1 yang berbunyi wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dan yang merupakan
sebanyak-banyaknya tiga tingkat yang derajatnya dari atas kebawah adalah
sebagai berikut :
1. Daerah tingkat Ke-I termasuk kotapraja jakarta raya.
2. Daerah tingkat ke-II termasuk kotaprja dan
3. Daerah tingkat III.
Menarik agaknya menyimak beberapa pendapat tersebut
diatas, tetapi agak sulit untuk menemukan jalan keluar yang baik, sebab apabila
kewenangan propinsi dikembalikan lagi seperti semula dalam arti hierarkhi
dipertegas maka perbedaan antara undang-undang nomor 22 perubahan dengan
Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 yang sebelumnya ditentang itu tidak akan jauh
berbeda lagi.
Agaknya mirip dengan wacana yang berkembang manakala orba
muncul mengoreksi orde lama, tekad pelaksanaan otonomi daerah begitu mengemuka
dan Undang-Undang Nomor 18 harus diganti karena tidak sesuai dengan semangat
orde baru, begitu orde baru kuat bukannya merombak malah meniru Undang-Undang
nomor 18 tahu 1965 demikian pula halnya dengan Undang-Undang nomor 22 tahun
1999, agaknya harus diakui bahwa para elit pusat saat ini lebih menghendaki
pola hubungan pusat daerah seperti masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, kalau
demikian agaknya kita perlu merevisi ulang tentang siapa saja yang patut
disebut reformator khususnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Melihat lagi kebelakang agaknya ada baiknya bila ide
menempatkan propinsi hanya sebagai daerah administratif belaka dipertimbangkan
, ide yang telah dirintis oleh bung hatta kemudian dihidupkan kembali oleh
Rudini pada tahun sebilan puluhan yang santer diperbincangkan dan merumuskan
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 untuk dipertimbangkan implementasinya, sebab
pelaksanaan otonomi bertingkat tiga telah dilaksanakan pada masa Undang-Undang
No. 1 tahun 1957 bahkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 dengan hasil
yang tidak memuaskan karena anggaran negara yang terbatas ,
Beberapa faktor yang memungkinkan terlaksananya otonomi
nyata dan bertanggung jawab.
Dalam faktor ini termasuk adalah :
a. Kesiapan Aparatur pemerintahan yang akan menunjang
pelaksanaan otonomi;
b. Tenaga personalia yang akan menempati aparatur
pemerintahan.
c. Faktor-faktor lainnya.
Berbagai faktor diatas sifatnya tidak berdiri sendiri dan
saling menjalin antara satu dengan yang lainnya, penyusunan model-model daerah
otonom adalah didasarkan pada faktor-faktor tersebut diatas. Sangat disadari
penyusunan model-model sebagaimana dikemukakan diatas bukanlah merupakan suatu
hal yang mudah, diperlukan adanya suatu kejelian dalam menetapkan
kategori-kategori yang diambil dari faktor-faktor yang mendasari penysunan
model tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar