Kamis, 24 Mei 2012


Politik  Menjadi Potensi  bagi provinsi  Kepulauan Bangka Belitung untuk Disintegrasi

Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945  indonesia  adalah satu bangsa yang secara politis dan resmi merdeka , meski kia ketahui dalam sejarahnya bahwa  bangsa  Indonesia telah telalu lelah menghadapi berbagai aksi dan gerakan yang mengarah kepada   disintegrasi. Setelah menghadapi sekutu yang diboncengi Belanda, yang  ingin bercokol kembali di bumi persada ini . selam lebih dari setengah abad   merdeka , bangsa Indonesia baru memiliki lima  presiden , selain itu juga pernah sewaktu Indonesia darurat di pimpin oleh Mr.syafrudin prawiranegara.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dipenuhi kebhinekaan suku, agama, budaya dan berbagai etnis kedaerahan yanga ada di Indonesia. Bangsa yang besar ini berdiam sejak berabat-abat dari Sabang sampai Marauke. Di peta dunia kepulauan Indonesia tampak sangat cantik karena dari barat sampai ke timur berjejer pulau-pulau dengan komposisi dan konstruksi yang indah mulai dari pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawisi, Pulau-Pulau Nusatenggara, Pulau-Pulau Maluku, dan Irian Jaya. Secara keseluruhan pulau-pulau Indonesia berjumlahkan 13.667 buah pulau besar dan kecil. Serta dengan  keadaan Indonesia letak strategis Indonesia yang dilalui khatulistiwa, sehingga siang dan malam diterima penduduk secara seimbanga. Diapit pula oleh dua benua yaitu Australia dan asia,serta dua lautan besar yaitu Fasifik dan Hindia sehingga akan memajukan pedagangan dunia. Jadi kehadiran Indonesia di mata dunia memang bagaikan zamrud di timur jauh.
Bendera nasional Indonesia adalah merah putih yang sejak zaman majapahit  telah dikibarkan oleh Mahapati Gajah Mada di sorong Irian Jaya, sedangkan lagu kebangsaan adalah Indonesia raya yang di cipatakan oleh wage supratman, yang untuk pertama kali  diperdengarkan ketika hari sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 di Jakarta saat bangsa Indonesia belum merdeka. Lambang negara adalah burung garuda yang menoleh ke kanan  berkalungkan perisai falsafah Pancasila dan memegang pita nyang bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika” karena para pemudanya telah bersumpah satu bangsa,satu nusa dan satu bahasa. Dari sumpah diatas tampak bahwa sumpah ketiga berbeda dengan sumpah kedua dan kesatu, hal ini Karena mereka hadir dalam bahasa  daerah yang berbeda, namun kesepakatan seperti ini  merupakan kebanggaan karena dalam suasana di kuasai Perintahan Penjajah, masih timbul kesadaran melepaskan egosentris kedaerahan (provisnsialisme) bahasa daerah masing-masing.
Hal ini berbeda jauh dengan negra-negara lain, karenara yang tidak berhasil merumuskan bahasa nasionalnya yang asli selain mengambil bahasa penjajah negrinya. Sebgai contoh indiah yang sampai sekarang daerah-daerahnya saling memperdebatkan untuk berusaha  menyodorkan bahasa daerahnya dan menolah bahasa asing. Dan sampai saat ini belum membuahkan hasilBangsa Indonesia adalah bangsa yang tiadak hanya milik daerah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawisi, Pulau-Pulau Nusatenggara, Pulau-Pulau Maluku, dan Irian Jaya namun bangsa Indonesia adalah milik bangsa Nusantara ini. Namun pada dekade terakhir ini kita yang mengenal integrasi sabagai persatuan dan kesatuan menjadi kabur akibat  dari kepemimpinan di masa lalu dan masyrakat yang belum memahami hakikat dari pada  integrasi bangsa dan pemahamam tentang keanekaragaman sosial budaya baik di tingkat regional maupun lokal. Kenampakan disintegrasi lokal telah memberikan perhatian ke arah integrasi nasional. Karena dalam halnya pondasi kesatuan bangsa ini sangat terkait erat pada integrasi lokal.  Kekaburan integrasi lokal telah terlalu nampah di era reformasi ini di berbagi daerah seperti komplik Poso, Ambon, dan lainnya. Hal ini sehingga memberikan nalisa bagi penulis untuk mengangkat hal yang nantinya berpotensi terhadap integrasi di pulau Bangka Belitung khususnya Belitung timur.   Namun perlu kita sadari bahwa bangsa ini yang sebelumnya  berdiri atasa keinginan yang kuat bagi pemuda-pemudi Indonesia  bersama-sama untuk bersatu  dari keanekaragaman atau kebhinekaan suku, agama, bahasa, pulau, dan berbagi bahasa etnis  kedaerahan.
   Sejarah telah mengantarkan kita menghadapi banyak persimpangan jalan di depan. Pilihan ada pada kita, dan mudah-mudahan pilihan kita untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan nasional adalah pilihan yang  tepat, yang menyatukan bangsa Indonesia untuk tetap maju dalam percaturan global yang dahsyat ini. Seharusnya kita semua menyadari betapa tingginya harga yang harus kita bayar untuk sebuah integrasi, betapa gigihnya pendahulu kita mewujudkan sebuah integrasi didasari keyakinan bahwa itulah yang  terbaik untuk menghantarkan suatu negara yang aman, damai dan  sejahtera. Tugas kita hanya menjaga integrasi itu tetap lestari, tidak  seberat pada saat integrasi itu diwujudkan. Walaupun demikian tidak  mungkin kalau tugas itu hanya dibebankan kepada salah satu komponen bangsa. Dibutuhkan kesatuan, kekompakan, dan kebersamaan, agar tugas   melestarikan integrasi bangsa itu berhasil.
Kehadiran reformasi di era baru telah tampil di tengah-tengah  bangsa Indonesia bagaikan "pisau bermata dua." Di satu sisi, reformasi  membabat dan mengikis satu demi satu nilai adat dan tradisi Orde Baru guna melahirkan Indonesia baru yang lebih reformis, demokratis, dan  lebih harmonis. Pada sisi lain, reformasi secara tidak diduga dan  tidak disadari justru melahirkan benih-benih disintegrasi yang  mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Eforia kebebasan dan kemenangan telah membuat lupa diri dan lupa daratan bahwa Indonesia baru adalah tetap Indonesia seperti ketika diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, bukan Indonesia yang lain, bukan Indonesia yang tercabik-cabik oleh egoisme kedaerahan atau  fanatisme sempit berdasar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 
Apa pun yang terjadi era reformasi ini merupakan sebagai suatu  proses bukanlah suatu yang kita jadikan sebagai isme baru, karena isme kita sebagai bangsa da negara adalah tetap Pancasila dan UUD 1945. Yang harus dipahami benar adalah bahwa di era reformasi itu bukanlah tujuan, tetapi alat, yaitu alat untuk mencapai tujuan kita sebagai bangsa. Sebab, ketika reformasi yang sesungguhnya sebagai alat itu kita tempatkan sebagai  tujuan, kita akan kebingungan dan lupa diri. Segala sesuatu menjadi  tidak jelas lagi, sehingga hanya berputar-putar di sekitar  era reformasi sebagai wacana dan tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali disintegrasi bangsa. Kita akan terjebak kepada situasi saling menyalahkan, saling melempar tanggung jawab, saling menghujat, saling menyerang, saling membenci, dan saling bermusuhan, karena tidak jelas lagi siapa harus melakukan apa, bersama siapa, untuk tujuan apa, dan  meraih sasaran apa.
Setelah berpuluh tahun kita berupaya dan berhasil membangun integrasi nasional yang tangguh, teruji, dan tahan terhadap terpaan dan goncangan yang sangat kuat, kini tiba-tiba kita belum juga terbebas dari potensi disintegrasi bangsa dengan pola yang sama. Penyebabnya adalah adanya kesalahan dalam menerapkan manajemen politik, sosial maupun ekonomi, ditamba  lagi para politikus dalam rangka memperjuangkan aspirasi politiknya, cenderung mencari dukungan pada elemen yang sangat peka seperti suku, agama, ras, dan kedaerahan. Benar-benar sangat mengkhawatirkan.
Disintegrasi merupakan gejalah yang lahir akibat dari suatu  bentuk ketidakadilan   pemerintah terhadap masyarakat baik dari politik, ekonomi, sosial budaya,  dan rasa aman. Masalah utamanya adalah sejarah pemerintahan orde baru yang mengantarkan Pemerintahan Pusat yang bermental priyai, mau dipertuan terus, tetap tidak ingin membangun persepsi bahwa Pemerintah Daerah adalah mitra kerja yang terikat bukan karena paksaan dan syarat-syarat abnormal, kewibawaan yang dipaksaan serta berbagai aturan yang feodal lainnya. Pemerintah Derah harus dipandang sebagai mitra kerja yang terikat karena konsensus bersama yang disepakati bersama dan diakui oleh masyarakat daerah. Namun sejah mencatat fakta bahwa banyak masyarakat justeru merasa tertintas oleh pemerintahan sendiri akiabat pemerintahan yang sentralistik dan otonom. Dampak pemerintahan orde baru sedikitnya telah membuka pintu bagi bangsa ini  kearah disintegrsi oleh berbagai potensi yang diantarany: masalah ekonomi, demografi, pertahanan dan keamanan, poltik, demografi, komplik sumber daya alam   sehingga dalam memecahkan masalah ini pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 22 tahun 1999 yang di sempurnakan dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerahyang diharapkan mampu menciptakan integrasi bangsa baik secara regional maupun lokal. Otonomi daerah yan seharusnya menjadi jawaban bagi pembangunan bagsa ini belum secara utuh menciptakan keadilan bagi segenap bangsa. Hal ini  terlihat jalas dari berbagai tuntutan masyarakat daerah untuk medapatkan penghidupan yang layak.
Secara umum diakui bahwa gerakan pemisahan diri ( disintegrasi) cenderung terjadi di daerah-daerah pinggiran (periphery) yang jauh dari pusat pemerintahan (centre), kaya akan sumber alam, dan memiliki perasaan etnik yang kuat serta berbeda dengan elite politik yang memerintah. Namun demikian di dalam suatu negara yang tengah bergolak dan mengalami transisi demokratis seperti Indonesia, potensi disintegrasi bisa bersumber dari berbagai faktor atau variabel lain yang tidak terduga. Struktur politik yang sentralistik dan menafikan aspirasi lokal di satu pihak, dan di pihak lain cenderung korup, kolusif, nepotis, dan monopolistik, bisa  jadi merupakan faktor yang memperbesar potensi disintegrasi tersebut.
Diawali dengan ditetapkannya UU Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka pada tanggal 24 Mei 2003 dibentuklah Kabupaten Belitung Timur berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung Timur. Kalau ditelusuri ke belakang, potensi disintegrasi politik bangsa ini  memang memiliki akar yang amat mendalam misalnya dengan kahirnya Kebijakan yang, menindas, dan menafikan aspirasi masyarakat, terutama di tingkat lokal khususnya di kepulauan Bangka  Belitung  Partisipasi dan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik hampir tidak ada karena prilaku masyrakat yang kaula akibat dari rendahnya sosialisai dan pendidikan politik di masyrakat Bangka Belitung  angka pendidikan   strategi ganda korporatisme negara di satu pihak dan depolitisasi massa di pihak lain. Sementara itu, di sisi lain, eksploitasi atas sumber daya ekonomi dan kekayaan daerah berlangsung intens tanpa diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan yang  serta proporsional bagi daerah.
Oleh karena itu potensi konflik dan disintegras di Bangka Belitung i berakar pula pada kecenderungan elite politik di hampir semua tingkat untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Lebih jelas lagi, potensi disintegrasi itu muncul ketika elite politik memanipulasi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai “kepentingan nasional” serta menyalahgunakan otoritas negara untuk kepentingan pengusaha. Fenomena manipulasi kepentingan bersama itulah tampaknya yang lebih relevan menjadi potensi disintegrasi bgi kepulauan Bangka belitung, disintegrasi bisa menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia jika para elite politik terus menerus melakukan manipulasi atas aspirasi, isu, dan realitas kultural masyarakat, terutama di tingkat lokal.
Pembelahan masyarakat secara kultural adalah realitas obyektif bangsa Indonesia yang tidak mungkin ditiadakan. Ironisnya, upaya “peniadaan” sekat-sekat primordial ,integrasi dan stabilitas semu yang diraih melalui strategi kooptasi atas elite politik  kepulauan Bangka Belitung. Partisipasi masyrakay yang tersendat akibat perwakilan marsyarakat di tingkat  kabupaten atau kota  yang sebgian besar di dominasi oleh yang berpendidikan SMA memberikan sutu kontribusi  citra pemerintahan kepulauan Bangka Belitung dimata masyarakat Bangka Belitung.
Meliahat dari hasil kerja perwakilan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung  yang belum menunjukan terjadinya adanaya keterliabatan masytakat dalam pemerintahan untuk memperjuangkan aspirasi. Sehingga  kebijakan pemerintahan yang lahir dari Kepulauan Bangka Belitung masih tergantung pada anggota DPRD tingkat provinsi. Hal ini tidaklah terlepas dari keterbatasab pejabat politik dan partai politik  dalam 1) Partai politik sebagai contol sosial, 2) Memberikan pendidikan politik demi tercipatanya masyarakat yang partisipatif dan peduli terhadap pemerintahan sebagaimana guna mencipatakan kesinergian antara tuntutan masyarakat  Kepuluan Bangka Belitung terhadap kebijakan yang dikeluarkaukn . Oleh karena itu untuk perbaikan pada peran dan fungsi partai politik maka dari aspek politis dalam regulasi anggota dewan perwakialan dan partai politik perlu; 1) Menciptakan masyarakat yang partisipatif, 2) Sosialisasi oleh partai politik dalam memberikan pendidikan politik di semua daerah di Kepulauan Bangka Belitung, 3) Rekrutmen pejabat politik oleh partai politik yang lebih selektif guna menunjang tercipatanya kapabelitas pejabat dalam memeperjuangkan  aspirasi masyarakat.
Pendapat reforman  dalam Urgensi  bahwa perluasan otonomi bagi daerah-daerah dalam rangka distribusi kekuasaan dan kekayaan di satu pihak, dan dalam upaya memperkokoh integrasi nasional di lain pihak, terlihat jelas di sini. Kecenderungan elite politik kepulauan Bangka Belitung maupun pemerintah pusat untuk terus mengeksploitasi sumber daya ekonomi daerah tanpa mempertimbangkan aspirasi politik masyarakat daerah  Bangka Belitung secara adil, tampaknya harus segera diakhiri. Tuntutan pemisahan diri sebagian rakyat di daerah-daerah, yang menjadi fokus kajian ini cenderung akan terus berlangsung selama tidak ada upaya serius untuk mengakomodasi aspirasi mereka melalui pemberian hak otonomi bagi daerah. Namun dalam kenyataan hari ini otonomi daerah yang dijelmakan dalam bentuk  undang-undang No 22  tahun 1999 dan disempurnakan menjadi undang-undang No 32 tahun 2004 belum mampu menjawab tuntan rakyat kepulauan Bangka Belitung dalam megembangkan potensi daerah untuk seutuhnya  demi kemakmuran  rmasyarakat kepulauan Bangka Belitung.  Karena peranan elit politik yang masih menyelewengakan kekuasaan untuk menjadi pengusa daerah baik di tingkat kabupaten dan  maupun dan di tingkat provinsi dalam melindungi penguasa pertambangan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar