Oleh : MARJANI
Kemiskinan
adalah masalah lintas zaman. Kenyataan ini kiranya menjadi latar mengapa
kemiskinan selalu menjadi masalah yang mendapatkan perhatian besar dan
mengundang perdebatan, hingga pada level paradigmatik. Perdebatan abadi
kapitalisme dan sosialisme telah menjadikan kemiskinan sebagai salah satu tema
sentral. Perdebatan intra paradigmatik pun menjadikan peta paradigma kemiskinan
menjadi semakin kompleks. Latar belakang ini memberikan indikasi akan
terbatasnya kemampuan setiap pemetaan dalam menjelaskan paradigma kemiskinan
secara komprehensif.
Sosialisasi
Institute for Global Justice dan INFID dalam film The New Rulers of the World
(2002) dirasa tepat untuk mengawali ulasan singkat ini. Di dalamnya ada dua
kalimat yang dapat menggambarkan dunia dewasa ini. Globalisasi (pasar bebas)
pada hakekatnya adalah sosialisme bagi si kaya, kapitalisme bagi si miskin.
Negara kaya dan korporasi internasional justru menginternalisasi sosialisme;
dengan menjaga solidaritas dan distribusi merata keuntungan yang mereka peroleh
dari negara-negara miskin. Sebaliknya negara miskin justru dipaksa mengusung
kapitalisme; dalam bentuk liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Dunia
dewasa ini sama halnya dengan kolonialisme dahulu, hanya dalam bentuk yang
baru.
Gambaran
sederhana tersebut menjelaskan adanya paradoks besar dalam paradigma
kemiskinan. Pasca krisis Keynesian tahun 1980-an, transformasi paradigma
kapitalistik mengalami lompatan ekstrim ke arah neoliberalisme. Kesadaran
Keynes akan adanya sesuatu yang salah dengan kapitalisme justru hilang tanpa
bekas hanya karena kegagalan negara dalam mengelola perekonomian.
Neoliberalisme semakin tidak memberikan tempat bagi negara, bahkan untuk
melakukan kebijakan demi keadilan sosial. Subsidi, jaminan pelayanan publik
dasar, dan jaminan sosial lainnya dianggap inefisiensi. Pendidikan, kesehatan,
dan hak-hak dasar manusia justru menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Neoliberalisme
memaksa negara miskin ikut dalam pasar bebas. Bukan sebagai stakeholder yang
kompetitif, namun hanya sebagai pemberi ruang investasi asing dengan
menghilangkan segala macam bentuk hambatan. Di lain pihak, negara-negara kaya
justru semakin “sosialis” dengan memperkuat solidaritas dalam World Trade
Organization, World Bank, dan International Monetary Fund. Sumber daya dunia
terdistribusi relatif merata di antara segelintir negara kaya dan korporasi
internasional.
Rakyat
Indonesia adalah korban paradigma kapitalisme bagi si miskin. Orde Baru
merupakan peletak dasar kapitalisme di Indonesia. Lebih 3 dekade kekuasaanya
adalah waktu yang cukup bagi transformasi sempurna kapitalisme ke dalam bentuk
yang ekstrim. Ini menjadi sebab mengapa rezim Habibie, Gus Dur, Megawati, dan
SBY-JK tidak memiliki kemampuan, selain juga tidak memiliki etik untuk melawan
arus utama dalam menganalisis masalah kemiskinan.
Terciptalah
hegemoni/dominasi paradigmatik kapitalisme dalam memandang kemiskinan. Pada
level nasional, bertambahnya kemiskinan dipandang hanya sebagai akibat
rendahnya
pertumbuhan
ekonomi. Sehingga pilihan kebijakan yang dianggap logis adalah menstimulasi
aktivitas sektor-sektor formal, terutama konglomerasi. Bukan stimulasi sektor
pertanian, industri rumah tangga, dan sektor informal lainnya. Pada level mikro
(individual/rumah tangga), kemiskinan adalah akibat dari rendahnya need for
achievement, tidak kompetitif, bodoh dan penyakitan. Tidak mengherankan bila
kemudian seorang menteri menyalahkan orang tua yang tidak mengerti arti penting
gizi ketika terjadi busung lapar di Nusa Tenggara.
Governance
dan New Public Management, sebagai dua varian neoliberalisme juga bukan tanpa
masalah. Wacana-wacana arus utama ini tidak sejalan dengan premis yang
mengatakan, bahwa pelayanan publik dasar, seperti pendidikan dan kesehatan,
adalah hak setiap rakyat, sekaligus menjadi kewajiban bagi negara untuk
menyediakannya. Governance dan NPM pada prinsipnya adalah neokorporatisme yang
menempatkan pasar (swasta) sebagai stakeholder utama kebijakan publik,
sementara negara hanya bertindak sebagai penyedia “iklim” yang kondusif bagi
aktivitas swasta.
Periode
1970-an dari rezim Orde Baru menjadikan kekuasaan negara sebagai determinan
kuatnya kapitalisme dalam pembangunan. Pada periode 1980-an, lembaga donor
internasional mulai berperan signifikan di samping kekuasaan negara. Pasca
krisis 1998, Indonesia sebagai negara praktis marjinal di bawah structural
adjustment versi IMF. Kemiskinan benar-benar semakin dipahami sebagai
konsekuensi logis pembangunan ekonomi yang memerlukan hutang luar negeri.
Pencabutan subsidi dan pengurangan drastis pengeluaran negara untuk menyediakan
pelayanan publik dasar dijadikan cara tepat berefisiensi, sekaligus
mengalokasikan selisih anggaran untuk pembayaran hutang. Reformasi 1998 juga
menjadi momentum berkembangnya epistemis liberal baru di luar negara dalam
bentuk pusat-pusat studi Universitas maupun non Universitas.
Indonesia
bukan berarti tidak memiliki paradigma alternatif dalam memandang kemiskinan.
Rezim Orde Baru, dengan kekuasaan negara otoritarian memarjinalkan wacana
alternatif dari masyarakat sipil yang ada di kampus maupun di Non Government
Organization. Ekonomi Pancasila versi Mubyarto, Ekonomi Kerakyatan versi
Sarbini, dan kritik ekonom strukturalis hanya menjadi sekedar pengayaan wacana
negara. Gerakan-gerakan sosialistik NGO diawasi dan dibatasi, hingga di stampel
sebagai gerakan komunisme. Marjinalnya wacana alternatif ini diperlihatkan oleh
prioritas kebijakan menanggulangi kemiskinan yang tidak pernah bergeser dari
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bukan revitalisasi pertanian, dukungan kredit
signifikan pada usaha kecil menengah, atau pemberdayaan sektor informal.
Ke
depannya, wacana governance yang menekankan proses kebijakan kolaboratif antara
negara, swasta dan masyarakat sipil tetap berpotensi memarjinalisasi wacana-wacana
alternatif tentang kemiskinan dari masyarakat sipil. Relasi antara ketiga
stakeholder dalam governance tidak dapat diasumsikan setara. Masyarakat sipil
tetap menjadi stakeholder terlemah karena harus berhadapan dengan negara dan
swasta yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi.
Di akhir tulisan ini perlu ditegaskan, bahwa kemiskinan adalah masalah kemanusiaan. Perbedaan paradigma akan memunculkan kebijakan yang juga berbeda. Di tengah perdebatan tersebut, setiap kebijakan harus berpihak pada si miskin. Meskipun harus bertentangan dengan logika-logika ekonomi
Di akhir tulisan ini perlu ditegaskan, bahwa kemiskinan adalah masalah kemanusiaan. Perbedaan paradigma akan memunculkan kebijakan yang juga berbeda. Di tengah perdebatan tersebut, setiap kebijakan harus berpihak pada si miskin. Meskipun harus bertentangan dengan logika-logika ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar