Kamis, 24 Mei 2012


EVALUASI PELAKSANAAN OTONOMI PEMERINTAH DAERAH DALAM SISTIM PEMERINTAHAN

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.
Dalam konteks otonomi pada masa kekuasaan Belanda di Indonesia, Belanda tidak menguasai secara penuh seluruh nusantara, dalam arti menempatkan kantor pemerintahan diseluruh nusantara, Belanda hanya mengatur pemerintahan yang modern di pulau Jawa dan Madura serta Sumatera.
Sejarah otonomi daerah di Indonesia penuh dengan liku-liku yang menegangkan, Undang-Undang no.1 tahun 1945 merupakan Undang-Undang pertama yang mengatur tentang pemerintah daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, Undang-Undang ini memuat Otonomi yang luas kepada daerah. Kemudian terjadi beberapa kali pergantian juga dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, sampai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999.
Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana tersebut merupakan isu yang sangat sensitif di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang diharapkan untuk pengobat duka bagi masyarakat- masyarakat didaerah surplus justru melahirkan ketimpangan baru bagi daerah-daerah yang memiliki PAD yang rendah.
Ketimpangan antar daerah tersebut tidak mustahil akan menimbulkan konflik antar masyarakat dan antar daerah..
OTONOMI DAERAH SEBAGAI SUATU DILEMA
Kerajaan-kerajaan di nusantara umumnya terbentuk karena adanya penyatuan beberapa perkampungan yang kemudian memiliki seorang pemimpin yang pada akhirnya disebut raja, seiring dengan masuknya peradaban hindu dan budha kenusantara maka para penguasaan kerajaan telah diidentifikasikan sebagai wakil tuhan dengan demikian dianggap sebagai orang suci yang harus dihormati sebagai titisan dewa.
Seiring waktu para raja diseluruh negeri nusantara semakin menyadari bahwa mereka perlu untuk diakui sebagai penguasa yang besar, maka terjadilah pencaplokan kekuasaan dari kerajaan satu dengan kerajaan lainnya di nusantara dan praktek-praktek seperti ini merupakan kodrat alam yang terjadi diseluruh dunia, bahkan dilegitimasikan oleh setiap agama besar di dunia, dengan dalih perluasan agama, misi suci dan siar agama.
Kembali pada permasalahan daerah, penguasa daerah lain oleh suatu kerajaan terhadap kerajaan lainnya membawa suatu bentuk hubungan baru yang terjalin antara kerajaan dikalaim sebagi wilayah kerajaan penakluk, ekspresi penguasaan terhadap kerajaan tersebut dapat penyerahan upeti oleh kerajaan yang ditaklukan kepada penakluk .
Dalam tahapan selanjutnya untuk melanggengkan penguasaan pusat memberikan beberapa jaminan misalnya jaminan keamanan dalam arti wilayah taklukan tersebut akan dijaga oleh bala tentara kerajaan penakluk ada kekuasaan penakluk yang hendak menguasai.
PERMASALAHAN.
Dari sejarah kehadiran Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut beberapa persoalan yang layak disebut dilema adalah :
1. Kenyataan bahwa apabila daerah dikuatkan dengan otonomi dan pelimpahan kewenangan yang besar atas daerah, maka pemerintah pusat akan merasa jadi kuran berwibawa dan kurang dihiraukan oleh daerah, hal mana sangat tidak disukai oleh pusat terutama oleh elit-elitnya yang masih banyak doktrin kekuasaan tunggal sehingga mereka akan merasa tidak berwibawa bila daerah diberi otonomi luas.
2. Kenyataan lain yang mendorong pusat untuk memperkuat sentralisasi juga karena alasan politik, mengingat tidak semua wilayah di Indonesia memiliki kemampuan yang sama, selain itu sentralisasi cenderung menguntungkan wilayah Jawa, sehingga apabila sanggup dipertahankan, maka keadaan diseputar kekuasaan akan tetap aman, dan juga berarti partai pemerintah akan tetap dapat berkuasa karena bisa mendapat dukungan mayoritas suara rakyat
3. Daerah-daerah kaya yang merasa termaginalkan menurut otonomi yang seluas-luasnya bahkan merdeka, tuntutan tersebut didukung oleh kondisi global yang lagi menempatkan Hak Asasi Manusia seb agai isu utama dunia, sehingga kalangan aktifis daerah kaya berani menantang pemerintah pusat sebab mereka dapat terlindungi dengan Hak Asasi Manusia, dilain pihak pemerintah pusat tidak bisa mempertahankan sistim sentralisasi apabila hendak menarik simpati daerah kaya dan dunia internasional dewasa ini.
Kondisi tersebut diatas memberikan sedikit gambaran awal bahwa otonomi akan diberikan oleh pusat dengan sukarela apabila pemerintah pusat terdesak dan dalam posisi yang lemah, dan sebaliknya posisi daerah yang kuat, tetapi setelah posisi pemerintah pusat kuat maka desentralisasi harus ditinjau kembali, kenyataan bahwa Undang-Undang Nomor ; 22 tahun 1948 lahir karena kondisi yang tidak menentu saat itu, selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 juga lahir disaat kekuasaan pemerintah pusat masih dalam posisi yang sulit, tetapi manakala pemerintah pusat telah merasa kuat maka lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 yang diawali dengan beberapa Pen pres yang ditentang oleh masyarakat daerah dan kemudian direspon oleh kalangan aktifis 66.
Pemerintah rezim orde baru selanjutnya mengiming-imingi daerah dengan otonomi luas, tetapi setelah orde baru kuat maka sentralisasilah yang dilanggengkan, demikianlah pula saat reformasi otonomi disuarakan dengan lantang dan pusat merespon dengan Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tetapi belum sempat Undang-Undang ini diterapkan dengan baik timbul upaya pemerintah pusat untuk merivisi kembali undang-undang nomor 22 tahun1999 alsan apalagi yang dfikemukakan selain masalah klise yang menyembunyikan kepentingan elit pusat yang semakin tidak berwibawa atas daerah.
Tingkatan otonomi atau otonomi bertingkat telah menjadi perdebatkan panjang dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di indonesia, hampir setiap pergantian Undang-Undang dan perumusan pemerintahan Undang-Undang yang baru, tingkatan daerah otonomi daerah telah menjadi perdebatan yang hangat mengingat dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 1948, daerah dibagi dalam 3 tingkatan, ialah : propinsi, Kabupaten /kota besar dan desa /kota kecil negeri, marga dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, selain itu dalam ayat 2 ditegaskan tentang keberadaan daerah istimewa sebagai berikut daerah-daerah yang mempunyai hak asal-usul dan dizaman sebelum republik indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dengan Undang-Undang pembentukan termasuk yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Tingkatan tersebut tetap dipertahankan sampai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 yang berbunyi wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dan yang merupakan sebanyak-banyaknya tiga tingkat yang derajatnya dari atas kebawah adalah sebagai berikut :
1. Daerah tingkat Ke-I termasuk kotapraja jakarta raya.
2. Daerah tingkat ke-II termasuk kotaprja dan
3. Daerah tingkat III.
Menarik agaknya menyimak beberapa pendapat tersebut diatas, tetapi agak sulit untuk menemukan jalan keluar yang baik, sebab apabila kewenangan propinsi dikembalikan lagi seperti semula dalam arti hierarkhi dipertegas maka perbedaan antara undang-undang nomor 22 perubahan dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 yang sebelumnya ditentang itu tidak akan jauh berbeda lagi.
Agaknya mirip dengan wacana yang berkembang manakala orba muncul mengoreksi orde lama, tekad pelaksanaan otonomi daerah begitu mengemuka dan Undang-Undang Nomor 18 harus diganti karena tidak sesuai dengan semangat orde baru, begitu orde baru kuat bukannya merombak malah meniru Undang-Undang nomor 18 tahu 1965 demikian pula halnya dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, agaknya harus diakui bahwa para elit pusat saat ini lebih menghendaki pola hubungan pusat daerah seperti masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, kalau demikian agaknya kita perlu merevisi ulang tentang siapa saja yang patut disebut reformator khususnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Melihat lagi kebelakang agaknya ada baiknya bila ide menempatkan propinsi hanya sebagai daerah administratif belaka dipertimbangkan , ide yang telah dirintis oleh bung hatta kemudian dihidupkan kembali oleh Rudini pada tahun sebilan puluhan yang santer diperbincangkan dan merumuskan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 untuk dipertimbangkan implementasinya, sebab pelaksanaan otonomi bertingkat tiga telah dilaksanakan pada masa Undang-Undang No. 1 tahun 1957 bahkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 dengan hasil yang tidak memuaskan karena anggaran negara yang terbatas ,
Beberapa faktor yang memungkinkan terlaksananya otonomi nyata dan bertanggung jawab.
Dalam faktor ini termasuk adalah :
a. Kesiapan Aparatur pemerintahan yang akan menunjang pelaksanaan otonomi;
b. Tenaga personalia yang akan menempati aparatur pemerintahan.
c. Faktor-faktor lainnya.
Berbagai faktor diatas sifatnya tidak berdiri sendiri dan saling menjalin antara satu dengan yang lainnya, penyusunan model-model daerah otonom adalah didasarkan pada faktor-faktor tersebut diatas. Sangat disadari penyusunan model-model sebagaimana dikemukakan diatas bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, diperlukan adanya suatu kejelian dalam menetapkan kategori-kategori yang diambil dari faktor-faktor yang mendasari penysunan model tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar