Kamis, 24 Mei 2012


Impliksasi Sistem Pemerintahan Presidensial.
Koalisi yang telah dibangun partai Demokrat dengan partai-partai mitra koalisi diragukan kelanggenganya setelah partai mitra koalisi partai demokrat mengambil posisi berseberangan dengan partai demokrat dalam kasus Bank Century.  Wakil ketua umum partai Demokrat, Ahmad Mubarok mengatakan bahwa partai Demokrat akan mengkaji kontrak koalisi partai. Pengkajian kembali kontrak koalisi partai bertujuan agar kinerja bisa efektif, artinya, semua program lancar dan aman. Tentu saja publik pun semakin penasaran apakah pengkajian kontrak koalisi ini berujung pada bubarnya koalisi yang telah dibangun partai Demokrat dengan mitra koalisinya. 
Dalam menjawab pertanyaan tentang nasib koalisi ke depan, Ahmad Mubarok mengatakan bahwa koalisi itu masalah rumah tangga. Seperti dalam rumah tangga, pihak yang menjadi partner atau pasangan bisa saja mendua bahkan  meminta cerai.
Fenomena mengenai sikap partai mitra koalisi yang mendua, berkoalisi dengan pemerintahan sekaligus menjalankan peran oposisi di DPR seperti ini kerap dijumpai selama lima tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Berangkat dari fenomena politik seperti ini memunculkan pertanyaan: mengapa politik mendua atau bermuka dua yang dijalankan partai-partai masih mendominasi model pemerintah kita? Menurut Hanta Yuda A.R, analis politik dan peneliti The Indonesian Institute, paling tidak ada dua jawaban yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan ini.
Pertama, implikasi dari sistem pemerintahan presidensial yang kita anut tidak kompatibel dengan sistem multipartai yang sedang tumbuh subur di Indonesia, menyebabkan adanya koalisi dalam pemerintahan.
Kedua, ideologi partai-partai kita yang sangat lemah dan pragmatis menyebabkan karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, amat oportunistik, dan pragmatis sehingga koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair. Hanta Yuda mengambil contoh pengalaman negara di Amerika Latin.
Di Amerika Latin, Kombinasi presidensialisme dan multipartisme terbukti menimbulkan instabilitas politik dan kedudukan presiden yang lemah. Sebab, dalam sistem multipartai yang terfragmentasi akan sulit melahirkan satu partai mayoritas yang cukup kuat untuk membentuk satu pemerintahan sendiri (tanpa koalisi).
Di tengah ketiadaan kekuatan partai mayoritas itulah, kemungkinan bagi terjadinya jalan buntu legislatif-eksekutif menjadi terbuka. Sistem Presidensialisme yang diterapkan di atas struktur politik multipartai juga diragukan dapat mendorong demokratisasi. Sebaliknya justru cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Kekhawatiran ini terbukti di Indonesia.
Kebijakan pemerintah kerap diinterpelasi oleh DPR. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan, misalnya, selalu menjadi alat bagi partai politik untuk bernegosiasi dengan presiden. Implikasinya, kompromi-kompromi politik menjadi sulit dihindari. Hanta Yuda berpendapat, pilihan keluar dari koalisi pemerintah jauh lebih terhormat dan bermartabat ketimbang menerapkan politik dua kaki atau politik bermuka dua.
Apalagi jika sikap politik itu hanya dijadikan untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan Presiden atau akan dibarter dengan kasus lain. Semoga tidak. Sebab, jika itu yang terjadi, sikap politik ini sejatinya tidak patut diapresiasi dan tidak layak mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar