Senin, 21 Mei 2012


Oleh : MARJANI

Kemiskinan adalah masalah lintas zaman. Kenyataan ini kiranya menjadi latar mengapa kemiskinan selalu menjadi masalah yang mendapatkan perhatian besar dan mengundang perdebatan, hingga pada level paradigmatik. Perdebatan abadi kapitalisme dan sosialisme telah menjadikan kemiskinan sebagai salah satu tema sentral. Perdebatan intra paradigmatik pun menjadikan peta paradigma kemiskinan menjadi semakin kompleks. Latar belakang ini memberikan indikasi akan terbatasnya kemampuan setiap pemetaan dalam menjelaskan paradigma kemiskinan secara komprehensif.
Sosialisasi Institute for Global Justice dan INFID dalam film The New Rulers of the World (2002) dirasa tepat untuk mengawali ulasan singkat ini. Di dalamnya ada dua kalimat yang dapat menggambarkan dunia dewasa ini. Globalisasi (pasar bebas) pada hakekatnya adalah sosialisme bagi si kaya, kapitalisme bagi si miskin. Negara kaya dan korporasi internasional justru menginternalisasi sosialisme; dengan menjaga solidaritas dan distribusi merata keuntungan yang mereka peroleh dari negara-negara miskin. Sebaliknya negara miskin justru dipaksa mengusung kapitalisme; dalam bentuk liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Dunia dewasa ini sama halnya dengan kolonialisme dahulu, hanya dalam bentuk yang baru.
Gambaran sederhana tersebut menjelaskan adanya paradoks besar dalam paradigma kemiskinan. Pasca krisis Keynesian tahun 1980-an, transformasi paradigma kapitalistik mengalami lompatan ekstrim ke arah neoliberalisme. Kesadaran Keynes akan adanya sesuatu yang salah dengan kapitalisme justru hilang tanpa bekas hanya karena kegagalan negara dalam mengelola perekonomian. Neoliberalisme semakin tidak memberikan tempat bagi negara, bahkan untuk melakukan kebijakan demi keadilan sosial. Subsidi, jaminan pelayanan publik dasar, dan jaminan sosial lainnya dianggap inefisiensi. Pendidikan, kesehatan, dan hak-hak dasar manusia justru menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Neoliberalisme memaksa negara miskin ikut dalam pasar bebas. Bukan sebagai stakeholder yang kompetitif, namun hanya sebagai pemberi ruang investasi asing dengan menghilangkan segala macam bentuk hambatan. Di lain pihak, negara-negara kaya justru semakin “sosialis” dengan memperkuat solidaritas dalam World Trade Organization, World Bank, dan International Monetary Fund. Sumber daya dunia terdistribusi relatif merata di antara segelintir negara kaya dan korporasi internasional.
Rakyat Indonesia adalah korban paradigma kapitalisme bagi si miskin. Orde Baru merupakan peletak dasar kapitalisme di Indonesia. Lebih 3 dekade kekuasaanya adalah waktu yang cukup bagi transformasi sempurna kapitalisme ke dalam bentuk yang ekstrim. Ini menjadi sebab mengapa rezim Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY-JK tidak memiliki kemampuan, selain juga tidak memiliki etik untuk melawan arus utama dalam menganalisis masalah kemiskinan.
Terciptalah hegemoni/dominasi paradigmatik kapitalisme dalam memandang kemiskinan. Pada level nasional, bertambahnya kemiskinan dipandang hanya sebagai akibat rendahnya
pertumbuhan ekonomi. Sehingga pilihan kebijakan yang dianggap logis adalah menstimulasi aktivitas sektor-sektor formal, terutama konglomerasi. Bukan stimulasi sektor pertanian, industri rumah tangga, dan sektor informal lainnya. Pada level mikro (individual/rumah tangga), kemiskinan adalah akibat dari rendahnya need for achievement, tidak kompetitif, bodoh dan penyakitan. Tidak mengherankan bila kemudian seorang menteri menyalahkan orang tua yang tidak mengerti arti penting gizi ketika terjadi busung lapar di Nusa Tenggara.
Governance dan New Public Management, sebagai dua varian neoliberalisme juga bukan tanpa masalah. Wacana-wacana arus utama ini tidak sejalan dengan premis yang mengatakan, bahwa pelayanan publik dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, adalah hak setiap rakyat, sekaligus menjadi kewajiban bagi negara untuk menyediakannya. Governance dan NPM pada prinsipnya adalah neokorporatisme yang menempatkan pasar (swasta) sebagai stakeholder utama kebijakan publik, sementara negara hanya bertindak sebagai penyedia “iklim” yang kondusif bagi aktivitas swasta.
Periode 1970-an dari rezim Orde Baru menjadikan kekuasaan negara sebagai determinan kuatnya kapitalisme dalam pembangunan. Pada periode 1980-an, lembaga donor internasional mulai berperan signifikan di samping kekuasaan negara. Pasca krisis 1998, Indonesia sebagai negara praktis marjinal di bawah structural adjustment versi IMF. Kemiskinan benar-benar semakin dipahami sebagai konsekuensi logis pembangunan ekonomi yang memerlukan hutang luar negeri. Pencabutan subsidi dan pengurangan drastis pengeluaran negara untuk menyediakan pelayanan publik dasar dijadikan cara tepat berefisiensi, sekaligus mengalokasikan selisih anggaran untuk pembayaran hutang. Reformasi 1998 juga menjadi momentum berkembangnya epistemis liberal baru di luar negara dalam bentuk pusat-pusat studi Universitas maupun non Universitas.
Indonesia bukan berarti tidak memiliki paradigma alternatif dalam memandang kemiskinan. Rezim Orde Baru, dengan kekuasaan negara otoritarian memarjinalkan wacana alternatif dari masyarakat sipil yang ada di kampus maupun di Non Government Organization. Ekonomi Pancasila versi Mubyarto, Ekonomi Kerakyatan versi Sarbini, dan kritik ekonom strukturalis hanya menjadi sekedar pengayaan wacana negara. Gerakan-gerakan sosialistik NGO diawasi dan dibatasi, hingga di stampel sebagai gerakan komunisme. Marjinalnya wacana alternatif ini diperlihatkan oleh prioritas kebijakan menanggulangi kemiskinan yang tidak pernah bergeser dari meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bukan revitalisasi pertanian, dukungan kredit signifikan pada usaha kecil menengah, atau pemberdayaan sektor informal.
Ke depannya, wacana governance yang menekankan proses kebijakan kolaboratif antara negara, swasta dan masyarakat sipil tetap berpotensi memarjinalisasi wacana-wacana alternatif tentang kemiskinan dari masyarakat sipil. Relasi antara ketiga stakeholder dalam governance tidak dapat diasumsikan setara. Masyarakat sipil tetap menjadi stakeholder terlemah karena harus berhadapan dengan negara dan swasta yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi.
Di akhir tulisan ini perlu ditegaskan, bahwa kemiskinan adalah masalah kemanusiaan. Perbedaan paradigma akan memunculkan kebijakan yang juga berbeda. Di tengah perdebatan tersebut, setiap kebijakan harus berpihak pada si miskin. Meskipun harus bertentangan dengan logika-logika ekonomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar