Politik Menjadi Potensi bagi provinsi
Kepulauan Bangka Belitung untuk Disintegrasi
Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 17
Agustus 1945
indonesia adalah satu bangsa yang secara politis dan
resmi merdeka , meski kia ketahui dalam sejarahnya bahwa bangsa
Indonesia telah telalu lelah menghadapi
berbagai aksi dan gerakan
yang mengarah kepada disintegrasi. Setelah menghadapi sekutu yang diboncengi
Belanda, yang ingin bercokol kembali di bumi persada ini . selam lebih dari
setengah abad merdeka , bangsa Indonesia baru memiliki
lima presiden , selain itu juga pernah
sewaktu Indonesia darurat di pimpin oleh Mr.syafrudin prawiranegara.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dipenuhi
kebhinekaan suku, agama, budaya dan berbagai etnis kedaerahan yanga ada di
Indonesia. Bangsa yang besar ini berdiam sejak berabat-abat dari Sabang sampai Marauke.
Di peta dunia kepulauan Indonesia tampak sangat cantik karena dari barat sampai
ke timur berjejer pulau-pulau dengan komposisi dan konstruksi yang indah mulai
dari pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawisi, Pulau-Pulau Nusatenggara, Pulau-Pulau
Maluku, dan Irian Jaya. Secara keseluruhan pulau-pulau Indonesia berjumlahkan
13.667 buah pulau besar dan kecil. Serta dengan
keadaan Indonesia letak strategis Indonesia yang dilalui khatulistiwa,
sehingga siang dan malam diterima penduduk secara seimbanga. Diapit pula oleh
dua benua yaitu Australia dan asia,serta dua lautan besar yaitu Fasifik dan Hindia
sehingga akan memajukan pedagangan dunia. Jadi kehadiran Indonesia di mata dunia
memang bagaikan zamrud di timur jauh.
Bendera nasional Indonesia adalah merah putih
yang sejak zaman majapahit telah
dikibarkan oleh Mahapati Gajah Mada di sorong Irian Jaya, sedangkan lagu
kebangsaan adalah Indonesia raya yang di cipatakan oleh wage supratman, yang
untuk pertama kali diperdengarkan ketika
hari sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 di Jakarta saat bangsa Indonesia
belum merdeka. Lambang negara adalah burung garuda yang menoleh ke kanan berkalungkan perisai falsafah Pancasila dan
memegang pita nyang bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika” karena para pemudanya
telah bersumpah satu bangsa,satu nusa dan satu bahasa. Dari sumpah diatas
tampak bahwa sumpah ketiga berbeda dengan sumpah kedua dan kesatu, hal ini
Karena mereka hadir dalam bahasa daerah
yang berbeda, namun kesepakatan seperti ini merupakan kebanggaan karena dalam suasana di
kuasai Perintahan Penjajah, masih timbul kesadaran melepaskan egosentris
kedaerahan (provisnsialisme) bahasa daerah masing-masing.
Hal ini berbeda jauh dengan negra-negara lain,
karenara yang tidak berhasil merumuskan bahasa nasionalnya yang asli selain
mengambil bahasa penjajah negrinya. Sebgai contoh indiah yang sampai sekarang
daerah-daerahnya saling memperdebatkan untuk berusaha menyodorkan bahasa daerahnya dan menolah
bahasa asing. Dan sampai saat ini belum membuahkan hasilBangsa Indonesia adalah
bangsa yang tiadak hanya milik daerah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawisi, Pulau-Pulau
Nusatenggara, Pulau-Pulau Maluku, dan Irian Jaya namun bangsa Indonesia adalah
milik bangsa Nusantara ini. Namun pada dekade terakhir ini kita yang mengenal
integrasi sabagai persatuan dan kesatuan menjadi kabur akibat dari kepemimpinan di masa lalu dan masyrakat
yang belum memahami hakikat dari pada
integrasi bangsa dan pemahamam tentang keanekaragaman sosial budaya baik
di tingkat regional maupun lokal. Kenampakan disintegrasi lokal telah memberikan
perhatian ke arah integrasi nasional. Karena dalam halnya pondasi kesatuan
bangsa ini sangat terkait erat pada integrasi lokal. Kekaburan integrasi lokal telah terlalu
nampah di era reformasi ini di berbagi daerah seperti komplik Poso, Ambon, dan
lainnya. Hal ini sehingga memberikan nalisa bagi penulis untuk mengangkat hal
yang nantinya berpotensi terhadap integrasi di pulau Bangka Belitung khususnya
Belitung timur. Namun perlu kita sadari bahwa bangsa ini yang
sebelumnya berdiri atasa keinginan yang
kuat bagi pemuda-pemudi Indonesia bersama-sama untuk bersatu dari keanekaragaman atau kebhinekaan suku,
agama, bahasa, pulau, dan berbagi bahasa etnis
kedaerahan.
Sejarah
telah mengantarkan kita menghadapi banyak persimpangan jalan di depan. Pilihan
ada pada kita, dan mudah-mudahan pilihan kita untuk tetap menjaga persatuan dan
kesatuan nasional adalah pilihan yang tepat, yang menyatukan bangsa Indonesia
untuk tetap maju dalam percaturan global yang dahsyat ini. Seharusnya kita
semua menyadari betapa tingginya harga yang harus kita bayar untuk sebuah
integrasi, betapa gigihnya pendahulu kita mewujudkan sebuah integrasi
didasari keyakinan bahwa itulah yang
terbaik untuk menghantarkan suatu negara yang aman, damai dan sejahtera. Tugas kita hanya menjaga integrasi
itu tetap lestari, tidak seberat pada saat integrasi itu diwujudkan.
Walaupun demikian tidak mungkin kalau
tugas itu hanya dibebankan kepada salah satu komponen bangsa. Dibutuhkan
kesatuan, kekompakan, dan kebersamaan, agar tugas melestarikan integrasi bangsa itu
berhasil.
Kehadiran
reformasi di era baru telah tampil di tengah-tengah bangsa Indonesia
bagaikan "pisau bermata dua." Di satu sisi, reformasi membabat
dan mengikis satu demi satu nilai adat dan tradisi Orde Baru guna melahirkan
Indonesia baru yang lebih reformis, demokratis, dan lebih harmonis. Pada
sisi lain, reformasi secara tidak diduga dan
tidak disadari justru melahirkan benih-benih disintegrasi yang mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa. Eforia kebebasan dan kemenangan telah membuat
lupa diri dan lupa daratan bahwa Indonesia baru adalah tetap Indonesia seperti
ketika diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, bukan Indonesia yang lain,
bukan Indonesia yang tercabik-cabik oleh egoisme kedaerahan atau fanatisme sempit berdasar suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA).
Apa
pun yang terjadi era reformasi ini merupakan sebagai suatu proses bukanlah suatu yang kita jadikan
sebagai isme baru, karena isme kita sebagai bangsa da negara adalah tetap
Pancasila dan UUD 1945. Yang harus dipahami benar adalah bahwa di era
reformasi itu bukanlah tujuan, tetapi alat, yaitu alat untuk mencapai tujuan
kita sebagai bangsa. Sebab, ketika reformasi yang sesungguhnya sebagai alat itu
kita tempatkan sebagai tujuan, kita akan
kebingungan dan lupa diri. Segala sesuatu menjadi tidak jelas lagi, sehingga hanya
berputar-putar di sekitar era reformasi
sebagai wacana dan tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali disintegrasi
bangsa. Kita akan terjebak kepada situasi saling menyalahkan, saling melempar
tanggung jawab, saling menghujat, saling menyerang, saling membenci, dan saling
bermusuhan, karena tidak jelas lagi siapa harus melakukan apa, bersama siapa,
untuk tujuan apa, dan meraih sasaran apa.
Setelah
berpuluh tahun kita berupaya dan berhasil membangun integrasi nasional
yang tangguh, teruji, dan tahan terhadap terpaan dan goncangan yang sangat
kuat, kini tiba-tiba kita belum juga terbebas dari potensi disintegrasi
bangsa dengan pola yang sama. Penyebabnya adalah adanya kesalahan dalam
menerapkan manajemen politik, sosial maupun ekonomi, ditamba lagi para
politikus dalam rangka memperjuangkan aspirasi politiknya, cenderung mencari
dukungan pada elemen yang sangat peka seperti suku, agama, ras, dan kedaerahan.
Benar-benar sangat mengkhawatirkan.
Disintegrasi
merupakan gejalah yang lahir akibat dari suatu
bentuk ketidakadilan pemerintah
terhadap masyarakat baik dari politik, ekonomi, sosial budaya, dan rasa aman. Masalah utamanya adalah
sejarah pemerintahan orde baru yang mengantarkan Pemerintahan Pusat yang
bermental priyai, mau dipertuan terus, tetap tidak ingin membangun persepsi
bahwa Pemerintah Daerah adalah mitra kerja yang terikat bukan karena paksaan
dan syarat-syarat abnormal, kewibawaan yang dipaksaan serta berbagai aturan
yang feodal lainnya. Pemerintah Derah harus dipandang sebagai mitra kerja yang
terikat karena konsensus bersama yang disepakati bersama dan diakui oleh
masyarakat daerah. Namun sejah mencatat fakta bahwa banyak masyarakat justeru
merasa tertintas oleh pemerintahan sendiri akiabat pemerintahan yang
sentralistik dan otonom. Dampak pemerintahan orde baru sedikitnya telah membuka
pintu bagi bangsa ini kearah disintegrsi
oleh berbagai potensi yang diantarany: masalah ekonomi, demografi, pertahanan
dan keamanan, poltik, demografi, komplik sumber daya alam sehingga dalam memecahkan masalah ini
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 22 tahun 1999 yang di sempurnakan dalam
Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerahyang diharapkan mampu menciptakan integrasi bangsa baik secara regional
maupun lokal. Otonomi daerah yan seharusnya menjadi jawaban bagi pembangunan
bagsa ini belum secara utuh menciptakan keadilan bagi segenap bangsa. Hal
ini terlihat jalas dari berbagai
tuntutan masyarakat daerah untuk medapatkan penghidupan yang layak.
Secara umum diakui bahwa gerakan
pemisahan diri ( disintegrasi) cenderung terjadi di daerah-daerah pinggiran (periphery)
yang jauh dari pusat pemerintahan (centre), kaya akan sumber alam, dan
memiliki perasaan etnik yang kuat serta berbeda dengan elite politik yang
memerintah. Namun demikian di dalam suatu negara yang tengah bergolak dan
mengalami transisi demokratis seperti Indonesia, potensi disintegrasi bisa
bersumber dari berbagai faktor atau variabel lain yang tidak terduga. Struktur
politik yang sentralistik dan menafikan aspirasi lokal di satu pihak, dan di
pihak lain cenderung korup, kolusif, nepotis, dan monopolistik, bisa jadi
merupakan faktor yang memperbesar potensi disintegrasi tersebut.
Diawali dengan ditetapkannya UU Nomor 27 Tahun
2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka pada tanggal
24 Mei 2003 dibentuklah Kabupaten Belitung Timur berdasarkan UU Nomor 5 Tahun
2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Tengah,
Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung Timur. Kalau ditelusuri ke belakang, potensi
disintegrasi politik bangsa ini memang
memiliki akar yang amat mendalam misalnya dengan kahirnya Kebijakan yang,
menindas, dan menafikan aspirasi masyarakat, terutama di tingkat lokal
khususnya di kepulauan Bangka Belitung Partisipasi dan kesempatan bagi masyarakat
untuk terlibat dalam proses politik hampir tidak ada karena prilaku masyrakat
yang kaula akibat dari rendahnya sosialisai dan pendidikan politik di masyrakat
Bangka Belitung angka pendidikan strategi ganda korporatisme negara di satu
pihak dan depolitisasi massa di pihak lain. Sementara itu, di sisi lain,
eksploitasi atas sumber daya ekonomi dan kekayaan daerah berlangsung intens
tanpa diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan yang serta proporsional bagi daerah.
Oleh karena itu potensi konflik dan
disintegras di Bangka Belitung i berakar pula pada kecenderungan elite politik
di hampir semua tingkat untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Lebih jelas lagi, potensi disintegrasi itu muncul ketika elite politik memanipulasi
kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai “kepentingan nasional”
serta menyalahgunakan otoritas negara untuk kepentingan pengusaha. Fenomena
manipulasi kepentingan bersama itulah tampaknya yang lebih relevan menjadi
potensi disintegrasi bgi kepulauan Bangka belitung, disintegrasi bisa menjadi
ancaman serius bagi bangsa Indonesia jika para elite politik terus menerus
melakukan manipulasi atas aspirasi, isu, dan realitas kultural masyarakat,
terutama di tingkat lokal.
Pembelahan masyarakat secara kultural
adalah realitas obyektif bangsa Indonesia yang tidak mungkin ditiadakan.
Ironisnya, upaya “peniadaan” sekat-sekat primordial ,integrasi dan stabilitas
semu yang diraih melalui strategi kooptasi atas elite politik kepulauan Bangka Belitung. Partisipasi
masyrakay yang tersendat akibat perwakilan marsyarakat di tingkat kabupaten atau kota yang sebgian besar di dominasi oleh yang
berpendidikan SMA memberikan sutu kontribusi
citra pemerintahan kepulauan Bangka Belitung dimata masyarakat Bangka
Belitung.
Meliahat dari hasil kerja perwakilan
masyarakat Kepulauan Bangka Belitung
yang belum menunjukan terjadinya adanaya keterliabatan masytakat dalam
pemerintahan untuk memperjuangkan aspirasi. Sehingga kebijakan pemerintahan yang lahir dari
Kepulauan Bangka Belitung masih tergantung pada anggota DPRD tingkat provinsi.
Hal ini tidaklah terlepas dari keterbatasab pejabat politik dan partai
politik dalam 1) Partai politik sebagai
contol sosial, 2) Memberikan pendidikan politik demi tercipatanya masyarakat
yang partisipatif dan peduli terhadap pemerintahan sebagaimana guna
mencipatakan kesinergian antara tuntutan masyarakat Kepuluan Bangka Belitung terhadap kebijakan
yang dikeluarkaukn . Oleh karena itu untuk perbaikan pada peran dan fungsi
partai politik maka dari aspek politis dalam regulasi anggota dewan perwakialan
dan partai politik perlu; 1) Menciptakan masyarakat yang partisipatif, 2)
Sosialisasi oleh partai politik dalam memberikan pendidikan politik di semua
daerah di Kepulauan Bangka Belitung, 3) Rekrutmen pejabat politik oleh partai
politik yang lebih selektif guna menunjang tercipatanya kapabelitas pejabat
dalam memeperjuangkan aspirasi
masyarakat.
Pendapat reforman dalam Urgensi bahwa perluasan otonomi bagi daerah-daerah
dalam rangka distribusi kekuasaan dan kekayaan di satu pihak, dan dalam upaya
memperkokoh integrasi nasional di lain pihak, terlihat jelas di sini.
Kecenderungan elite politik kepulauan Bangka Belitung maupun pemerintah pusat
untuk terus mengeksploitasi sumber daya ekonomi daerah tanpa mempertimbangkan
aspirasi politik masyarakat daerah
Bangka Belitung secara adil, tampaknya harus segera diakhiri. Tuntutan
pemisahan diri sebagian rakyat di daerah-daerah, yang menjadi fokus kajian ini
cenderung akan terus berlangsung selama tidak ada upaya serius untuk
mengakomodasi aspirasi mereka melalui pemberian hak otonomi bagi daerah. Namun
dalam kenyataan hari ini otonomi daerah yang dijelmakan dalam bentuk undang-undang No 22 tahun 1999 dan disempurnakan menjadi
undang-undang No 32 tahun 2004 belum mampu menjawab tuntan rakyat kepulauan
Bangka Belitung dalam megembangkan potensi daerah untuk seutuhnya demi kemakmuran rmasyarakat kepulauan Bangka Belitung. Karena peranan elit politik yang masih
menyelewengakan kekuasaan untuk menjadi pengusa daerah baik di tingkat
kabupaten dan maupun dan di tingkat
provinsi dalam melindungi penguasa pertambangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar