Impliksasi Sistem Pemerintahan Presidensial.
Koalisi yang telah
dibangun partai Demokrat dengan partai-partai mitra koalisi diragukan
kelanggenganya setelah partai mitra koalisi partai demokrat mengambil posisi
berseberangan dengan partai demokrat dalam kasus Bank Century. Wakil
ketua umum partai Demokrat, Ahmad Mubarok mengatakan bahwa partai Demokrat akan
mengkaji kontrak koalisi partai. Pengkajian kembali kontrak koalisi partai
bertujuan agar kinerja bisa efektif, artinya, semua program lancar dan aman.
Tentu saja publik pun semakin penasaran apakah pengkajian kontrak koalisi ini
berujung pada bubarnya koalisi yang telah dibangun partai Demokrat dengan mitra
koalisinya.
Dalam menjawab
pertanyaan tentang nasib koalisi ke depan, Ahmad Mubarok mengatakan bahwa
koalisi itu masalah rumah tangga. Seperti dalam rumah tangga, pihak yang
menjadi partner atau pasangan bisa saja mendua bahkan meminta cerai.
Fenomena mengenai sikap
partai mitra koalisi yang mendua, berkoalisi dengan pemerintahan sekaligus
menjalankan peran oposisi di DPR seperti ini kerap dijumpai selama lima tahun
masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Berangkat dari fenomena
politik seperti ini memunculkan pertanyaan: mengapa politik mendua atau bermuka
dua yang dijalankan partai-partai masih mendominasi model pemerintah kita?
Menurut Hanta Yuda A.R, analis politik dan peneliti The Indonesian Institute,
paling tidak ada dua jawaban yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan ini.
Pertama, implikasi dari
sistem pemerintahan presidensial yang kita anut tidak kompatibel dengan sistem
multipartai yang sedang tumbuh subur di Indonesia, menyebabkan adanya koalisi dalam pemerintahan.
Kedua, ideologi
partai-partai kita yang sangat lemah dan pragmatis menyebabkan karakter
partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, amat oportunistik, dan pragmatis
sehingga koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair. Hanta Yuda mengambil
contoh pengalaman negara di Amerika Latin.
Di Amerika Latin,
Kombinasi presidensialisme dan multipartisme terbukti menimbulkan instabilitas
politik dan kedudukan presiden yang lemah. Sebab, dalam sistem multipartai yang
terfragmentasi akan sulit melahirkan satu partai mayoritas yang cukup kuat
untuk membentuk satu pemerintahan sendiri (tanpa koalisi).
Di tengah ketiadaan
kekuatan partai mayoritas itulah, kemungkinan bagi terjadinya jalan buntu
legislatif-eksekutif menjadi terbuka. Sistem Presidensialisme yang diterapkan
di atas struktur politik multipartai juga diragukan dapat mendorong
demokratisasi. Sebaliknya justru cenderung melahirkan konflik antara lembaga
presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil.
Kekhawatiran ini terbukti di Indonesia.
Kebijakan pemerintah
kerap diinterpelasi oleh DPR. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan,
misalnya, selalu menjadi alat bagi partai politik untuk bernegosiasi dengan
presiden. Implikasinya, kompromi-kompromi politik menjadi sulit dihindari.
Hanta Yuda berpendapat, pilihan keluar dari koalisi pemerintah jauh lebih
terhormat dan bermartabat ketimbang menerapkan politik dua kaki atau politik
bermuka dua.
Apalagi jika sikap
politik itu hanya dijadikan untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan Presiden
atau akan dibarter dengan kasus lain. Semoga tidak. Sebab, jika itu yang
terjadi, sikap politik ini sejatinya tidak patut diapresiasi dan tidak layak
mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar