NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA
ADAT KUTA KECAMATAN KUTA KABUPATEN
BADUNG
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Pelaksanaan
pembangunan Negara Republik Indonesia dalam
hal penyelenggaraan pemerintahan dan kependudukan dilaksanakannya dengan menggunakan asas
desentralisasi yaitu dengan memberikan kesempatan dan keleluasan kepada daerah
untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Sebagai landasan penyelenggaran Otonomi
Daerah tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (1) yang
berbunyi: ”Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi
itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, Kabupaten dan Kota
itu mempunyai Pemerintah Daerah yang diatur dengan undang-undang”.
Salah satu
penjabaran dari Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan, adalah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pada Bab III
Pasal 10 Ayat (1) yang
berbunyi ; “Dalam
rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
perbantuan”. Kewenangan Daerah tersebut merupakan upaya pemerintah dalam rangka
melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan, untuk mencapai masyarakat
sejahtera, adil dan makmur.
Demokrasi
dan otonomi daerah atau desa mengalami
kebangkitan setelah lebih dari empat dekade keduanya diberangus oleh rezim yang
sentralistik. Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
setidaknya, merupakan sebuah garansi formal terhadap pengembangan demokrasi
lokal, desentralisasi, otonomi daerah dan otonomi desa. Sejalan dengan desentralisasi arena demokrasi tidak
hanya terpusat di Jakarta, tetapi juga tersebar luas ke daerah, masyarakat
adat, dan desa.
Desa atau sebutan lainnya yang berakar pada masyarakat lokal,
memasuki babak baru mengikuti lahirnya semangat demokrasi lokal dan
desentralisasi. Dalam
penyelenggaraannya Pemerintahan Desa, dituangkan dalam Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian lebih rinci
diatur dalam Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2005 Tentang Desa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2005 Tentang Desa, Pemerintahan
Desa adalah “Penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Di Bali dikenal adanya dua
pengertian desa. Pertama, desa dalam
pengertian hukum nasional, sesuai dengan batasan yang tersirat dan tersurat
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa. Desa dalam
pengertian ini melaksanakan berbagai kegiatan administrasi pemerintahan atau
kedinasan sehingga dikenal dengan istilah Desa Dinas atau Desa Administratif. Desa dalam pengertian yang kedua, yaitu desa
adat atau Desa Pakraman, mengacu
kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh
adanya tiga pura utama (Kahyangan Tiga).
Dasar pembentukan desa adat dan desa
dinas memiliki persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan jumlah penduduk
pendukung sebuah desa dinas tidak selalu kongruen dengan desa adat. Secara
historis belum diketahui kapan dan bagaimana proses awal terbentuknya desa adat
di Bali. Ada yang menduga bahwa desa adat telah ada di Bali sejak zaman
neolitikum dalam zaman prasejarah. Desa adat mempunyai identitas unsur-unsur
sebagai persekutuan masyarakat hukum adat, serta mempunyai beberapa ciri khas
yang membedakannya dengan kelompok sosial lain. Ciri pembeda tersebut antara
lain adanya wilayah tertentu yang mempunyai batas-batas yang jelas, dimana
sebagian besar warganya berdomisili di wilayah tersebut dan adanya bangunan
suci milik desa adat berupa kahyangan tiga atau kahyangan desa (Dharmayuda,
2001).
Eksistensi
Desa adat di Bali diakui oleh pasal 18 UUD 1945 dan dikukuhkan oleh Peraturan
Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986, dan kukuhkan dalam lembaran daerah Nomor 29 tahun 2001 Tentang desa pakraman,
yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan
masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Bali. Kelembagaan Desa adat bersifat
permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana.
Kabupaten Badung sudah sangat terkenal di dunia, sehingga
mengundang kedatangan para wisatawan yang jumlahnya terus meningkat. Potensi
yang dimiliki Badung sebagai daya tarik selain keindahan alam adalah budaya
masyarakat dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk non fisik (aktivitas, adat
istiadat, dan lain sebagainya), maupun fisik (hasil karya berupa benda seni,
maupun benda kebutuhan hidup.
Kabupaten Badung yang terletak di 08 derajat
lintang selatan dan 115 derajat bujur timur berbentuk seperti keris. Kabupaten
Badung hanya memiliki luas wilayah
418,52 kilometer persegi tersebut terbagi
kedalam 6 (enam) kecamatan, 40
(empat puluh) administratif (desa dinas dan kelurahan) dan sebanyak
117 (seratus tujuh belas) desa
tradisional. Desa-desa tersebut terbagi lagi kedalam 297 (dua ratus sembilan
puluh tujuh) kelompok masyarakat yang lebih kecil dikabupaten Badung disebut dengan dusun atau banjar terbagi 498
(empat ratus sembilan puluh delapan) banjar.
Desa Adat adalah Kuta Salah satu dari
seratus tujuh belas desa pakraman di Kabupaten Badung. Desa adat kuta yang terletak di kecamatan Kuta kabupaten
Badung yang perkembangannya sangat pesat,
desa adat kuta tepatnya berada di
Kelurahan kuta, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung. Sebagai sebuah desa adat yang berada di kawasan wisata, desa
ini semakin dipadati dengan berbagai fasilitas (bangunan) sesuai dengan
aktivitas kepariwisataan. Tidak ada suatu kawasan wisata di Indonesia yang
memiliki perkembangan sepesat di Kuta
Desa adat kuta merupan bukan lagi
menjadi suatu hal yang asing bagi kita namun ada suatu keunikan dari desa adat
ini. Keunikan desa adat kuta dapat
dilihat dari bentuk kearifan lokal dalam
mengatur tata kehidupan masyrakat adat dengan awig-awig. Awig-wig desa adat,
merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk mengatur dan mengendalikan
prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapa ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Awig-awig merupakan benteng pertahanan paling kuat di desa adat bali dalam
memelihara peradapan masyarakat adat.
Namun dengan pergerakan arus globalisasi
dan menjadikan kuta sebagai objek wisata yang mampu menciptakan lapangan
pekerjaan, juga menyumbangkan sedikit pudarnya tentang etika dan moralitas
masyrakat adat kuta, yang terlihat
dengan :
1.
Film
dokumenter tentang gigolo di pantai kuta.
2.
Pergeseran
tata krama pemuda pantai.
3.
Pelaksanaan
ritual kebudayaan yang telah mengalami pergeseran oleh arus pembangunan
pariwisata.
4.
Pergeseran
moral, dimana ukuran sesuatu dinilai dengan uang.
5.
Pencemaran
lingkungan pantai Kuta.
Dari kasus ini menggambarkan bahwa
eksistensi nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta mendapat ancaman dari arus
globalisasi yang sudah menyebar ke berbagai tempat. Suka atau tidak suka, mau
atau tidak mau, globalisasi sudah menyebar dan Bangsa Indonesia umumnya dan
masyarakat Desa Adat Kuta khususnya harus ikut terhadap perkembangan global
tersebut, atau ditinggalkan sama sekali oleh masyarakat dunia.
Berdasarkan atas uraian di atas kelompok
III mengangkat suatu topik permasalahan, yang dituangkan dalam laporan
praktikum yang berjudul “Nilai-Nilai
Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung”.
1.2. Identifikasi Masalah.
1. Bagaimanakah nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa
Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung ?
2.
Hambatan-hambatan
dalam pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung ?
3. Upaya-upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung ?
1.3. Tujuan
Praktikum.
Tujuan
yang akan hendak dicapai dan bermanfaat bagi peneliti sendiri dan bermanfaat
bagi pembaca guna untuk tujuan penelitian ini adalah :
- Untuk
mengetahui dan mendeksripsikan nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
- Untuk
mengetahui, mendeksripsikan dan memahami hambatan-hambatan
dalam pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung.
- Untuk mengetahui
Upaya-upaya pelestarian nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
1.4. Manfaat Praktikum.
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
praktis dengan uraian sebagai berikut :
- Tujuan Teoritis (Keilmuan), penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran baru dan berarti bagi
peneliti dalam mengembangkan kajian ilmu pemerintahan, khususnya mengenai
pemeliharaan nilai-nilai kearifan lokal.
- Tujuan
secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pemerintahan desa adat pada khususnya dan pemerintah daerah
Kabupaten Badung pada umumnya dalam menjaga dan mempertahankan nilai-nilai
kearifan lokal di desa adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
BAB
II
KERANGKA PEMIKIRAN DAN
TINJUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Pemikiran
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local
wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius). Kearifan lokal
adalah sikap, pandangan, dan kernampuan
suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang
memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah
dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah jawaban
kreatif terhadap situasi geografis‑politis, historis, dan situasional yang
bersifat lokal (Saini, 2005).
Sedangkan Depsos, 2006 mengartikan
bahwa: kearifan lokal merupakan “sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pernenuhan kebutuhan
mereka”. Dalam pengertian ini di
jelaskan bahwa kearifan lokal merupakan suatu tata kehidupan dalam Sistem
pemenuhan kebutuhan mereka, meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, ilmu
pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,
serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan
terkait untuk mempertahankan, memperbalki dan
mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pemenuhannya, dengan
memperhatikan sumber daya manusia dan
sumber daya alam di sekitarnya.
Untuk lebih spesifik mendefinisikan kearifan lokal Jim
Ife (2002) mendimensikan kearifal lokal sebagai berikut;
1.
Dimensi
Pengetabuan Lokal Setiap
masyarakat di mana pun mereka berada selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait
dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan
siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis‑jenis fauna dan flora, dan kondisi
geografi, demografi, clan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat
mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami perubahan sosial yang
bervariasi menyebabkan mereka mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan low mereka dalam menguasai
alam.
2.
Dimensi Nilai
Lokal Untuk
mengatur kehidupan
bersama antara
warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai‑nilai lokal
yang
ditaati dan
disepakati
bersama oleh seluruh anggotannya. Nilai‑nilai ini
biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannnya, manusia dengan
manusia, dan antara manusia dengan alam, nilai‑nilai
ini memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang.
Nilai‑nilai
tersebut akan mengalami
perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnva.
3.
Dimensi
Kelerampilan Lokal Keterampilan
lokal bagin setiap masyarakat
dipergunakan sebagai kemampuan bertahan hidup (siimiva~. Keterampilan lokal
daniyang paling sederhana seperti
berburu, meramu, bercocok tanam sampai membuat industri rumah
tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi
kebutuhan keluargannya masing‑masing
atau disebut dengan ekonorni subsistensi.
4.
Dimensi Sumber
daya Lokal Sumber daya
lokal pada umumnya
adalah sumber daya alam yaitu sumber daya
yang tak terbaharui
dan yang dapat diperbarul'. Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai
dengan kebutuhannya dan
tidak akan mengeksploitasi secara besar‑besar atau di komersialkan.
Sumber daya lokal ini sudah dibagi perun tukannnya
seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertaman, dan
permukiman. Kepemihkan sumber daya lokal ini biasanya
bersifat kolektif
5.
Dimensi Mekaisme
Pen gambilan Keputusan Lokal Setiap masyarakat
pada dasarnya memiliki pernerintahan lokal sendiri atau
disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memeritah
warganya untuk bertindak sebagai
warga masyarakat. Masing masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan
keputusan yang berbedabeda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis
atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang melakukan
secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang.
6.
Dimensi
Solidwitas Kelompok Lokal Suatu masyarakat umumnya dipersatukan oleh ikatan
komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunval media-media
untuk mengikat
warganya dapat dilakukan melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing‑masing
anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan
fungsinva masing‑masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan
kerja bakti gotong royong.
Dilain
pihak, Mundardjito (1986:40-41) mengatakan
bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genims karena telah teruji
kemarnpuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri‑cirinya sebagai berikut.
1.
Mampu bertahan
terhadap budaya luar,
2.
Memiliki
kemampuan mengakoordinasi unsur‑unsur budaya luar,
3.
Mempunyai
kernampuan mengintegrasikan
unsur budaya luar ke dalarn budaya asli,
4.
Mempunvai kemampuan
mengendalikan, dan
5.
Mampu memberi
arah pada perkernbangan budaya
Dengan demikian, baik kearifan lokal,
pengetahuan Iokal, maupun local genius, pada dasarnya merniliki hakikat yang
sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pernaharnan bahwa kebudavaan itu telah
dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi selama
ratusan bahkan ribuan tahun oleh masyarakat setempat atau lokal. Kebudayaan
yang telah kuat berakar itu tidak mudah goyah dan terkontan‑iinasi dengan
pengaruh dari kebudayaan lain yang masuk.
2.2. Asumsi.
Dari
uraian tersebut, kelompok kami membuat asumsi sebagai berikut:
1.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2.
Desa adat adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di propinsi daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya
sendiri.
3.
Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kernampuan suatu
komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan
kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana
komunitas itu berada.
4.
Awig-awig
adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama desa di desa adatnya, untuk
mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat.
Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat , krama
desa adat, keagamaan serta sanksi.
2.3. Definisi operasional/ Operasionalisasi Variabel
Operasional
variabel adalah untuk menjelaskan makna variabel peneliti Riduan
(2004:222), ”definisi Operasional adalah unsur penelitian yang memberikan petunjuk
bagaimana variabel itu diukur”.Variabel penelitian praktikum ini terdiri dari satu variabel yaitu
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kabupaten Badung yang dapat dilihat sebagi berikut:
Tabel
2.1 Matrik Operasional Variabel
No.
|
Variabel
|
Dimensi
|
Indikator
|
1
|
Nilai-nilai
Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat Kabupaten Badung.
|
1.
Mampu bertahan terhadap budaya luar.
|
a.
Pelaksanaan
awig-awig masih tetap berjalan di desa
adat.
b.
Tata kehidupan krama adat masih mengikuti landasan Tri Hita Karana.
|
2.
Memiliki kemampuan mengakoordinasi unsur‑unsur
budaya luar.
|
a.
Sikap toleransi
yang tinggi masyarakat desa adat terhadapap tata kehidupan baru di kenal.
b.
Adanya sistem
kekerabatan yang kuat di dalam desa adat kabupaten Badung dalam
mempertahankan eksistensi adat Bali.
|
||
3.
Mempunyai kernampuan mengintegrasikan unsur budaya
luar ke dalarn budaya asli.
|
a.
Mensinergikan
design modern-tradisional.
b.
Akulturasi budaya
|
||
4.
Mempunyai kemampuan mengendalikan.
|
a.
Masih bertahannya
awig-awig dalam masyrakat adat.
b.
Adanya
kepercayaan terhadap bandesa sebagi tangan tuhan.
c.
Adanya nilai
keseimbangan dalam nilai-nilai kearifan lokal desa adat.
|
||
5.
Mampu memberi arah pada perkernbangan budaya.
|
a.
Awig-awig masih
dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
|
2.4. Tinjauan
Pustaka.
2.4.1.
Kearifan
Lokal.
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local
wisdom), pengetahuan setempat (local
knowledge) atau kecerdasan setempat (localgenius). Kearifan lokal
adalah sikap, pandangan, dan kernampuan
suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang
memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah
dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah jawaban
kreatif terhadap situasi geografis‑politis, historis, dan situasional yang
bersifat lokal (Saini, 2005).
Kearifan lokal juga dapat diartikan
sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud akdvitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah dalam pernenuhan kebutuhan mereka. Sistern pernenuhan kebutuhan mereka
pasti meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, ilmu pengetahuan, ekonomi,
teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komuru'kasi, serta kescnian. Mereka
mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkalt untuk
mempertahankan, memperbalki dan mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pemenuhannva,
dengan memperlihatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam di sekitarnya
(Depsos, 2006).
Sementara itu, Hadi (2006), menyatakan bahwa pada dasarnya dalam segap komunitas
masyarakat memiliki kearifan lokal (low live
wisdom) Kearifan lokal yang terdapat pada komunitas masyarakat tradisional
sekalipun terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan' (being smart and knowled geable).
Hal ini berkaitan dengan adanya
keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga
komunitas masyarakat akan secara spontan memikirkan cara-cara untuk melakukan
dan/atau menciptakan sesuatu. Dalam hal ini termasuk juga cara untuk membuat
makanan, cara untuk membuat peralatan yang diperlukan untuk mengolah sumberdaya
alam derni menjamin tersedianya bahan makan, dan sebagainva. Dalam proses
tersebut suatu penemuan yang sangat berharga dapat terjadi tanpa disengaja.
Mereka menemukan bahwa suatu jenis tanaman tertentu dapat menghasilkan buah
yang dapat dimakan setelah dilakukan cara pengolahan tertentu atau daun
tertentu dapat menyembuhkan mereka dari sakit perut, sedang daun lain mengobati
demam; atau akar‑akaran tertentu dapat menyernbuhkan luka. Pengembangan suatu
sistem pengetahuan dan teknologi yang asli tersebut itulah yang disebut dengan
kearifan lokal.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai
dan mempunyai manfaat tersendiri dalam. kehidupan masyarakat. Sistem tersebut
dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan
melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai
yang dihayad di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan
lokal tersebut kemudian menjadi bagian darl cara hidup mereka yang arif untuk
memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal
mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan
(sustainable dexlopmen (Hadi, 2006).
Selain daripada itu, kearifan lokal
dianggap lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah‑olah bertahan dan berkembang dengan
sendirinya. Tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasari lahirnya kearifan
lokal, bahkan tidak ada pendidikan dan pelatihan untuk meneruskannya. Sejatinya
manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagal adaptasi
terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan‑kebiasaan, praktik, dan
tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau
masyarakat tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan
tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima. 'kebenaran' itu tentang
nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku (Idrus, 2008).
Kearifan lokal dapat pula didefinisikan
sebagai nilai‑nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan‑kekayaan budaya lokal
berupa tradisi, petatah‑petitih dan semboyan hidup. Salah satu ungkapan dari
kearifan. lokal. adalah alon‑alon waton
kelakon (biar lambat asal. tujuan tercapai) dalarn budaya jawa, ataun
semboyan marsiada'p ari (saling
membantu dalam melakukan suatu pekerjaan) dalam budaya Batak (Pikiran Rakyat, 2004).
Konsep kearifan lokal atau kearifan
tradisional atau sistern pengetahuan lokal (indi genous knowledge gstem) adalah pengetahuan yang khas milik suatu
masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari
proses hubungan timbal‑bahk antara masyarakat dengan lingk‑ungannya (Marzah,
dalam Murnfangati, dkk., 2004). jadi, konsep sistern kearifan lokal berakar
dari sistern pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena
hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal,
tradisional, atau asli, melalui "uji coba" telah mengembangkan
pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal yang telah dianggap
mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan‑kegiatan yang
dianggap merusak lingkungan (Michell, 2003).
Menurut Jim Ife (2002) kearifan lokal
memiliki enam dimensi, yaitu:
1.
Dimensi
Pengetabuan Lokal Setiap
masyarakat di mana pun mereka berada selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait
dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan
siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis‑jenis fauna dan flora, dan kondisi
geografi, demografi, clan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat
mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami perubahan sosial yang
bervariasi menyebabkan mereka mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan low mereka dalam menguasai
alam.
2.
Dimensi Nilai
Lokal Untuk
mengatur kehidupan
bersama antara
warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai‑nilai lokal
yang
ditaati dan
disepakati
bersama oleh seluruh anggotannya. Nilai‑nilai ini
biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannnya, manusia dengan
manusia, dan antara manusia dengan alam, nilai‑nilai
ini memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang.
Nilai‑nilai
tersebut akan mengalami
perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnva.
3.
Dimensi
Kelerampilan Lokal Keterampilan
lokal bagin setiap masyarakat
dipergunakan sebagai kemampuan bertahan hidup (siimiva~. Keterampilan lokal
daniyang paling sederhana seperti
berburu, meramu, bercocok tanam sampai membuat industri rumah
tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi
kebutuhan keluargannya masing‑masing
atau disebut dengan ekonorni subsistensi.
4.
Dimensi Sumber
daya Lokal Sumber daya
lokal pada umumnya
adalah sumber daya alam vaitu sumber daya yang tak terbaharui
dan yang dapat diperbarul'. Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal
sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi
secara besar‑besar atau di komersialkan. Sumber daya lokal
ini sudah dibagi perun tukannnya
seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertaman, dan
permukiman. Kepemihkan sumber daya lokal ini biasanya
bersifat kolektif
5.
Dimensi Mekan'
Penisme gambilan Keputusan Lokal Setiap masyarakat
pada dasarnya memiliki pernerintahn lokal sendiri atau
disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memeritah
warganya untuk bertindak sebagai
warga masyarakat. Masing masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan
keputusan yang berbedabeda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis
atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang melakukan
secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang.
6.
Dimensi
Solidwitas Kelompok Lokal Suatu masyarakat umumnya dipersatukan oleh ikatan
komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunval mediamedia
untuk meng1kat warganya dapat dilakukan melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing‑masing
anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan
fungsinva masing‑masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan
kerja bakti gotong royong.
Sebagai
bagian dari kebudayaan tradisional, kearifan lokal merupakan satu aset warisan
budaya. Kearifan lokal hidup dalam domain kognitif, agektif dan motorik, serta
tumbuh menjadi aspirasi dan apresiasi publik. Dalam konteks sekarang, karena
desakan modernisme dan globalisasi kearifan lokal berorientasi pada (1)
keseimbangan dan harmonii manusia, alam dan budaya; (2) kelestarian dan
keragaman alam dan kultur, (3) konservasi sumber daya alam dan warisan budaya;
(4) penghematan sumber daya yang bernilai ekonornii; (5) moralitas dan
spiritualitas. Tema‑tema orientasi seperd itu sangat relevan bagi cita‑cita,
paradigma dan perencanaan pembangunan berkelanjutan (Geriya, 2004).
istilah local genius merupakan. istilah yang mula pertama dikenalkan oleh H.G Quaritch Wales dalam artikelnya
yang dimuat di Journal of Royal Asiatic
Socie:y berjudul "Culture Change
in Greater India" (1948), kemudian dalarn bukunya "The Makin of Greater India: A Study in South‑east
Asia Culture Change" (1951). Menurut Quaritch Wales pengertian local genius dinyatakan sebagai berikut:
"the sum of the cultural
characteristics Uhich the Past majono of a people have in cammon as a result of
their expefience in early life" (keseluruhan
ciri‑ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai hasil
pengalaman mereka sepanjang hidupnya). Menurut Quaritch Wales juga menekankan
bahwa yang dimaksud dengan local genius itu
adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan
asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan (lebih lanjut lihat
Ayatrohaedi (penyunting), 1986).
Pengertian lain dari local genius misalnya diungkapkan oleh Haryati Soebadio yang menyamakannya dengan istilah culturalidenfinity, yakni
identitas/kepriibadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (dalam Ayatrohaedi, 1986:18‑19).
Dilain pihak, Mundardjito(dalarn
Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan
bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai localgenims karena telah teruji
kemarnpuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri‑cirinya sebagai berikut.
1.
Mampu bertahan
terhadap budaya luar,
2.
Memiliki
kemampuan mengakornodasi unsur‑unsur budaya luar,
3.
Mempunyai
kernampuan mengintegrasikan
unsur budaya luar ke dalarn budaya asli
4.
Mempunyai
kernampuan mengendalikan, dan
5.
Mampu memberi
arah pada perkernbangan budaya.
Dengan demikian, baik kearifan lokal,
pengetahuan lokal, maupun localgenius, pada dasarnya merniliki hakikat yang
sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pernaharnan bahwa kebudayaan itu telah
dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi selama
ratusan bahkan ribuan tahun oleh masyarakat setempat atau lokal. Kebudayaan
yang telah kuat berakar itu tidak mudah goyah dan terkontan‑iinasi dengan
pengaruh dari kebudayaan lain yang masuk.
2.4.2.
Masyarakat.
Manusia merupakan makhluk yang memiliki
keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya.
Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan manusia memberi reaksi dan melakukan
interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan
yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat. Definisi Pengertian Masyarakat Berikut di bawah ini
adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
1.
Menurut Selo Sumardjan masyarakat
adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
2.
Menurut Karl Marx masyarakat
adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau
perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi
secara ekonomi.
3.
Menurut Emile Durkheim masyarakat
merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
4.
Menurut Paul B. Horton & C.
Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup
bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu,
mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam
kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Faktor-Faktor
/ Unsur-Unsur Masyarakat Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya
memuat unsur sebagai berikut ini :
1.
Beranggotakan minimal dua orang.
2.
Anggotanya sadar sebagai satu
kesatuan.
3.
Berhubungan dalam waktu yang cukup
lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat
aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4.
Menjadi sistem hidup bersama yang
menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota
masyarakat.
Ciri / Kriteria Masyarakat Yang Baik Menurut Marion Levy
diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa
dikatakan / disebut sebagai masyarakat, adalah:
1.
Ada sistem tindakan utama.
2.
Saling setia pada sistem tindakan
utama.
3.
Mampu bertahan lebih dari masa
hidup seorang anggota.
4.
Sebagian atan seluruh anggota baru
didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.
2.4.3. Desa.
2.4.3.1.
Pengertian Desa.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,
disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan
merupakan bagian dari perangkat daerah
kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda
dengan Kelurahan, Desa
memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya,
sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan.
Kewenangan desa adalah:
1.
Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada
berdasarkan hak asal usul desa
2.
Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang
secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.
3.
Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota
4.
Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada
desa.
Secara
teoritis desa di Indonesia pertama kali di temukan oleh Mr Herman Warner
Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad
Van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris, yang merupan pembantu Gubernur Jendral
Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di indonesia. Dalam sebuah laporannya
tertanggal 14 Juli 1817 kepada pemerintahannya disebutkan tentang adanya
desa-desa di desrah-daerah di pesisir
utara Pulau jawa. Dan kemuadian hari ditemukan juga desa-desa
dikepeulauan luar Jawa yang kurang lebih sama dengan desa yang ada di Jawa
(soetarjo, 1984:36)
Kata desa berasal dari bahasa bahasa Iindia yakni “swadesi” yang berarti
temapat asal, tempat tingal, negeri asal, atau tanah leluhuryang merujuk pada
satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang
jelas (Soetarjo, 1984:84} sesuai dengan batsan definisi tersebut, maka di Indonesia dapat ditemui banyak kesatuan masyarakat dengan peristilahannya masing-masing seperti
dusun dan marga bagi masyarakat Sumatra
Selatan, Soa di Maluku, Nagari di Minang atau Wanua di Minahasa dan Pakraman di
Bali. Pada daerah lain masyarakat setingkat desa juga memiliki peristilahan dan keunikan
tersendiri baik mata pencaharian ataupun adat istiadatnya.
Definisi tentang desa sampai saat ini masih perlu dikaji
karena batasannya menjadi perdebatan panjang dikalangan para ahli. Desa
dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakatdaerah tertentu yang satu dengan daerah yang lain berbeda
kulturnya. Beberapa ahli atau pakar mengemukakan pendapatnya dari tinjauan
masing-masing.
Bintarto (1983) yang memandanang desa dari segi geografi
mendefinisikan sebagi berikut;
Suatu hasil dari perwujudan anatra kegiatan sekelompok
manusia dan sekelmpok manusia denagn lingkunganya. Hasil dari perpaduan ini
adalah suatu ujud dari penampakan di muka bumi ini yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi,
sosial ekonomi, politik, dan kultur yang salin berinteraksi antara unsur
tersebut dan juga dalam kelompok hubungannya
dengan daerah lain.
Kebanyakan
orang memahami desa sebagai temapat dimana bermukim penduduk denag peradapan
yang lebih terbelakang dari pada kota. Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu
yang kental,tingkat pendidikan yang relatif rendah,mata pencaharian yang
umumnya pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat bahwa desa merupakan tempat
tingga para petani.
Namun demikian pengertian desa dapat
juga dilihat dari pergaulan hidup, seperti yang dikemukakan oleh bouman (dalam
Berata, 1982 : 26 ) yang mendefinisikan desa :
Sebagai salah
satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir
semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk didalamnya hidup dari
pertanian perikanan dan sebgainya, usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan
kehendak alam. Dan dalam temapat tinggal itu banyak ikatan-ikatan keluarga yang
rapat ketaatan pada tradidsi dan
kaidah-kaidah sosial.
2.4.3.2.
Teori Lahirnya Desa.
Definisi di atas memberikan berbagai
gambaran tentang desa, dalam istilah yang berbeda sebutan untuk desa dapat
dilihat dari tinjauan sudut pandang suatua daerah misalnya: di Aceh dipakai
nama ”Gampong” atau “meunasah” buat
daerah hukum yang paling bawah di daerah
batak, hukum setingkat desa disebut dengan “kuta
atau huta”. Di daerah Minangkabau daerah
hukum yang demikian dinamakan “dusun” atau “ tiuh” , di daerah
Minahasa diberi nama “wanua”, di daerah bali diberi nama desa “Pakraman”. Serta sebutan nama
kepala desa yang berbeda pula seperti di
daerah Tapanuli kepala desa desa disebut dengan ”kepala nagari” dan di sumatera selatan kepala desa disebut dengan “pesirah” .
Menurut Sunarjo, (1984: 32) Susunan desa
membentuk persekutuan masyrakat hukum di katagorikan atas tiga (3) tipe yaitu;
1.
Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepada
teritorial/ wilayah tempat bersama
dengan dasr utama;
2.
Tipe kesatuan
masyarakat umum berdasarkan persamaan keturunan/ genetik (suku, warga, atau
calon) sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal dalam suatu wilayah
tertentu.
3.
Tipe kesatuan hukum
berdasarkan atas campuran (teritorial
dan keturunan).
Demikian
pula yang di kemukakan soetarjo (1984),
bahwa bentuk desa di dasarkan atas 3
(tiga) sifat yakni :
1. Berdasarkan geneologis atuau keturunan,
2. Berdasarkan teritorial atau wilayah,
3. Campuran antara geologis dengan teritorial
Tentang pengertian desa tersebut lebih lanjut Sunardjo (1984: 61) menjelaskan bahwa :
Desa adalah
suatu kesatua masyarakat hukum berdasarkan adat
yang menetapa dalam suatu wilayah tertentu batas-batsannya; memiliki
ikatan lahir bhatin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi,
sosial, dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih besama ; memiliki
kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Desa
desa tersebut dengan nama aslinya yang setingkat adalah suatu kesatuan masyarakat hukum dengan
karakteristis:
1.
Berhak dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya menurut adat kebiasaanya setempat menurut peraturan negara dan
peraturan daerah yang berlaku.
2.
Desa wajib
melaksanakan tugas dan kewenangan yang
diberikan oleh pemerintah daerah.
3.
Untuk melaksanakan
tugas dan kewenangan tersebut kepala desa dapat diberikan sumbangan dan
bantuan.
Selain itu
ada beberapa hal yang perlu di perhatikan tentang unsur-unsur desa. Menurut Bintarto (1983 :
13) unsur-unsur yang harus ada dalam suatu desa adalah:
1.
Daerah, dalam arti
tanah-tanah produktif dan yang tidak produktif beserta
penggunaanya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan
lingkungan geografis setempat.
2.
Penduduk, adalah hal
meliputi jumlah , petambahan kepadatan,
persebaran dan mata pencaharian penduduk
desa setepat;
3.
Tat kehidupan, dalam hal
ini pola tata pergaulan dan
ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk beluk
kehidupa masyarakat desa (rural
society).
Ketiga
unsur intu tidak terpisah melainkan ada keterkaitan satu dengan yang lainnya
seabgai satu kesatuan yang utuh. Unsur daerah, penduduk, dan tata kehidupan.
Merupakan suatu keastuan hidup atau “ living unit” maju mundurnya desa
tergantung pada tiga unsur ini yang
dalam kenyataan di tentukan oleh faktor usaha manusia dan tat geografis. Suatu
daerah dapat berarti bagi penduduk apabila ada usaha manusia untuk memanfaatkan
daerahanya. Tiap-tiap daerah mempunyai
tata geografi dan usaha manusia yang
berbeda-beda sehingga tingkat kemajuan dan kemakmuran berbeda-beda pula.
Unsur lain yang termasuk unsur desa yaitu unsur letak,
letak suatu desa pada umumnya selalu
jauh dari kota atau dari pusat‑pusat keramaian. Peninjauan ke desa‑desa atau
pe~alanan ke desa sama artinya dengan menjauhi kehidupan di kota dan lebih mendekati
daerah‑daerah yang monoton dan sunyi. Desa‑desa yang letaknya pada perbatasan
kota mempunyai kemungkinan berkembang lebih pesat di banding daripada desa‑desa
di pedalaman.
Unsur letak menentukan besar kecilnya
isolasi suatu daerah terhadap daerah‑daerah lainya. Desa yang terletak jauh
dari perbatasan kota merupakan lahan pertanian yang luas. Ini disebabkan karena
penggunaan lahannya lebih banyak dititikberatkan pada tanaman pokok dan
beberapa tanaman perdagangan daripada untuk perumahan.
Penduduk merupakan unsur yang penting
bagi desa. "Potential man
power" terdapat di desa yang masih terikat hidupnya dalam bidang
pertanian. Di beberapa desa terdapat tenaga‑tenaga yang berlebihan di bidang
pertanian, sehingga timbul apa yang disebut dengan istilah pengganguran tak
kentara atau "disguised
unemployment" ' sehingga memerlukan penyaluran. Corak kehidupan di
desa didasarkan pada ikatan kekeluargaan yang erat. Masyarakat merupakan suata
"gemeinschaft" yang
memiliki unsur gotong royong yang kuat. Hal ini dapat dimengerti karena
penduduk desa merupakan "face to
face group" dimana mereka saling mengenal betul seolah‑olah mengenal
dirinya sendiri. Faktor lingkungan geografis memberi pengaruh terhadap kegotong‑royongan
ini misaInya:
1.
Faktor
geografi setempat yang memberikan suatu ajang hidup dan suatu.
bentuk adaptasi kepada pencluduk.
2.
Faktor
iklim yang dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap penduduk
terutama petani‑petaninya.
3.
Faktor
bencana alam seperti letusan gunung merapi, gempa bumi, banjir, dan sebagainya
yang harus dihadapi dan dialami bersama.
Disini persamaan nasib dan pengalaman
mempunyai peran yang akan menimbulkan. hubungan sosial yang akrab. Unsur‑unsur
desa merupakan sesuatu. yang penting, sehingga tidaklah berlebihan jika desa
telah diberi predikat sebagai sendi negara.
2.4.3.3. Pengertian Desa Adat.
Pengertian
Desa Adat mencakup dua hal yaitu : Desa Adatnya sendiri sebagai suatu wadah dan
adat istiadatnya sebagai isi dari wadahnya itu lebih lanjut dapat dijabarkan
bahwa desa adat merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan
sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali yang telah menjadi
tradisi kemasyarakatan secara mantap sebagai warisan dari pada budaya bangsa.
Desa adat tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sosial, budaya dan keagamaan
masyarakat umat Hindu di Bali karena merupakan satu kesatuan.
Menurut
Rindjin (2000 : 34), mengatakan bahwa :
Desa Adat sebagai Desa dresta adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di propinsi Daerah Tingakt I Bali yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara
turun temurun dalam ikatan khayangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri, hal ini menegaskan bahwa desa adat merupakan satu kesatuan
masyarakat hukum adat dalam ikatan khayangan tiga yang bersipat otonom, ini
berarti desa adat merupakan subyek hukum yang boleh mempunyai hak milik dan
berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
Desa adat adalah
merupakan kesatuan masyarakat dimana rasa kesatuan sebagai warga desa adat
terikat oleh wilayah tertentu (karang desa) dengan batas-batas yang jelas dan
terikat pula oleh satu sistem tempat persembahyangan yang disebut kahyangan
tiga yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem .Menurut I Nyoman
Sirtha, Mengatakan : “Terbentuknya desa adat yang dahulu dikenal dengan istilah
desa pekraman yang dicirikan oleh kepemilkan tiga pura utama (Kahyangan Tiga)
yang merupakan salah satu ciri dari keberadaa desa adat”. Ciri-ciri desa adat
itu tampak dari adanya kelompok orang yang menempati suatu tempat yang sama
dalam suatu komunitas dan merupakan
suatu masyarkat hukum adat, serta mempunyai tempat persembahyangan bersama.
Masyarakat hukum itu mempunyai hakhak atas tanah, air, tanam-tanaman,
bangunan-bangunan, dan bendabenda kramat. Kelompok masyarakat yang merupakan
persekutuan hukum mempunyai susunan yang relatif tetap, mempunyai kekuasaan
sendiri serta mempunyai kekayaan berupa benda yang kelihatan maupun tidak
kelihatan oleh mata. Untuk memahami desa adat maka dibawah ini dikemukakan dua
sumber yang memberi pengertian desa adat di Bali.
Menurut
Gede Raka ( 1999:12 ), mengatakan bahwa :
Desa adat merupakan suatu kesatuan wilayah dimana
para warganya secara bersama-sama mengkonsepsikan dan mengaktifkan
upacara-upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan sebagai
warga desa adat terkait oleh karena adanya karang desa (wilayah teritorial
desa), awig-awig desa adat, (sistem aturan desa dengan peraturan
pelaksanaanya), dan pura kahyangan tiga (tiga pura desa sebagai suatu sisitem
tempat persembahyangan bagi warga desa adat).
Desa adat adalah
kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi daerah Tingkat I Bali yang mempunyai
satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus
rumah tangganya sendiri.
Dari
dua pengertian diatas dapat ditarik unsur-unsur pokok dalam desa adat sebagai
kreteria tentang keberadaan desa adat yaitu : Adanya sistem persembahyangan
yang disebut kahyangan tiga yang meliputi Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem (Parahyangan). Desa adat sebagai kesatuan
masyarakat dengan atmosfir keagamaan Hindu dan sekaligus berfungsi sebagai
lembaga yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan interaksi sosial masyarakat desa
adat, maka kahyangan tiga merupakan salah satu unsure mutlak dari pada desa
adat. Kahyangan tiga merupakan kesatuan pura yang terdiri dari tiga komplek
pura yakni Pura Desa adalah pura tempat memuja Dewa Brahma, Pura Puseh adalah
tempat memuja dewa Wisnu, dan Pura Dalem tempat memuja Dewa Siwa. Tiga kesatuan
pura tersebut adalah sebagai unsure pengikat sebuah desa adat dimana rasa
kesatuan sebagai suatu warga desa adat terikat oleh adanya kahyangan tiga
sebagai suatu system tempat persembahyangan bagi para warga desa yang
menyangkut sejumlah kewajiban bagi para warga desa adat.
Pura
Kahyangan Tiga adalah merupakan salah satu ciri adanya desa adat dimana sebuah
desa selain sebagai kesatuan dengan batas-batas yang jelas, desa senantiasa
ditandai oleh batasbatas pemujaan krama desa yang satu dengan yang lain selalu
mengatasi diri mereka pada batas-batas pemujaan pada tiga lingkungan desa
mereka dari mana mereka berasal atau melakukan aktivitas untuk suatu proses
persembahyangan di tiga pura tersebut. Berdasarkan dari uraian tersebut maka
dapat dikatakan bahwa pura kahyangan merupakan ciri utama dan sekaligus sebagai
unsur mutlak (konstitutif) yang
bersifat spiritual religius dari adanya sebuah desa adat di Bali.
Palemahan
Desa (Wilayah Desa). Palemahan adalah
merupakan unsur mutlak dari desa adat. Luas palemahan desa adat di tentukan
oleh perbatasanperbatasannya dan dalam batas-batas itu prajuru adat
melaksanakan otonomnya terhadap krama desa adat termasuk mengurus harta
kekayaanya sendiri. Palemahan adalah merupakan wilayah teritorial desa adat
(karang desa) dan karang desa ini, merupakan salah satu unsur yang mengikat
rasa persatuan dan batas-batas palemahan ditentukan dalam kesepakatan dengan
desa tetangga dan batas-batas yang telah
disepakati dituangkan dalam awig-awig yang bersangkutan.
Pawongan
(Krama Desa Adat). Adalah merupakan
warga desa adat yang tinggal di dalam wilayah desa adat yang diangkat sebaai
warga desa adat berdasarkan ketentuan awig-awig yang mengatur pengangkatan
warga adat. Pawongan merupakan unsur mutlak yang kedua dari keberadaan desa
adat. Yang termasuk pawongan disini adalah krama desa adat (anggota desa adat)
dan prajuru adat (pemerintah desa adat).
Krama
desa adat adalah orang yang bertempat tinggal di palemahan atau wilayah desa
adat dan dapat diartikan sebagai sekumpulan manusia yang dipersatuakan karena
mereka mendiami suatu wilayah tertentu. Ditinjau dari segi hukum adat di Bali
dan ciri khas desa adat maka orang yang bertempat tinggal di palemahan desa
tidak seluruhnya sebagai Krama desa adat atau anggota desa adat. Yang dapat
menjadi Krama desa adat adalah orang yang beragama Hindu yang bertempat tinggal
di palemahan desa adat yang bersangkutan, dalam kaitannya dengan ini yang perlu
diperhatikan adalah bahwa yang dihitung sebagai Krama desa adat bukan orang
secara individu melainkan keluarga atau suami istri.
Prajuru
Adat (Perangkat Desa) Prajuru adat
adalah merupakan alat bagi desa adat dalam menyelenggarakan segala urusan rumah
tangga desa adat, segala kepentingan krama desa adat dan mewujudkan secara
nyata tujuan yang telah ditetapkan oleh sangkep krama desa adat (rapat anggota desa adat), disamping itu
prajuru juga mempunyai tugas untuk melaksanakan berbagai peraturan seperti
awig-awig desa adat beserta aturan pelaksanaanya yang ditetapkan oleh sangkep
krama desa adat. Sangkep ini merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam desa
adat. Prajuru adat dipilih dan diberhentikan oleh sangkep krama desa adat dan
karenanya prajuru desa adat bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan
desa pada krama desa adat melalui sangkep krama desa adat.
Menurut
Sirtha (2002 :43) menyatakan bahwa :
Ditinjau dari kekuasaan yang dimiliki oleh desa adat
dapat dikatakan bersifat asli artinya desa adat sebagai persekutuan hukum dapat
mengatur rumah tangganya sendiri demi untuk kepentingan warganya. Otonomi itu
lahir bersamaan dengan berdirinya desa adat otonomi desa adat tampak pada
kekuasaan untuk membentuk pengurus sendiri sebagai penyelenggara pemerintah
desa, kekuasaan untuk membuat aturan sendiri yang disebut awig-awig, kekuasaan
untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini Sukadana
( 2003 : 21 )menyebutkan unsur-unsur dari desa adat sebagai masyarkat hukum
adat sebagi berikut :
1.
Menunjukan
bentuk suatu kesatuan wilayah. Dengan batas-batas desa sebagai perwujudan
wilayah desa adat.
2.
Mewujudkan
satu kesatuan kekerabatan berupa Krama Desa, dan terhimpun dalam banjar-banjar
sebagai himpunan kekerabatan terkecil, yang tidak terpisahkan dari kegiatan
desa adat.
3.
Merupakan
satu kesatuan pemujaan Kahyangan Tiga .
4.
Sebagai
wujud kesatuan kegiatan dalam kebersamaan berupa ayahan kedesa (Tugas dan
kewajiban sebagai krama desa).
Menurut Sirtha (2002
: 31) menyatakan bahwa memiliki struktur pemerintahan:
1.
Awig-awig
(peraturan) kesepakatan yang mengikat warga (krama desa), pemimpin (pengurus) desa yang disebut prajuru desa .
2.
Milik
Desa (druwe desa) yang berupa sarana
dan prasarana serta harta kekayaan desa.
3.
Memiliki
batas-batas ngatur desa, sebagai wilayah desa adat secara nyata yang berbatasan
dengan wilayah desa adat lainnya.
2.4.3.4. Tugas dan Wewenang Desa Adat.
Tugas
dan wewenang Desa Adat Menurut Surpha (2000 : 21), secara garis besarnya
kewajban desa adat meliputi :
1.
Melaksanakan
ayahan desa (tugas-tugas krama desa) Ayahan desa berupa : kerja bakti
memperbaiki atau membangun pura milik desa adat, menyelenggarakan upacara Dewa
Yajna (ngodalin) di pura milik desa,
menyelenggarakan Bhuta Yajna (mecaru) di desa setiap tilem kesanga,
melaksanakan upacara makiyis, menyelenggarakn pembangunan-pembangunan untuk
kepentingan desa adat, dan melaksanakan tugas-tugas lainnya bagi desa adat.
2.
Wajib tunduk dan
mentaati peraturan-peraturan yang berlaku bagi desa adat yaitu : awig-awig
baik tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang telah berlaku.
Selain itu warga desa adat berkewajiban pula menjaga keamanan dan ketentraman
bersama, menjaga nama baik desanya dan melaksanakan suka-duka (gotong royong)
antara sesamanya.
Menurut
Surpha (2000 : 23), mengemukakan bahwa
:
Didalam mekanisme kehidupan desa adat, maka warga
desa adat, mempunyai hak-hak tertentu sebagai imbangan atas
kewajibankewajibannnya yaitu : berhak untuk memilih kepala desa adat, ikut
serta dalam sangkepan (rapat) desa adat, ikut serta dalam pemerintahan desa
bersama-sama dengan prajuru lainnya berhak dipilih sebagai prajuru dan
lain-lainnya”.
Tri Hita Karana
adalah terdiri dari tiga kata yang meliputi : Tri atinya tiga, Harta berarti
kemakmuran dan karana mengandung arti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana
berarti tiga penyebab kemakmuran.
Menurut
Sugira (2001: 21), mengatakan : “Tri
Hita Karana adalah merupakan tiga unsur keseimbangan yang dapat mendatangkan
kesejahteraan dalam kebahagiaan hidup manusia secara batiniah dan lahiriah
sehingga terwujudlah apa yang menjadi tujuan hidup sesuai dengan ajaran Hindu”.
Pola
pengertian Tri Hita Karana tidak hanya terdapat dalam alam desa adat, tetapi
juga tercermin dalam bentuk-bentuk badan lainnya seperti subak, pasar dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan yang semakin modern terutama dalam era globalisasi ini dimana
masyarakat dunia memberikan perhatian serius terhadap lingkungan, maka konsep
Tri Hita Karana dapat diaktualisasikan sebagai berikut :
1.
Hubungan manusia dengan Tuhan.
2.
Hubungan manusia dengan sesamanya.
3.
Hubungan manusia dengan lingkungan.
Konsepsinya
adalah bahwa manusia hidup sesuai dengan kodratnya senantiasa mengandung unsur
untuk, mencapai kebahagiaan. Di dalam memenuhi tuntutan hidupnya itu manusia
senantiasa tergantung pada manusia lain. Hubungan manusia dengan alam dimana ia
hidup berpijak menimbulkan rasa cinta pada tanah tumpah darahnya. Alam
mengandung potensi hidup dan penghidupan untuk setiap mahluk hidup. Kalau
muncul manusia dengan alam dikembalikan pada sumbernya yang pertama akan sampai
“ Super Natural Power” yakni Hyang Jagat Karana (Tuhan Yang Maha Esa).
Unsur-unsur
tersebut yang masing-masing dapat dirumuskan secara singkat dengan Sang Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa), manusia dan alam merupakan tiga unsur pokok
dalam konsepsi religius interdepednce untuk menciptakan kesejahteraan
hidup lahir batin dalam ajaran agama Hindu yang dijadikan pola dasar falsafah
dalam mengukuhkan Desa Adat yang mengatur keseluruhan kepentingan para anggota
masyarakat adatnya baik dalam keadaan suka maupun duka, sejak lahir sampai
mati. Secara harafiah Tri Hita Karana yang berasal dari bahasa Sansekerta
mengandung tiga makna kemakmuran, yang di sebut Parahyangan, Palemahan,
Pawongan.
1.
Prahyangan
berasal dari kata “Hyang” yang berarti Tuhan. Prahyangan berarti Ketuhanan atau
hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Hyang Widhi. Hyang
Widhi adalah Maha Pencipta (Prima Causa).
Beliau adalah sumber dari segala yang ada. Beliaulah yang mengadakan alam
semesta isinya. Beliau adalah asal dan tujuan akhir ari kehidupan.
2.
Palemahan,
berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berarti Bhuana atau
alam dan dalam artian yang sempit Palemahan berarti wilayah sesuatu pemukiman
tau tempat tinggal.
3.
Pawongan,
berasal dari kata Wong (Bahasa Jawa)
yang berarti orang. Pawongan berarti perihal yang berkaitan dengan orang atau
masyarakat.
Didalam
hal ini penulis perlu melihat perkembangan Desa Adat di Bali yang mengacu pada
Perda No. 3 tahun 2001, sehingga dapat diuraikan istilah sebagai berikut :
“Masyarakat Hukum adalah masyarakat yang membentuk aturan hukumnya sendiri dan
tunduk kepada aturan hukum yang dibuatnya”.
Menurut
Muhammad (2001:23) merumuskan unsur-unsur dari masyarakat hukum sebagai berikut
:
1. Kesatuan
manusia yang teratur.
2. Menetap
disuatu daerah tertentu.
3. Mempunyai
penguasa-penguasa.
4. Mempunyai
kekayaan yang berwujud ataupun tidak berujud,
Dimana
para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat
sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para
anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang
telah tumbuh.
Desa
adat di Bali adalah persekutuan hukum adat dengan ciri-ciri seperti dikemukakan
di atas, namun selain itu dalam desa adat dijumpai pula ciri-ciri yang bersifat
khusus seperti upacara ngaben yang tidak ditemukan dalam jenis persekutuan dari
daerah lainnya.
2.4.5.
Awig-Awig.
Awig-awig
Desa Adat adalah merupakan keseluruhan hukum yang mengatur tata cara kehidupan
bagi warga desa adat beserta sanksi dan aturan pelaksanaanya. Awig-awig berasal
dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig artinya tidak rusak atau
baik. Awig-awig artinya sesuatu yang
menjadi baik. Konsepsi inilah yang dituangkan kedalam aturan-aturan baik secara
tertulis maupun tidak tertulis sehingga menimbulkan suatu pengertian, bahwa
awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama desa di desa
adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera
di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah
adat , krama desa adat, keagamaan serta sanksi.
Awig-wig
desa adat, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk mengatur dan
mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna
mencapa ketertiban dan ketentraman
masyarakat. Selain itu awig-awig juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga
masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan
dan seperjuangan, sedangkan arti penting awig-awig adalah merupakan pengikat
persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam
manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera
di wilayah desa adat.
Awig-awig
yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan kewajiban melainkan
juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda, sanksi phisik,
maupun sanksi psikologi dan yang bersifat sprirtual, sehingga cukup dirasakan
sebagai derita oleh pelanggarnya. Kehidupan masyarakat di Bali tersusun dalam
satu kesatuan desa adat yang mempunyai hukum sendiri yang di sebut awig-awig.
Setiap desa adat mempunyai awig-awig, yang berlandasakan falsafah Tri Hita
Karana (tiga dasar kebahagian).
Dalam
upaya mewujudkan tujuan bersama seperti tersebut di atas masyarakat adat
mempunyai tugas melaksanakan awig-awig dan ikut serta dalam mengambil
kebijaksanaan-kebijaksanaan melalui paruman (rapat) yang bertujuan untuk
menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan krama desanya, dengan tetap
mengusahakan keseimbangan yang harmonis di desanya berlandaskan konsep Tri Hita
Karana, sehingga bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati (awig-awig) akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan atau
disharmonis skala niskal (dunia
ahkirat). Untuk itu perlu adanya pemulihan terhadap ketidak seimbangan itu. Pemulihan
ini juga dilaksanakan secara sekala dan niskala (dunia dan akhirat).
Jadi
awig-awig desa adat adalah kesatuan peraturan desa adat yang tumbuh dari desa
adat yang mengatur tata cara desa adat dalam keseharian yang disertai dengan
sanksi-sanksi dan aturan pelaksanaanya yang juga digunakan sebagaim oleh prajuru
(perangkat) desa dalam mengatur dan melindungi kepentingan warga atau
anggota desa adat dalam seluruh sisi kehidupan warga desa adat yang juga
merupakan hukum adat yang berlaku di wilayah desa adat.
Oleh
karena itu membicarakan awig-awig desa adat maka desa adat tersebut merupakan
teritorial atau wilayah yang di dalamnya sebagai dasar pengikatnya
diperlukannya awig-awig desa adat. Maka desa adat itu merupakan persekutuan
masyarakat yang bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, baik kelihatan
maupun yang tidak kelihatan. Masing-masing anggota merasa dirinya terikat turun
temurun, ada anggota tertentu berkuasa untuk bertindak untuk kesatuan
keseluruhannya, dari adat desa yang bersangkutan serta tidak terlepas dari
konsep Tri Hita Karana. Dalam hal ini, sebelumnya penulis akan uraikan beberapa
hal dan istilah yang ada dalam isi pokok awig-awig desa adat, adalah sebagai
berikut :
Pertama, Tentang
Batas-batas Desa Hendaknya dipastikan batas-batas
berlakunya awigawig dengan tegas dan mudah diketahui atau dengan kata lain
dipastikan wilayah serta ruang lingkup dari desa adat dimana awig-awig tersebut
diberlakukan karena mengikat setiap desa adat akan mempunyai awig-awig
tersendiri yang satu dengan yang lainnya tersebut berbeda.
Kedua, Tentang anggota
desa dan kewajibannya menurut adat tradisional
masing-masing Perlu juga untuk diketahui, bahwa dalam desa adat tersebut
biasanya terdapat anggota yang utama atau disebut juga menampung anggota
sampingan. Jadi karena adanya dua unsur berbeda ini, maka awig-awig yang
diberlakukan haruslah bersifat fleksibel sehingga satu sama lain tidak merasa
saling merugikan.
Ketiga, Tentang Parjuru
atau Perangkat Desa Prajuru atau perangkat desa tersebut
adalah anggota atau krama desa adat yang diberi kepercayan untuk mengatur
pemerintahan yang diangkat oleh krama desa sendiri serta mengatur hubungan
antar krama, lingkungannya dan hubungan keagamaan. Mulai dari persyaratan untuk
menjadi prajuru adat sampai penertiban wewenang yang perlu diperinci secara
pasti otoritas yang merupakan otonomi asli perlu dikembalikan sehingga prinsip
kewenangan menyelesaikan sanksi-sanksi adat dapat dipertanggung jawabkan.
Keempat, Tentang
Paruman.(Rapat Desa) Perihal paruman atau rapat-rapat
didasarkan atas musyawarah mufakat. Dan mengenai ketentuan tempat rapat pada
awig-awig itu sendiri, pakaian serta sarana-sarana yang lainnya.
Kelima, Tentang Kulkul
atau Kentongan. Ketentuan bunyi kulkul perlu
dipastikan sesuai dengan ketentuan menurut penggunaanya kecuali untuk
menyatakan bahaya perlu diseragamkan untuk masing-masing Banjar dalam suatu
Desa Adat.
Keenam, Tentang
Upacara-upacara Agama (Yadnya) Kewajiban utama desa
adalah menjunjung tinggi agama itulah sebabnya seluruh isi awig-awig hendaknya
memperlancar pelaksanaan Upacara Agama.
Ketujuh, Tentang
Ketertiban Status Orang-orang (Anggota krama desa) Mengenai masalah perkawinan, perceraian, dan
sentana ditandai dengan upacara yang disaksikan oleh Prajuru Desa Adat dan
disiarkan ke seluruh wilayah desa kepada masyarakat, pula mengenai ahli waris
hendaknya dihitung dari Pancer Purusa.Maksud dari diambilnya garis keturunan
dari Pancer Purusa sudah kita ketahui bersama bahwa ahli waris yang sah di Bali
dominannya terletak pada laki-laki (patrilineal) dalam pengertian ini, anak
laki-laki sedemikian juga disebut anak sentana, sebutan atau istilah mana
berasal dari sentana yang berarti pelanjut keturunan. Mengenai kata sentana
ini, dikenal pula dalam penyebutan terhadap selain di atas seperti “Sentana
Rajeg” yaitu anak wanita ditingkatkan kedudukannya menjadi anak sentana,
berarti ia dianggap telah beralih status dari status perempuan ke status
laki-laki.
Sedangkan
dalam bentuknya yang lain ada pula penyebutan terhadap perkawinan, dimana
seoarng laki-laki itu berdiam serta masuk kerumpun keluarga mempelai perempuan
disebut “Kawin Nyentana”. Tetapi dalam arti sempit dimaksudkan atau
disebutkan pula istilah yang dapat dipakai untuk menaikkan anak angkat dalam
kedudukannya yang sudah disamakan dengan anak kandung setelah sah dilakukan
pengangkatan itu lewat upacara meperas dan anak ini disebut “Sentana Perasan”. Anak terakhir ini haruslah anak laki-laki
atau setidaknya status anak yang diangkat setidaknya ditingkatkan menjadi
laki-laki, sehingga tujuan pengangkatan anak yaitu untuk melanjutkan keturunan
dapat dipenuhi. Sebab, menurut pengertian diatas, hanya anak sentana (anak
laki-laki, anak wanita yang kedudukannya ditingkatkan menjadi anak lakilaki
sentana rajeg) yang akan meneruskan keturunan keluarga dan menumbuhkan garis
keturunan dari laki-laki (Status laki-laki yang purusa). Garis keturunan inilah
yang dalam Hukum Adat Bali, akan tergambar jelas garis keturunan inilah yang
nantinya mewaris.
Di
dalam kehidupan orang Bali, dikenal bebrapa istilah atau pengertian dan macam
anak. Anak sentana rajeg, seperti diuraikan di atas yaitu bila di dalam suatu
keluarga hanya dapat dilahirkan satu anak dan wanita, maka anak ini diangkat
statusnya menjadi berstatus laki-laki. Hal ini akan terjadi bila anak perempuan
itu kawin keceburin (menarik suaminya masuk ke keluarga ayahnya atau tidak
kawin). Sedangkan anak dalam arti anak kandung sendiri adalah anak laki-laki
dan perempuan yang lahir dari perkawinan yang sah, dimana anak laki-laki adalah
berstatus sama anak sentana rajeg di diatas. Sedangkan anak-anak perempuan
adalah anak-anak yang tidak mewaris. Disamping itu di Bali dikenal juga istilah
anak angkat anak ini sama kedudukannya dengan anak kandung sendiri karena
status ini bisa mewaris dari harta kekayaan orang tuanya yang mengangkatnya
sebagai anak kandung.
Kedelapan, Tentang
Harta Kekayaan Desa. Segenap kekayaan desa
seperti khayangan dengan tanah pelaba pura, karang desa seperti setra (kuburan)
dan bangunan yang perlu mendapat kepastian, baik itu tempat, penggunaan maupun
penyuciaanya, untuk lebih mengingat sejauh mana harta kekayaan itu sendiri,
maksudnya mengenai tanah yang menjadi pokok di dalam kita membicarakan Harta
Kekayaan Desa di atas. Tanah ayahan desa bukanlah menjadi hak milik
perseorangan.
Tiap-tiap
warga desa yang memegang tanah ayahan desa hanya memegang hak pakai secara
turun-temurun, sedang hak milik atau status hak milik dari tanah ayahan desa
masing-masing dipegang oleh desa, karena itu tanah ayahan desa pada prinsipnya
tidak boleh dijual. Dijual dalam arti warga pemegang tanah ayahan itu,
mengalihkan tanah ayahan desa itu kepada orang lain sebagai pengalihan hak
milik namun demikian, penjualan tanah ayahan desa dalam arti yang dijual bukan
hak milik tetapi hak pakainya, terbatas kepada hanya untuk orang-orang warga
desa, dan seterusnya diberi batasan kepada mereka yang belum memegang tanah
ayahan desa dan terbatasnya kepada mereka yang sudah turun ngayah.
Tentang
Hakim Perdamaian Desa. Prajuru
terutama Kelian Desa dianggap sebagai hakim perdamaian desa, dapat mengurus
perkara-perkara warga desa yang berkenaan dengan adat, dan berhak memberi
keputusankeputusan besar kecilnya ketentuan denda yang diserahkan kepada
musyawarah desa dengan tidak mengabaikan unsur-unsur pertimbangan perikemanusiaan
yang lebih utama adalah dimaksudkan untuk memegang teguh kesucian dan
kekompakkan desa.
BAB III
METODE
PRAKTIKUM
3.1.
Tipe Penelitian.
Dalam penyusunan laporan praktium ini,
kelompok III menggunakan metode
deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Dimana metode ini merupakan cara didalam mengungkapkan dan menelaah
permasalahan dengan mengambarkan dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang
terjadi berdasarkan fakta yang ada, sehingga menghasilkan data yang bersifat
deskriptif yaitu berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.
Penelitian
kualitatif menurut Moleong (2008:6), bahwa: “Penelitian Kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain”.
Adapun Ciri-ciri atau karakteristik dari penelitian
kualitatif menurut Arikunto (1997:13) adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai Sifat
Induktif.
Yaitu
pengembangan konsep yang didasarkan atas data yang ada, mengikuti desain
penelitian yang flexibel sesuai dengan konteksnya maksudnya desainnya bersifat tidak kaku sehingga
memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dilapangan.
2.
Melihat setting dan
respons secara keseluruhan dalam hal ini peneliti berinteraksi dengan
responden.
3.
Memahami Responden.
Dari tolak ukur pandangan responden sendiri yang dialami oleh peneliti tentang jati diri,
interaksi tindakan dan interaksi sosial responden.
4.
Menekankan
validitas penelitian-penelitian ditekankan pada kemampuan sendiri, peneliti
dihadapkan langsung pada responden sehingga peneliti dapat menangkap dengan
cermat apa yang diucapkan dan dilakukan oleh responden.
5.
Menekankan
pada Setting Alami.
Penelitian
kualitatif sangat menekankan pada
perolehan data asli, untuk itu peneliti harus menjaga keaslian kondisi jangan
sampai mengubahnya.
6.
Mengutamakan Proses
Daripada Hasil.
Dianjurkan pada peneliti untuk dapat melakukan pengamatan
atau ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan responden agar hasil
pengamatannya maksimal.
7.
Menggunakan
Non-Probabilitas Sampling.
Karena peneliti tidak bermaksud menarik seara umum atas
hasil yang diperoleh tetapi menelusurinya secara mendalam.
8.
Peneliti
Sebagai Instrumen.
Maksudnya
peneliti harus memiliki daya respon yang tinggi dan mampu menyesuaikan diri
mengikuti kondisi lapangan.
9.
Menganjurkan
penggunaan triangulasi.
Yaitu memilih
informasi yang diperoleh dari sumber sehingga data yang absah saja yang
digunakan untuk mencapai hasil
penelitian.
10.
Menguntungkan diri
pada teknik dasar studi lapangan.
Kebenaran dapat diperoleh hanya dari lapangan yaitu
dengan meneropong dan menganalisis lingkungan dengan cermat.
11. Mengadakan
analisis sejak awal.
Pada penelitian
ini diharapkan dari sejak awal pengumpulan data sudah langsung menganalisis
data untuk memecahkan masalah yang di hadapi.
3.2. Instrumen
Penelitian.
Instrumen
penelitian menurut Sugiyono (2007:222), bahwa: ”dalam penelitian kualitatif,
yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri”. Dalam
penelitin ini peneliti menggunakan instrumen manusia sebagai instrumen, dalam
hal ini kelompok III sebagai peneliti sendiri.
Oleh karena didalam
penelitan ini, instrumen yang digunakan adalah peneliti sendiri, maka
diperlukan alat bantu atau perangkat penelitian untuk mengumpulkan data,
meliputi: Komputer, kamera digital, tape recorder, flash dish, kendaraan
bermotor untuk sarana transportasi dan alat tulis. Disamping itu agar data yang
peneliti kumpulkan akurat dan berkualitas, maka peneliti harus memenuhi
kriteria: mencakup ciri-ciri umum, kualitas yang diharapkan, dan kemungkian
peninngkatan manusia sebagai instrumen.
3.3. Unit Analisis dan Key Informan.
Menurut Arikunto, (1992: 11). Unit
analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian
Yang menjadi unit analisis dalam praktikum ini adalah semua pihak yang terkait dengan
nilai-nilai kearifan lokal di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
Menurut Nasution ( 2003 : 29 )
mengemukakan bahwa “dalam Penelitian kualitatif tidak yang dinamakan Populasi”.
Dalam penelitian deskriptif dengan paradigma kualitatif pengambilan sampel
dilakukan dengan Purposive Sampling (sampel bertujuan), karena
penelitian kualitatif ini menjaring dan membutuhkan serta sebanyak-banyaknya
informasi dari berbagai pihak atau berbagai sumber.
Moleong
(2008:132) mendefinislkan informan
sebagai :
Orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian
meliputi nilai-nilai, sikap, bangunan, proses, dan kebudayaan. Informan yang dipilih harus memiliki
pikiran yang sehat, jujur, patuh pada peraturan, suka berbicara, tidak
terrnasuk salah satu dari kelompok yang bertetangan dalam latar penelitian, dan
mempunyai pandangan tertentu tentang suatu hal atau peristiwa yang terjadi (mengetahui peristiwa yang telah terjadi).
Yang
menjadi key informannya dalam praktikum ini
adalah:
1. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudyaan Kabupaten Badung
2.
Sekretaris
Kecamatan Kuta
3.
Bandesa
Adat Kuta.
3.4.
Sumber Data.
Menurt Sutopo (2002:49) ” sumber data
dalam penelitian kualitatif dapat berupa narasumber (informasi), peristiwa atau
aktivitas, tempat atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman-rekaman”. Untuk itu, pada penelitian ini terfokus pada manusia
sebagai nara sumber (informan)
sehingga data yang digunakan akan lebih lengkap, mendalam, dan dapat dipercaya
kebenarannya.
3.5. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
Pengumpulan data yang dilakukan dalam praktikum ini adalah:
1. Studi pustaka, yaitu peneliti mengumpulakan data dengan
mempelajari literatur-literatur maupun teori-teori yang relevan dengan masalah
praktikum.
2. Studi lapangan, yaitu peneliti mengumpukan data dengan
melihat secara langsung terhadap objek yang diteliti meliputi :
a.
Observasi,
yaitu teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan terhadap objek yang
dilihat secara nyata di lokasi praktikum.
b.
Wawancara,
yaitu pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan lansung kepada pihak yang
berkompeten dengan menggunakan pedoman wawancara tidak terstruktur. Adapun
pihak yang diwawancara adalah:
1) Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung;
2) Sekretaris Kecamatan Kuta Kabupaten Badung; dan;
3) Bandesa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
3.6. Teknik
Analisis Data.
Analisis data adalah proses
penyederhanaan data agar lebih mudah dibaca diinterpretasikan, dengan jalan
mengumpulkan dan menata, mengatur data, mengorganisasikan kedalam suatu
katagori dan satuan uraian dasar.
Analisis Data Kualitatif Menurut Bogdan
dan Biklen ( dalam Moleong, 2008:248 ) Mengemukakan bahwa :“Analisis data
kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”.
Menurut Moleong (2008:288) ada
empat jenis komponen secara umum dalam proses analisis data kualitatif yaitu: “reduksi data, kategorisasi data,
sintesisasi, dan diakhiri dengan menyusun hipotesis kerja”.
Adapun penjelasan dari keempat
jenis komponen proses analisis data tersebut adalah sebagi berikut:
1. Reduksi
Data
a.
Identifikasi satuan
(unit). Pada mulanya diidentifikasikan adanya satuan yaitu bagian terkecil yang
ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan
masalah penelitian.
b.
Langkah berikutnya
adalah membuat koding. Membuat koding berarti memberikan kode pada setiap
satuan, agar supaya tetap dapat ditelusuri data atau satuannya, berasal dari
sumber mana.
2. Kategorisasi
a. Menyusun
kategori. Kategorisasi adalahh upaya memilah-milih setiap satuan ke dalam
bagian-bagian yang memiliki kesamaan.
b. Setiap
kategori diberi nama yang disebut lebel.
3. Sintesisasi
a. Mensintesiskan
berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya.
b. Kaitan
satu kategori dengan kategori lainnya diberi nama atau lebel lagi.
4. Menyusun
Hipotesis kerja
Hal
ini dilakukan dengan jalan merumuskan suatu pernyataan yang proposional.
Hipotesis kerja ini sudah merupakan teori
substantif (yaitu teori yang berasal
dan masih terkait dengan data). Hipotesis kerja hakekatnya terkait dan
sekaligus menjawab pertanyaan penelitian.
3.7.
Rencana
Pengujian Keabsahan Data.
Keabsahan data merupakan suatu usaha
meningkatkan derajat kepercayaan data. Berkaitan dengan pengujian validitas
instrumen, Arikunto (dalam Riduwan, 2004:109) menjelaskan "Validitas
adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keandalan atau kesahihan suatu
alat ukur". Keabsahan data
merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (realibilitas) menurut versi
'positivisme' dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan, kriteria dan
paradigmanya sendiri. Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan
teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat
kriteria serta sepuluh teknik yang digunakan dalam memeriksa keabsahan data
menurut Moleong (2008:324) yaitu :“Kriteria Keabsahan Data terdiri dari
:Derajat kepercayaan (creadibility), Keteralihan (transferahitity), Kebergantungan
(dependability), Kepastian
(confirmability)”.
Adapun penjelasan
dari keempat kritearia keabsahan data di
atas adalah sebagai berikut :
a)
Derajat Kepercayaan
(credibility)
Penerapan kriterium derajat kepcrcayaan (kredibilitas) pada dasarnya
menggantikan konsep validitas intenal dari nonkualitatif. Kriterium ini
berfuirgsi untuk mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan
dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti
sehingga tingkat kepercayaan penemuannya
dapat dicapai.
b)
Keteralihan (transferabitity)
Kriterium keteralihan berbeda dengan validitas eksternal nonkualitatif.
Konsep validitas itu menyatakan bahwa generalisasi suatu penemuan dapat berlaku
atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas dasar penemuan
yang diperoleh pada sampel yang secara representative mewakili populasi itu.
Dalam keteralihan, seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian
empiris tentang kesamaan konteks. Dengan demikian peneliti bertanggung jawab
untuk menyediakan data deskriptif secukupnya sehingga dapat membuat suatu
keputusan tentang pengalihan tersebut.untuk keperluan itu, peneliti harus
melakukan penelitian kecil untuk memastikan usahamemverifikasi tersebut.
c)
Kebergantungan (dependahility)
Kriterium kebergantungan merupakan subsitusi istilah Realibilitas
Ditunjukkan dengan jalan mengadakanr replikasi studi. Jika dua atau beberapa
kali diadakan pengulangan suatu studi dalam suatu kondisi yang sama dan
hasilnya secara esensial sama, maka dikatakan reliabilitasnya tercapai.
d)
Kepastian (confirmability)
Kriterium kepastian berasal dari konsep objektivitas yang menetapkan
objektivitas dari segi kesepakaian antar subjek. Di sini pemastian bahwa
sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang
terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Jika disepakati oleh
beberapa atau banyak orang, maka dapat dikatakan objektif. Menurut Scriven
(dalam Moleong, .2005:326), seiain itu masih ada unsur 'kualitas' yang melekat
pada konsep objektivitas. Hal itu digali, dari pengertian bahwa jika sesuatu
itu objektif, berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan.
Pengertian inilah yang dijadikan tumpuan pengalihan pengertian
objektivitas-subjektivitas menjadi kepastian (confirm-ability).
3.8. Lokasi dan Waktu Praktikum.
3.8.1.
Lokasi
Praktikum.
Praktikum dan kegiatan dalam bentuk
Studi Lapangan dan Kunjungan Lembaga (SLKL) oleh jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP UNJANI tahun 2006 ini dilaksanakan
di Kabupaten Badung Provinsi Bali
selam tiga hari.
3.8.2. Waktu Praktikum.
Praktikum ini diselenggarakan di
Kabupaten Badung Provinsi Bali selama enam
hari. Adapun jadwal kegiatan praktikum adalah, sebagai berikut:
Tabel
3.1 : Jadwal Praktikum
No
|
Tanggal
|
Acara
|
Penaggung jawab
|
1
|
05 februari 2011
|
Pembekalan praktikum
|
Tim jurusan
|
2
|
19 februari 2011
|
Pemberangkatan ke Bali
|
Panitia
|
3
|
21 februari 2011
|
Penerimaan oleh Pemerinthan Kabupaten Badung sekaligus
kunjungan ke dinas-dinas
|
Panitia
|
4
|
22 februari 2011
|
Kunjungan ke kecamatan dan lembaga perkreditan desa
adat LPD
|
Panitia
|
5.
|
23 februari 2011
|
Rekreasi
|
Panitia
|
6
|
24 februari 2011
|
Menuju kampus Unjani
|
Panitia
|
Sumber : Jadwal praktikum ilmu pemerintahan 2011.
BAB
IV
HASIL PRAKTIKUM DAN
PEMBAHASAN
4.1.
Hasil Praktikum.
4.1.1.
Gambaran
Umum Kabupaten Badung.
Kabupaten Badung merupakan salah satu dari sembilan Kabupaten
atau kota Madya yang terdapat di Propinsi Bali dan terletak ditengah-tengah
Pulau Bali membujur dari utara sampai ujung selatan. Pada bagian utara
berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten
Tabanan, sedangkan bagian timur dengan Kabupaten Bangli, Gianyar serta kodya
Denpasar.
Kabupaten Badung memiliki luas wilayah 418,52 kilometer
persegi yang meliputi 6 kecamatan yaitu : Petang, Abiansemal, Mengwi,
Kuta Utara, Kuta selatan dan Kuta dengan 16 kelurahan, 45 desa, 357 banjar
dinas, 147 Lingkungan, 119 desa adapt dan 523 Sekeha teruna. Jumlah
penduduk menurut registrasi penduduk tahun 2001 sebanyak 327.370 orang dengan
kepadatan 782 jiwa setiap kilometer.
Sebagian besar penduduknya menganut agama Hindu dengan
kegiatan dan upacaranya yang unik dan menarik yang terus berlangsung sepanjang
waktu. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Bali dan bahasa
Indonesia serta sedikit bahasa Inggris. Mata pencaharian penduduk
sebagian besar dalam sektor pertanian, perdagangan dan jasa. Pendapatan
daerah kabupaten Badung sebagian besar dari pariwisata. Kabupaten Badung
merupakan daerah tropis dengan dua musim yaitu musim kemarau april – oktober
dan musim hujan Oktober – April. Curah hujan pertahun antara 893 mm
sampai 2.702 mm dengan kelembaban 79%.
Arah kebijaksanaan pembangunan
di Kabupaten Badung dibagi menjadi tiga
wilayah pembangunan yaitu :
Tabel 4.1 : Arah Kebijakan di
Kabupaten Badung.
No
|
Daerah
|
Wilayah pembangunan
|
1
|
Badung Utara
|
Meliputi
Kecamatan Petang dan Abiansemal dengan dominasi aktifitas perkebunan
yang diarahkan pada komoditi ekspor dan penunjang pariwisata, potensi alam untuk
obyek pariwisata, konservasi air dan tanah, industri kecil dan kerajinan
rumah tangga. Potensi kepariwisataan badung utara diarahkan pada
pariwisata agro dan petualangan dengan tidak mengganggu funggsi kawasan
penyangga dan pelindung.
|
2
|
Badung tengah
|
Meliputi
kecamatan Mengwi dengan dominasi aktifitas pertanian tanaman,
pariwisata, pengembangan fisik kota dan lainnya. Pengembangan
potensi kepariwisataan diarahkan pada pariwisata budaya.
|
3
|
Badung selatan
|
Meliputi
Kuta, Kuta Utara dan Kuta selatan dengan aktifitas
pariwisata, perdagangan, pusat pendidikan dan lainnya.
Pengembangan pariwisata diarahkan sebagai kawasan pariwisata dengan
berbagai fasilitas pariwisata
|
Sumber : http://www.badungkab.go.id
4.1.1.1.
Visi dan Misi Kabupaten Badung.
1. Visi kabaupaten Badung :
Melangkah
bersama membangun Badung berdasarkan "Tri Hita Karana" menuju masyarakat adil sejahtera
dan ajeg.
2.
Misi Kabupaten
Badung :
a.
Bidang Parahyangan; Peningkatan srada dan bhakti
masyarakat terhadapa ajaran agama, serta peningkatan eksistensi adat budaya
dalam rangka mengajegkan Bali di era kekinian.
b.
Bidang Pawongan; Meningkatkan
kualitas dan daya saing sumber daya manusia di Badung, menata sistem
kependudukan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, meningkatkan perekonomian
yang berbasis kerakyatan dan ditunjang oleh iklim kemitraan, mewujudkan
kepastian hukum serta menciptakan ketentraman & ketertiban masyarakat,
mewujudkan kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance &
Clean Government)
c.
Bidang Pelemahan; memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah,
mewujudkan pembangunan yang selaras & seimbang sesuai fungsi wilayahnya,
melestarikan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
4.1.1.2.Letak Geografi.
Kabupaten Badung merupakan salah satu Kabupaten yang
terletak di Propinsi Bali. Ibu kotanya berada di Mengwi. Pada
awalnya ibukota Kabupaten Badung berada di Denpasar,
namun pada tahun 1999
terjadi kerusuhan besar di mana Kantor Bupati Badung di Denpasar dibakar sampai
rata dengan tanah. Secara fisik Kabupaten ini mempunyai bentuk wilayah yang
unik, yaitu menyerupai sebilah keris. Kabupaten Badung terletak pada garis
lintang 08014′17″ LS – 08050′57″ LS dan pada bujur 115005′02″
BT – 115015′ 09″ BT serta membentang di tengah-tengah Pulau Bali.
Secara geografis letak Kabupaten Badung sangat strategis. Kabupaten ini
dibatasi oleh Samudera Hindia dari tiga arah mata angin, yaitu timur, selatan
dan barat sehingga tidak mengherankan apabila Badung memiliki garis pantai yang
cukup panjang. Pada garis pantai ini terdapat daerah wisata yang dikagumi
wisatawan seperti Kuta, Sanur dan Nusa Dua.
Kabupaten Badung merupakan daerah berikilim tropis yang
memiliki dua musim yaitu musim kemarau (April – Oktober) dan musim penghujan
(Nopember – Maret). Rata-rata curah hujan 893,4 mm per-tahun sampai 2.702,6 mm
per-tahun. Sedangkan suhu rata-rata 250 – 300 C dengan
kelembaban udara rata-rata mencapai 79%. Kabupaten Badung ini mempunyai luas
wilayah 420,09 Km2 atau sekitar 7,43% luas wilayah Pulau Bali. Jenis
tanah di daerah ini beraneka ragam, namun didominasi oleh jenis tanah latosol.
Batas-batas wilayahnya yang dijelaskan dalam
tabel dibawah ini :
Tabel
4.2 : Batas-batas wilayah Kabupaten
Badung.
No
|
Bagian
|
Kabupaten
|
1.
|
Bagian utara
|
Samudera Hindia
|
2.
|
Bagian timur
|
Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar, Kota Denpasar dan
Samudera Hindia
|
3.
|
Bagian selatan
|
Samudera Hindia
|
4.
|
Bagian barat.
|
Kabupaten Tabanan dan Samudera Hindia
|
Sumber
: http://www.badungkab.go.id
4.1.1.3.
Keadaan Demografi.
Jumlah penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2009 berjumlah 425.277 jiwa yang terdiri dari penduduk kuta selatan 79.037 jiwa, kuta 47.092 jiwa, kuta utara. 68 429 jiwa, mengwi
111.354 jiwa, abiansemal 89.924 jiwa, dan petang 29.441 jiwa. Dengan laju pertumbuhan 1017,04 jiwa per km2.
Sebagaimana di jelaskan adal tabel 4.3 ( tabel kependudukan) dibawah ini:
Tabel 4.3 : Tabel
Kependudukan.
No
|
Nama kecamatan
|
Jumlah penduduk
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Kuta
Selatan
Kuta
Kuta Utara
Mengwi
Abiansemal
Petang
|
79.037 jiwa
47.092 jiwa
68 429 jiwa
111.354 jiwa
89.924 jiwa
29.441 jiwa
|
Jumlah
|
425.277 jiwa
|
|
Laju pertumbuhan
|
1017,04 jiwa per km2
|
Sumber : http://www.badungkab.go.id
Sebagian besar
penduduknya menganut agama Hindu, dengan kegiatan upacara keagamaan dan adanya
yang unit dan menarik terus berlangsung sepanjang waktu. Bahasa pengantar yang
umum digunakan masyarakat yaitu Bahasa Bali dan bahasa Indonesia serta sedikit
Bahasa Inggris dengan mata pencaharian utama dari sektor pertanian, perdagangan
dan jasa. Pendapatan Daerah sebagian besar bersumber dari sektor pariwisata.
sebagaiman di sadari bahwa Kabupaten Badung merupkan salah satu kabupaten di
Bali yang memiliki industri wisata budaya yang telah terbawa di manca negara.
4.1.1.4. Pemerintahan.
Pembentukan
Kabupaten Badung tidak terlepas dari terbentuknya Propinsi Bali pada tanggal 18
Agustus 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, yang menetapkan
bahwa Daerah Nusa Tenggara dibagi menjadi tiga yakni Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat dan Propinsi Bali. Pada tahun 1958 secara yuridis formal Badung
telah menjadi Daerah Otonom yang terbentuk berdasarkan UU Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah
Tingkat II dalam wilayah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur. Dengan
dibentuknya Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1982. Sejak Februari 1992 sebagian wilayah Kabupaten Badung
menjadi Wilayah Kota Madya Denpasar sehingga wilayah Kabupaten Badung menjadi
seluas 418,52 Km2.
Kabupaten Badung
ditunjuk sebagai salah satu dari 26 Daerah Tingkat II di 27 Propinsi sebagai
percontohan Otonomi Daerah Tingkat II. Kabupaten Badung mengambil
langkah-langkah dalam menyongsong pelaksanaan titik berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II. Berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Tahun 1991, Kabupaten
Badung memperoleh skor 112 yang masuk dalam kategori tingkat IV atau tingkat
tinggi. Sehingga dinilai sangat mampu untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah
secara nyata dan bertanggung jawab. Secara administratif
Kabupaten Badung terbagi menjadi 6 (enam) wilayah Kecamatan yang terbentang
dari bagian utara ke selatan yaitu:
1.
Kecamatan Petang.
2.
Kecamatan Abiansemal.
3.
Kecamatan Mengwi.
4.
Kecamatan Kuta.
5.
Kecamatan Kuta Utara.
6.
Kecamatan Kuta Selatan.
Disamping itu, pada wilayah ini juga terdapat 16
Kelurahan, 46 Desa, 361 Banjar Dinas, 161 Lingkungan dan 8 Lingkungan
Persiapan. Selain itu di Kabupaten Badung juga terdapat Lembaga Adat yang
terdiri dari 126 Desa Adat, 523 Banjar dan 523 Sekaa Teruna. Lembaga-lembaga
adat ini memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan di wilayah
Badung pada khususnya dan Bali pada umumnya. Selain itu lembaga adat ini
merupakan sarana yang sangat ampuh dalam menjaring partisipasi masyarakat.
Sebagimana dapat dilihat pada tabel 4.4.(
tabel data lembaga adat) dibawah ini:
Tabel 4.4 : Data Lembaga Adat.
Lembaga
|
K E C A M
A T A N
|
||||||
Kuta
Selatan |
Kuta
|
Kuta Utara
|
Mengwi
|
Abian
Semal |
Petang
|
Jumlah
|
|
PHDI
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
6
|
Desa Adat
|
9
|
6
|
8
|
38
|
32
|
27
|
120
|
Banjar
Adat
|
40
|
34
|
23
|
211
|
122
|
48
|
478
|
Sekaa Teruna
|
40
|
34
|
23
|
211
|
122
|
48
|
478
|
Subak
|
-
|
3
|
19
|
46
|
33
|
15
|
116
|
Jumlah
|
90
|
78
|
74
|
507
|
310
|
139
|
1.198
|
Sumber : http://www.badungkab.go.id
Sesuai
dengan Surat Keputusan Bupati Badung No. 341 Tahun 2002 tanggal 6 Maret 2002,
tentang Penetapan Banjar Dinas/Lingkungan persiapan menjadi Banjar
Dinas/Lingkungan di Kabupaten Badung, maka lingkungan yang dulunya persiapan
(seperti yang tercantum dalam SK Bupati Badung No. 27 Tahun 2000) sekarang
sudah definitif.
4.1.2. Keadaan Sosial dan Budaya.
1.
Ideologi.
Penduduk Kabupaten
Badung yang di dominasi oleh mayoritas agama Hindu, Islam, Kristen, Katolik,
dan Budha dan tidak mempengaruhi nilai-nilai keyakinan pada Ideologi Nasional
Pancasila, yang salah satunya menyangkut masalah keyakinan pada sang pencipta,
yaitu pada sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Namun Didalam keyakinan
masyarakat Bali pada umumnya, khususnya masyarakat Kabupaten Badung masih
meyakini kepercayaan Animisme dan Dinamisme, salah satunya kepercayaan terhadap
benda-benda yang di anggap mistik dan adanya semacam prosesi sesaji untuk
meminta keselamatan, dan fenomena ini tidak mengenal batas agama atau di yakini
oleh seluruh anggota masyarakat. Dan hal ini yang menjadi salah satu sebutan
Bali sebagai daerah mistik bagi para pendatang, dimana kesalahan sepatah kata
pun bisa menjadi suatu akibat yang dapat mengganggu keselamatan dunia dan
akhirat.
2.
Politik.
Perubahan perilaku politik tata pemerintahan yang cukup
fundamental dari perilaku yang sebelumnya serba terpusat, kepada perilaku yang
lebih demokratis lewat kebijakan Otonomi Daerah. Pada masa sebelumnya segala
sesuatu ditentukan oleh pusat (top down), dan keberadaan Pemerintahan di daerah
merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Namun sejak di
berlakukannya otonomi daerah yang sejatinya bertujuan untuk lebih mendekatkan
fungsi pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, dan sebagian dari upaya
pemerintah untuk lebih mampercepat proses demokratisasi atau kedaulatan rakyat.
Demikian halnya dengan
Perjalanan politik di Kabupaten Badung yang mengikuti mengikuti perkembangan
politik Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut Demokrasi Pancasila,
hal ini adanya proses politik yang melibatkan warga masyarakat. Salah satunya adalah di dalam pembuatan sebuah
kebijakan oleh pemerintah melalui proses partisipasi masyarakat, dalam hal ini
meletakan kepentingan masyarakat di atas segala-galanya sesuai dengan aturan
Perundang-Undangan.
Dengan adanya
desentralisasi yang bertujuan memberdayakan potensi dalam bidang politik, ekonomi,
administrasi, dan sosial kepada daerah, yang memberikan keleluasaan kepada
masyarakat untuk mengembangkan diri dengan berbagai cara tanpa keluar dari
peraturan perundang-undangan. Salah satunya didalam pelaksanaan desentralisasi
politik yaitu di berikannya kewenangan kepada daerah untuk memberdayakan proses
demokrasi melalui proses pemilihan Kepala daerah dan Kepala Desa secara
langsung.
3.
Ekonomi.
Nampaknya sampai saat ini Kabupaten Badung masih
dikenal sebagai salah satu Kabupaten terkaya diantara sembilan Kabupaten atau Kota yang ada di Propinsi Bali.
Penilaian ini tentu tidak terlalu berlebihan karena pada kenyataannya
pendapatan asli daerah (PAD) sebagai
salah satu indikator penilaian masih paling besar diantara kabupaten lainnya. Keadaan perekonomiaan
Kabupaten Badung yang tergambar dalam
PDRB berdasarkan harga yang berlaku 2005
mencapai 7.044 juta mengalami peningkatan pada tahun 2008 mencapai 10.593 juta ( angka sementara).
Kontribusi sektor-sektor terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Badung 2008 meliputi sektor primer; pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan sebaesar Rp. 1.
031.931,90,-, pertambangan dan penggalian
R.p 6. 713,40,-, sektor sekunder;
industri pengelolaan Rp. 252 438,51,-, listrik, gas dan air bersih Rp.
172.608,16,-, bangunan Rp. 683.665,04,-, sektor
sertier; perdagangan hotel dan restauran Rp. 4.328.525,11,-, pengangkutam
dan komunikasi Rp. 2.798.525,11,-, keuangan, persewahan,dan jasa perusahaan Rp
252. 807,93,-, dan dari jasa-jasa
sebesar Rp. 1.066.605,03,-,.
Melihat dari data yang diuraikan diatas sumber perekonomian masyarakat Kabupaten Badung
berasal dari bidang pertanian,
peternakan,kehutanan, perikanan pertambangan dan penggalianinsdustri,
pengelolaan bangunan, perdagangan hotel dan restauran, pengangkutam dan
komunikasi, keuangan, persewahan,dan jasa perusahaan, jasa-jasa. Yang menjadi sumber perekonomian paling besar
adalah sektor sertier.
4.
Keamanan.
Keamanan di Kabupaten Badung cukup stabil,
dimana tidak adanaya konflik horizontal ataupun vertikal. Keamanan yang menjadi
tanggung jawab kepolisian dapat terbantu dengan adanya polisi adat (pecalang), yang mana keberadaan polisi
adat menjadi pihak keamanan di dalam kehidupan masyarakat. sebagaimana dalam
menangani pemasalahan yang mengganggu keamanan dalam masyarakat polisi adat
menangani masalah adat dan diluar menjadi wewenang polisi. Apabila di dalam
permasalahan kehidupan masyarakat yang tidak bisa teratasi oleh hukum adat di
selesaikan dengan hukum nasional.
5.
Agama.
Penduduk Kabupaten
Badung tediri atas berbagai keyakianan/agama, yang mana
mayoritas penduduk beragama Hindu, di ikuti dengan agama Islam, Kristen,
Katolik, Budha. Yang dapat dilihat pada tabel 4.5. (tabel data umat beragama
menurut daerah kecamatan di kabupaten
badung) di bawah ini:
Tabel 4.5 : Data Umat Beragama Menurut di Kabupaten Badung.
Kecamatan
|
Agama
|
|||||
Hindu
|
Islam
|
Budha
|
Kristen
|
Katolik
|
Jumlah
|
|
Kuta
Selatan
Kuta
Kuta Utara
Mengwi
Abiansemal
Petan
|
57.682
21.596
51.966
99.315
78.011
27.898
|
7.992
14.636
808
3.806
788
345
|
200
421
225
135
20
64
|
884
1.038
2.771
1.371
107
-
|
641
851
2.673
1.204
25
7
|
67.399
38.542
58.443
105.831
78.951
28.314
|
|
336,468 28.375 1.065 6.171 5.401 377.480
|
Sumber: Kandep Agama Kab. Badung – Jan 2009
6.
Kondisi Budaya.
Kondisi
penduduk penduduk Kabupaten Badung
adalah bermata pencaharian sebagai
pegawai swasta dan Hindu sebagai agama yang paling banyak dianut oleh sebagian
besar penduduk, berpengaruh terhadap kondisi budaya di wilayah Kabupaten Badung.
Masuknya penduduk asing dan perubahan mata pencaharian
Kabupaten Badung pada umumnya dan Kecamatan Kuta Selatan pada khususnya membawa
pengaruh terhadap nilai- nilai budaya di kalangan masyarakat.
Pada
kurun waktu satu hingga lima tahun kedepan, nilai- nilai budaya tradisional
dilatar-belakangi oleh masyarakat pekerja ( karyawan ) dan nilai- nilai budaya
Hindu serta nilai- nilai budaya yang baik lainnya diharapkan dapat
dipertahankan dengan tetap bersikap terbuka terhadap nilai- nilai budaya yang
terbawa bersama dengan derasnya arus informasi dan industrialisasi.
Guna
membekali para siswa agar mampu
melakukan filtrasi terhadap nilai- nilai budaya baru yang tidak baik,
maka sekolah dapat membekali siswa
dengan nilai- nilai budaya lokal yang berakar pada budaya yang berkembang di
masyarakat melalui berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler baik di bidang seni
tradisional, bidang keagamaan maupun bidang olahraga.
Keadaan sosial budaya Kabupaten Badung sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila, hal ini terlihat pada kehidupan antar
umat beragama yang sangat harmonis, adanya kerja sama didalam kegiatan berbagai
pembangunan sarana dan prasarana. Hal yan menjadi kekhasan dari Kabupaten Badung yaitu kehidupan
masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi nilai adat-istiadat adalah adanya
Undang-Undang Adat (awig-awig) yang
mengatur tata kehidupan bermasyarakat.
Tingkah laku masyarakat yang menjunjung tinggi adat juga dapat terlihat pada
bangunan-bangunan rumah, tempat ibadah, serta infrastruktur lainnya menggunakan
arsitek yang sama berupa ukiran-ukiaran berbentuk pura.
4.1.3.
Perkembangan Desa
Adat di Kabupaten Badung.
Setelah kemerdekaan keberadaan desa adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tetap diakui terutama dalam pasal
18 UUD 1945, bahwa desa adat tercakup dalam pengertian “volksgemeenschappen”
(persekutuan rakyat), dan dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa, oleh
karenanya mempunyai susunan asli. Selanjutnya ditekankan bahwa NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Namun demikian otonomi desa adat lambat laun
dikurangi. Hal itu terlihat dari dikeluarkannya UU darurat No. 1 Tahun 1951.
Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan masalah
adat dan agama di Kabupaten Badung ditangani oleh dua lembaga pengadilan yaitu
pengadilan Desa (Dorp Justitie, Village Justice) dan Pengadilan Swapraja
(Zelfbestuursrechtspraak) yang kemudian menjadi pengadilan negri. Dengan
demikian otonomi desa adat sebagai entitas hukum adat menjadi dibatasi. Bahkan
lebih jauh lagi, berdasarkan keputusan Mahkamah Agung No 8 Januari 1958,
dinyatakan bahwa hakim pengadilan negri tidak terikat oleh keputusan hakim
perdamaian desa, mereka hanya diharuskan memperhatikan keputusan tersebut.
Kerangka paradigmatik pengaturan politik oleh Negara
Kolonial Belandan dilanjutkan oleh UU No. 5 Tahun 1979 yang dapat dilihat dari
dua tataran.
1)
Pertama, penerusan politik dualisme desa dimana pengaturan
politik yang dibangun Negara memungkinkan tetap terjadinya dualisme pengertian
desa di Bali yakni desa dinas (Keprebekelan) dan desa adat (Desa
Pakraman). Desa dinas dijadikan desa pemerangkat pemerintahan yang terendah
dan langsung dibawah camat. Sedangkan desa pakraman tetap mendapat pengakuan
melalui pasal 18 UUD 1945. Implikasi lebih jauh dari dipertahankannya dualisme
desa di Bali adalah semakin berkurangnya otonomi desa adat dari dari pengaturan
dalam tiga ranah (Parahyangan, Palemahan dan Pawongan) menjadi
hanya mengatur Parahyangan. Dua ranah yang lain diambil alih oleh desa dinas,
karena desa dinas mengatur soal kesejahteraan dan pembangunan.
2)
Kedua, walaupun
desa adat diakui keberadaannya oleh UU No. 5 Tahun 1979 ,
namun pada dasarnya Negara sangat membatasi otonomi desa adat. Hal itu terlihat
dari: (a) Negara meletakkan pengakuan itu dalam kerangka paradigma politik
developmentalisme dan integralistik ; (b) Sebagai
turunan paradigma developmentalisme dan integralistik tersebut, dikeluarkan
Permen Mendagri No. 11 Tahun 1984 tentang pembinaan dan pengembangan
adat-istiadat di tingkat desa/kelurahan. Dalam Permen Mendagri ini
terjadi kekaburan batasan antara adat istiadat, kebiasaan dan lembaga adat.
Sehingga, adat istiadat diberi pengertian kebiasaan-kebiasaan yang hidup serta
dipertahankan di dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat sesuai dengan
Pancasila.
Disamping itu dalam Permendagri lebih digunakan
istilah pembinaan dan pengembangan yang memungkinkan adanya intervensi Negara
pada otonomi desa adat. Permen Mendagri itu kemudian dilanjutkan dengan
instruksi Mendagri No. 17/1989 tentang pembinaan dan pengembangan lembaga
adat di wilayah desa/kelurahan. Instruksi ini berisikan instruksi kepada
Gubernur dan Bupati seluruh Indonesia untuk menetapkan Permen mendagri No. 11
tahun 1984.
Menindaklanjuti instruksi itu, di Propinsi Bali
dikeluarkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun
1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat dalam Propinsi Dati I Bali (Perda Desa Adat). Dalam
peraturan daerah itu disampaikan bahwa
desa adat merupakan kesatuan hukum adat. Namun dalam pasal 10 ayat 1
disampaikan bahwa desa adat disamping sebagai kesatuan masyarakat hukum, juga
sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang tidak langsung di bawah
camat. Berdasarkan peraturan daerah
Desa Adat, pembinaan desa adat dilakukan oleh gubernur, yang dibantu
oleh Majelis Pembinaan Lembaga Adat dan Badan Pembinaan Lembaga Adat. Berdasarkan
peraturan daerah No. 12 Tahun 1988 tentang
pembentukan organisasi dan tata kerja Dinas Kebudayaan, maka Dinas Kebudayaan
juga melaksanakan tugas pembinaan terhadap desa adat dan adat-istiadat di
daerah Bali. Salah satu bentuk pembinaan adalah lomba desa adat.
Permendagri No. 11 Tahun 1984 diganti dengan Permen
Mendagri No. 3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian serta
pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di
daerah. Dalam peraturan itu ditegaskan bahwa dalam usaha melaksanakan
pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat, kebiasaan masyarakat
dan lembaga adat, Pemerintah Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dan
atau langkah-langkah yang berdaya guna dan berhasil guna dengan berpedoman
kepada Permen Mendagri ini setelah dimusyawarahkan dengan pemimpin atau pemuka
adat di daerah. Dalam Permen ini juga dibedakan secara tegas istilah adat,
kebiasaan, lembaga adat dan hukum adat.
Dengan demikian kerangka regulasi negara, baik pada
tingkat nasional maupun lokal dalam bentuk Kepmen mendagri dan peraturan
daerah Desa Adat ternyata berakibat jauh
pada terbukanya “ruang” bagi
intervensi negara dalam wilayah-wilayah adat. Intervnsi itu menimbulkan akibat
lemahnya posisi tawar desa adat dengan entitas-entitas ekonomi dan politik di
luar desa adat.
Perubahan lingkungan politik yang sangat mendasar
setelah kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, menimbulkan pergeseran
paradigmatik di tingkat negara dalam melihat desa adat. Pergeseran itu terlihat
dari:
1)
Pertama, dikeluarkannya Perda tentang Desa Pakraman tahun
2001 sebagai pengganti peraturan daerah
yang terdahulu yang mengatur tentang Desa Adat. Peraturan
daerah tersebut terkesan lebih
aspiratif, memperkuat dan meghargai eksistensi desa adat di Bali.
2)
Kedua, adanya sejumlah konsesi ekonomi yang diberikan
pemerintah propinsi dan kabupaten kepada desa adat. Pemerintah propinsi
memberikan sepeda motor pada Bandesa Adat. Pemerintah
Daerah Kabupaten Badung mengalokasikan 100 juta pada setiap desa adat di
Badung.
3)
Ketiga, desa adat
diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan
pemerintahan sehari-hari di tingkat desa. Misalnya, ijin investasi harus
mendapatkan persetujuan desa adat, setiap pendatang harus mendapatkan
rekomendasi dari desa dinas dan desa adat.
4.1.4.
Gambaran Umum Desa Adat Kuta.
Meski berkembang pesat sebagi kota citra rasa dunia kuta tetap
teguh menjaga adat, budaya, agama, dan tradisinya. Kuta mesih mamiliki lembaga adat yang kuat, Desa Adat Kuta.
Lembaga inilah yang menjadi penjaga benteng adat Bali di Kuta.
Desa adat Kuta mewilayai 13 (tiga belas) banjar
adat dengan jumlah kepala keluarga sebayak 1.714 dan jumlah krama sebanyak 7.688 jiwa. Selain Krama
desa, desa adat kuta juga memiliki krama
tamu (penduduk pendatang) dengan jumlah yang cukup besar. Berdasarkan data
di pemerintahan Kelurahan Kuta, jumlah penduduk yang memiliki KTP Kuta tercatat
lebih 13.000 jiwa.ini berarti jumlah krama
desa dengan krama tamu cukup
berimbang. Bahkan, jika di hitung juga penduduk musiman atau penduduk yang
tinggal sementara di Kuta, komposisi penduduk di Kuta menjadi lebih besar lagi.
Jumlah penduduk yang besar menyebabkan dinamika
Desa Adat Kuta sangat tinggi. Persoalan yang muncul silih berganti. Tidak hanya dalam hitungan hari,
bahkan juga dalam hitungan jam. Karena itu Desa Adat Kutatidak semata-mata
mengurusi masalah-masalah adat dan
budaya tetapi juga harus berperan dalam menangani maslah-masalahdi luar adat
dan budaya itu berpengaruh berpengaruh besar pada kehidupan sosial, adat dan
budaya masyarakat Kuta.
Desa adat kuta mesti memikul tanggung jawab yang
besar untuk menjaga keajengan adat, budaya, dan agama. Sejak dulu Desa Adat
Kuta memiliki amongan (tanggung
jawab) sejumlah pura yakni pura khyangan
tiga (pura desa, pura puseh,serta pure dalem) serta pura-pura lainnya
seperti pura penyarikan, Pura Segara, Pura Pesanggaran dan Pura Cedok Waru.
Untuk melihat jumlah krama desa adat di
desa adat kuta dapat melihat pada tabel
4.6 (tabel jumlah krama Desa Adat
Kuta) di bahwah ini:
Tabel 4.6 : Jumlah Krama Desa Adat Kuta
No
|
Banjar
|
Jumlah kepala keluarga
|
Jumlah krama/warga
|
1
|
Pandea
mas
|
151
|
712
|
2
|
Pangebetan
|
175
|
678
|
3
|
Pering
|
69
|
317
|
4
|
Pelasa
|
176
|
808
|
5
|
Pemamoran
|
124
|
569
|
6
|
Temacun
|
95
|
416
|
7
|
Tegal
|
121
|
538
|
8
|
Buni
|
136
|
707
|
9
|
Teba
sari
|
65
|
416
|
10
|
Jaba
jero
|
127
|
605
|
11
|
Anyar
|
145
|
677
|
12
|
Segara
|
252
|
1.025
|
13
|
Mertajati
|
78
|
308
|
Jumlah
|
1.714
|
7.688
|
Sumber: lembaga desa adat kuta
4.1.5.
Tugas
dan Wewenang Desa Adat Kuta
Sejak
dikeluarkan Peraturan Daerah No 3 tahun 2001, sebutan Desa Adat diganti menjadi desa pakraman. Dalam peraturan daerah provinsi nomor 3 tahun 2001 Tentang Desa Pakraman pada Bab
III pasal 5 yang menjdi tugas desa pakraman sebagi berikut:
1.
Membuat awig-awig.
2.
Mengatur krama
desa.
3.
Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa,
4.
Bersama-sama pemrintah melaksanakn pembangunan di segala
bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan masyarakat.
5.
Membina, mengembangkan nilai-nilai budaya bali dalam
rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan, kebudayaan nasional pada
umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan “paras-paros saguluk, salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat).
6.
Mengayomi krama desa.
Dalam
peraturan daerah provinsi nomor 3 tahun
2001 Tentang Desa Pakraman pada Bab III pasal 5 yang menjadi wewenang desa pakreman sebgai berikut:
1.
Menyelesaikan
sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap
membina kerukunan dan toleransi antara karma
desa sesuai dengan awig-awig dan adat
kebiasaan setempat.
2.
Turut serta
menentukan setiap keputusan dalam pelaksanakan pembangunan yang ada di
wilayahnya terutam yang berkaitan Tri Hita Karana.
3.
Melakukan perubahan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
4.1.6.
Struktur
Organisasi Desa Adat Kuta.
Struktur organisai dan tata kerja Desa Adat kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung adalah sebagai berikut:
Bandesa adat kuta: AA KETUT
SUDIRA
Penasehat:
1.
I MADE WENDRA
2.
JRO MANGKU MD SUWEDJA
3.
DEWA PT NGURA
4.
I NENGAH CIPTA
5.
JRO MANGKU MD. SUDANA YASA
Panglima:
1.
Pahryangan: I MADE DARSA
2.
Palemahan: I MADE NERTA
3.
Pawongan: I GUSTI RAKA BAWA
Penyarik I: I MADE GUNAWAN
Penyarikan
II:
I WAYAN MUSTIKA
Penyarikan
III:
I NYOMAN DANA ARIYANA
Pasayahan:
1.
Pahryangan:
a.
I Md Kantra
b.
I Kmg Alit Ardana
c.
I Wyn Wirta
d.
S Bgs Nym Oka
e.
I Gst Ketut Suardana
f.
I Wayan Budi
2.
Palemahan:
a.
I Wyn Wena
b.
I Wayan Artana
c.
A.A Salit Rai Karnata
d.
I Neneng Sudira
e.
I Nengah Sudira
f.
I Nym Kendi
g.
I Wyn Mujana
3.
Pawongan
a.
I Wyn Lendra
b.
I Kt Sandira
c.
I Kt Sugita
d.
I Nym Gd Ariyana
e.
Wayan Tresa Yasa
f.
Wayan Ismoyo
g.
I Md Suantra
4.2. Pembahasan.
Dalam sub bab ini tim peneliti akan mencoba membahas hasil penelitian
mengenai tentang “ Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung”. Untuk mempermudah
pembahasan, maka peneliti membagi sitematika hasil penelitian dan pembahsan
sebagai berikut :
a. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
b. Hambatan-hambatan dalam pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung.
c. Upaya-upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung.
4.2.1. Nilai-Nilai
Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola
lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya
tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada.
Kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung Kabupaten Badung. pada umumnya dan kabupaten Badung pada
khususnya pada hakikatnya dilandasi oleh
nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat adat (krama) mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh
faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan
( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan nilai kearifan desa
adat bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh
kebudayaan luar.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi
dan interaksi antara kearifal budaya lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten
Badung Kabupaten Badung. dan
kearifan lokal budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan
Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema
dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh
budaya India.
Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa
memberi nuansa batu pada produk seni di Desa
Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Proses akulturasi tersebut
menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam
kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri.
Kearifan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung khususnya sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai
keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan
lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan).
Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga
aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan
harmonisasi, dalam nilai-nilai kearifan
lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga dikenal adanya konsep Tri Semaya yakni persepsi orang Bali
terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian
waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada
saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini
juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran Hukum Karma Phala disebutkan tentang sebab-akibat
dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik.
Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak
baik bagi yang bersangkutan.
Nilai-nilai kearifan masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi
secara konfiguratif yang mencakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai
religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai
keseimbangan. Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan
berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Ketahanan budaya Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung juga ditentukan oleh sistem sosial yang terwujud dalam
berbagai bentuk lembaga tradisionalseperti banjar, desaadat, subak (organisasipengairan), sekaa(perkumpulan), dan dadia (klen). Keterikatan masyarakat Desa
Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap lembaga-lembaga tradisional
tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara
struktural bagi ketahanan budaya Kabupaten Badung. Masyarakat
Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. sangat terikat oleh
beberapa lembaga sosial seperti tersebut di atas. Lembaga tradisional seperti
desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya.
Adapun pembahasan tentang indikator dari
masing-masing dimensi dari Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dapat dilihat dari uraian sebagai berikut:
4.2.1.1
Mampu
Bertahan
terhadap Budaya
Luar.
4.2.1.1.1.
Pelaksanaan awig-awig
Masih tetap Berjalan di Desa Adat.
Pelaksanaan awig-awig masih tetap berjalan di desa adat, oleh karenanya hal ini mampu memelihara
nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masih tetap bertahan dalam arus industri wisaya
yang membawa beragam kebudayaan. Pelaksanaan awig-awig dalam tata kehidupan desa adat merupakan pondasi bagi eksistensi Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung khususnya.
Awig-awig adalah peraturan-peraturan
hidup bersama bagi krama desa di desa adatnya, untuk mewujudkan
kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu
memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat , krama desa adat,
keagamaan serta sanksi.
Awig-awig
Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sangatlah diperlukan karena awig-awig desa adat
merupakan benteng pertahanan paling kuat di Badung dalam menghadapi lajunya
budaya luar. Pelaksanaan awig-awig
desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masih tetap berjalan di desa
adat, hal ini di buktikan eksistensinya dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman.
Nilai-nilai kearifan lokal yang
terkandung dalam awig-awig adalah suatu tatanan nilai yang mengatur kehidupan
bersama dalam hubungan warga masyarakat,
maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan
disepakati bersama oleh seluruh warganya. Sehingga awig-awig masih tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat adat meski dalam arus industri
wisata di Kabupaten Badung.
4.2.1.1.2.
Tata
kehidupan krama adat Masih Mengikuti Landasan Tri Hita Karana.
Tata
kehidupan Krama Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang mengikuti
landasan Tri Hit Karana
merupakan suatu pemahaman yang terpola
dari setiap individu atau kelompok untuk selalu mengikuti nilai-nilai kearifan
lokal yang sudah lama tumbuh. Tri Hita
Karana adalah tiga unsur keseimbangan yang dapat mendatangkan kesejahteraan
dalam kebahagiaan hidup manusia secara batiniah dan lahiriah sehingga
terwujudlah apa yang menjadi tujuan hidup sesuai dengan ajaran Hindu. Konsep
Tri Hita Karana dapat diaktualisasikan sebagai berikut :
1)
Hubungan manusia dengan Tuhan.
2)
Hubungan manusia dengan sesamanya.
3)
Hubungan manusia dengan lingkungan.
Melihat dari definisi diatas sangatlah
jelas sehingga ketika budaya luar masuk kedalam masyarakat adat, nilai-nilai
kearifan lokal tidak akan mudah pudar dan tenggelam. Sebagaimana kami sadari bahwa tata kehidupan yang
berkiblat pada landasan agama tidak akan
runtuh oleh budaya manapun. Salah satu
nilai-nilai kearifan lokal yang sampai hari ini tetap terpelihara di contokan
dengan pemberian sesajen oleh warga desa adat sebagi rasa syukur disetiap pagi.
4.2.1.2.Memiliki Kemampuan Mengakoordinasi Unsur‑Unsur Budaya Luar.
4.2.1.2.1. Sikap Toleransi yang Tinggi Masyarakat Desa Adat terhadap Tata Kehidupan Baru di Kenal.
Nilai-
nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung khususnya
adalah sikap toleransi yang tinggi dari
masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap unsusr-unsur budaya luar, hal ini merupakan suatu perwujudan dalam
mengkoordinasikan unsur-unsur budaya luar, sehingga tercipta satu integritas
(tujuan bersama) dalam kehidupan
masyarakat yang aman dan tentram.
Dalam kebudayaan Desa Adat kabupaten badung terdapat nilai-nilai yang mengakui adanya
perbedaan atau pluralitas. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam konsep Rwa
Bhineda (dua hal yang berbeda atau oposisi biner). Perbedaan
kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung sangat diakui karena adanya faktor desa (tempat), kala(waktu)
dan patra (keadaan atau kondisi).
Konsep desa, kala, dan patra ini sering dijadikan pembenar
oleh masyarakat Desa Adat Kabupaten Badung mengenai adanya perbedaan
adat-istiadat atau kebudayaan antara daerah yang satu dengan daerah lain di Kabupaten Badung.
Lebih lanjut, dalam kebudayaan Kabupaten Badung juga terdapat nilai-nilai toleransi dan persamaan
yang didasarkan atas konsep Tat twam asi (dia adalah kamu).
Dengan konsep Tat Twam Asi masyarakat adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung toleran
kepada orang lain karena mereka beranggapan bahwa orang lain juga sama dengan
dirinya.
Fenomena ini mencerminkan tingginya toleransi dalam
masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Hal ini diperkuat lagi dengan
adanya konsep Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir, berkata, dan
berbuat yang baik dan benar. Yang dapat digambarkan dengan dengan sikap masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang tidak terlalu mempermasalahkan budaya
yang ke barat-baratan masuk dalam lingkungan Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
misalnya dari segi berpakaian.
4.2.1.2.2.
Adanya
Sistem
Kekerabatan
Yang
Kuat
di dalam
Desa
Adat
Kabuapten Badung.
Sistem kekerabatan dalam Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
yang kuat dapat dilihat dari lanadasan
tata kehidupan masyrakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
pada Tri Hita karana dengan salah satu konsepsi hubungan manusia
dengan manusia, bahwa Di
dalam memenuhi tuntutan hidupnya manusia senantiasa tergantung pada manusia
lain. Dari falsafah ini sangatlah jelas ada suatu nilai-nilai
kearifan lokal yang mengsinergikan
manusia dalan satu ikatan kekerabatan.
Desa merupakan suatu wadah sosial masyarakat adat
dalam mensinergikan beberapa tujuan menjadi satu kesatuan dalam
suatu masyarakat adat. Keyakinan krama
desa ( masyarakat adat ) terhadap pemimpinya (bandesa adat) merupakan suatu
bentuk sistem kepercayaan yang besar terhadap pemimpin oleh karenanya desa adat
merupakan sebagai suatu wadah dalam pembentukan sistem kekerabat dalam masyarakat
adat.
Demi memlihara kekerabatannya masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menganut aspek keseimbangan dan harmonisasi
dengan Tuhan, sesama manusia, dan hubungannya dengan lingkungan fisik. Masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mengenal
konsep Tri Hita Karana . Tri Hita Karana secara
harfiah
artinya adalah tiga faktor yang menyebabkan
kesejahteraan yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang dengan Tuhan ( parhyangan ),
hubungan yang harmonis dan seimbang dengan sesama manusia ( pawongan ),
dan hubungan yang harmonis dan seimbang dengan lingkungan alam sekitar ( palemahan ).
Hubungan sesama manusia dalam masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dikenal
pula dengan konsep nyama braya . Nyama adalah
kerabat dekat, dan braya adalah kerabat jauh. Sebagaimana
diketahui bahwa di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terdapat kantong-kantong hunian
masyarakat Islam. Kelompok masyarakat Muslim tersebut
memiliki sejarah yang erat dengan raja-raja atau para penguasa Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung di masa
lalu, sehingga mereka sering disebut dengan istilah “ nyama selam ”
atau saudara
Islam atau muslim .
Selain masyarakat Islam, di Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga banyak
bermukim orang-orang Cina bahkan mereka telah menyatu dengan masyarakat dan
kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Hubungan kebudayaan Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
dengan Cina
dapat dikatakan telah berlangsung lama. Berbagai komponen budaya Cina telah
menyatu atau diadopsi dalam kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung antara lain:
pemanfaatan uang kepeng (uang Cina) sebagai alat transaksi dan kebutuhan
upacara di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, dan
beberapa jenis kesenian.
4.2.1.3.
Mempunyai
Kemampuan Mengintegrasikan unsur Budaya Luar ke dalam Budaya Asli.
4.2.1.3.1
Mensinergikan
Design
Modern-Tradisional.
Masyarakat dan kebudayaan Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
tidak luput
dari perubahan di era gloalisasi. Desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung kini tengah mengalami suatu paradok
yakni cenderung mengadopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan),
namun di sisi lain
juga sedang mengalami proses parokialisme atau kepicikan yang
timbul karena fokus beralih pada lokalitas, khususnya kepada desa adat.
Dalam
memelihara katahanan nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
menciptakan design baru dalam pengembangan budaya yaitu
dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan perkembangan budaya luar yang lebih mengikuti perkembangan
zaman. Design ini dapat dicontohkan
dengan penggunaan alat-alat elektronik dan tekhnologi dalam suatu pertunjukan budaya. Namun Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
mengadopsi
budaya modern tampaknya masih tetap berpegang kepada ikatan-ikatan
tradisi dan sistem nilai yang dimilikinya.
4.2.1.3.2.
Akulturasi
Budaya.
Dalam proses akulturasi budaya Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masih
memlihara nilai-nilai kearifan lokal
yang di dasarkan pada Konsep desa, kala, dan patra,
hal ini menyebabkan kebudayaan Desa Adat
Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung bersifat fleksibel dan selektif
dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar.
Dalam sejarah tercatat bahawa
nilai-nilai kearifan lokal di Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung pernah mengalami suatu komunikasi dan interaksi
antara kebudayaan asli Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan budaya luar seperti India (hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang
kesenian. Interaksi ini telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa
maupun seni pertunjukan. Proses akulturasi tersebut
menunjukkan bahwa kebudayaan desa adat bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu
bertahan dan tidak kehilangan jati diri.
Adapun hal lain yang menjadi contoh dari hasil akulturasi antara Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan dengan Cina adalah kesatuan
masyarakat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam satu
sistem kekerabatan. Integritas ini disebabkan oleh adanya kesamaan nilai-nilai
budaya yang terkandung dalam agama Hindu dan Budha. Toleransi yang terdapat
dalam ajaran agama Hindu (Tat Twan Asi, Tri Hita Karana, menyama braya )
dan nilai-nilai yang seperti ini dapat dilihat dengan adanya
masyarakat Cina di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung juga melakukan integritas struktural.
Kenyataan masyarakat Cina di Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menunjukkan bahwa mereka ikut
menjadi makrama desa adat . Komunitas Cina di desa tersebut
menjadi anggota desa adat dengan segala hak dan kewajibannya seperti rekan-rekannya
dari komunitas Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung. Masyarakat Cina memasuki pranata-pranata sosial yang
ada di desa adat. Sebagai anggota karma desa masyarakat Cina
di desa adat ikut gotong royong ( ngayah ) di pura kahyangan
tiga (tiga pura utama di setiap Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yaitu Pura Puseh, Desa dan Dalem )
di desa tersebut, sehingga mereka juga mendapat hak yaitu tanah ulayat desa
untuk tempat pemukiman mereka, bahkan mereka semuanya memeluk agama Hindu.
4.2.1.4.
Mempunyai Kemampuan Mengendalikan.
4.2.1.4.1.
Masih Bertahannya Awig-awig Dalam Masyarakat Adat.
Nilai-nilai kearifan lokal di Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mampu mengendalikan masyarakat desa adat dengan
masih mempertahankan awig-awig dalam tata kehidupan masyarakat. Awig-awig
adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman atau krama pakraman yang
dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana.
Dalam memelihara hubungan harmonisasi dalam tata kehidupan masyarakat desa adat.
Awig-awig merupakan satu-satunya panduan ataupun pedoman bagi masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam memlihara hubungannya dengan tuhan Yang
Maha Esa, hubunganya dengan sesama, dan hubunganya dengan lingkunganya.
Sehingga masyarakat desa adat dalam
menjaga keajengan agama Hindu-nya selalu
berpedoman dan mempertahankan awig-awig.
4.2.1.4.2.
Adanya
Kepercayaan terhadap Bandesa Sebagi Tangan Tuhan.
Anggapan
masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap bandesa sebagai tangan tuhan sangatlah besar, kenyataan ini merupakan
bentuk nilai-nilai kearifan lokal masyarakat terhadap kepercayaan
terhadap pemimpinya. Dengan
besarnya nilai kepercayaan terhadap bandesa
sebagai tangan tuhan, hal ini mampu mengendalikan masyarakat terhadap
penyimpangan dan tindakan yang bertentangan dengan Ti hita Karana yang menjadi
konsep keseimbangan agama Hindu.
4.2.1.4.3.
Adanya
Nilai
Keseimbangan
dalam Nilai-nilai
Kearifan
Lokal
Desa Adat.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam
kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten
Badung juga dikenal adanya konsep Tri
Semaya yakni persepsi masyarakat adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap waktu. Menurut masyarakat Desa
Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masa lalu (athita ),
masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana )
merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya.
Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil
perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di
masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan
tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan
hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga
buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan. Dari falsapah ini mengambarkan terdapat nili-nilai kearifan
lokal desa dalam mengendalikan tingkah laku masyrakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam tata kehidupannya tentang
berhati-hati dalam melakukan sesuatu.
4.2.1.5.
Mampu
memberi arah pada perkembangan
budaya.
4.2.1.5.1.
Awig-awig
Masih
dijadikan sebagai Pedoman Kehidupan Sehari-hari.
Dalam memlihara kehidupan masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, awig-awig masih dijadikan sebagai
pedoman bagi masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Disadari bahwa awig-awig
yang berdasrkan Tri Hita Karana mampu menuntun masyarakat dalam kesimbangan
yang dapat mendatangkan kesejahteraan dalam kebahagiaan hidup manusia secara
batiniah dan lahirian sehingga terwujudlah apa yang menjadi tujuan hidup sesuai
dengan ajaran Agama Hindu.
Awig awig yang
berdasarkan pada ajaran agama telah di yakini oleh masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
sebagai panduan bagi masyarakat adat untuk mencapai
kesejahteraan dan tujuan hidup sebagai
manusia, sehingga meskipun dengan perubanh dan perkembangan jaman
awig-awig masih tetap menjadi acuan dan pandangan hidup bagi masyarakat adat.
4.2.2.
Hambatan-hambatan
dalam pelestarian nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat Desa Adat Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
4.2.2.1.
Hambatan dari dalam Desa Adat:
Adapun
hambatan yang muncul dari dalam desa adat
antara lain:
Dalam
pelaksanaan pelestarian nilai-nilai kearifan lokal sangat
diperlukan pemerinathan desa adat yang tangguh baik penggerak intasi
maupun kelembangaan dalam melaksanakan pelestarian
nilai-nilai kearifan lokal tersebut yang mana pemerintahan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten
Badung memegang peranan
penting dalam keberhasilan pelestarian
nilai-nilai kearifan lokal oleh
karena itu pemerintahan desa adat perlu mendapat perhatian khusus.
Pemerintahan desa merupakan pelaksana dalam pelestarian nilai-nilai kearifan lokal agar dapat berjalan dengan baik sesuai dengan
yang diharapkan atau direncanakan, dengan adanya pemerintahan
desa yang baik baik dari segi kelembangaan ataupun pemerintah desa adat untuk pelestarian
nilai-nilai kearifan lokal. Namun yang menjadi
hambatan dalam pelestarian nilai-nilai
kearifan lokal di Kabupaten Badung sebagi berikut:
1. Lemahnya kapasitas lembaga
desa adat:
Dimensi teknokrasi dari kelembagaan Desa
Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masih lemah.
Hal ini terlihat dari kompetensi Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam menjalankan mekanisme
kelembagaan, sehingga struktur kelembagaan tidak bisa berjalan secara
fungsional. Struktur yang ada juga jadi bersifat formal.
2.
Governance desa adat
Salah satu
yang menjadi persoalan dalam Desa
Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung
adalah
transparansi dan akuntabilitas lembaga Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam
penyelenggaraan pemerintahannya. Akuntabilitas menjadi agenda penting karena
beberapa tempat muncul protes terhadap prajuru karena dianggap tidak
transparan (mengwi) dalam mengelola dana dalam hal ini mampu mengurai nilai kepercayaan krama terhadap desa adat.
3.
Sosil budaya
Keadaan
sosial dan kebudayaan di daerah akan sangat mempengaruhi didalam
keberhasilan suatu
pelestarian nilai-nilai budaya, hal ini karena
dengan keadaan sosial dimasyarakat
yang sangat kental dengan pola prilaku yang dimiliki oleh masyarakat
tersebut semakin baik keadaan sosial di daerah itu makan akan semaking mudah
pula di dalam pelaksanaan pelestarian nilai-nilai
budaya dan sebaliknya
semakin buruk keadaan sosial di daerah itu maka akan semakin susah juga didalam
pelaksanaan suatu usaha pelestraian nilai-nilai kearifan lokal.
Melihat
dari keadaan masyarakat Desa
Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang multi-kultur dan multi-dimensi hal ini akan menjadi
penghambat pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa
Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Dengan keadaan sosial yang
multi dimensional diperlukan sikap toleransi yang tinggi bagi masyarakat yang
bukan masyarakat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten
Badung untuk
menerima perbedaan adat dan istiadat atau nilai-nilai kerifan lokal Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang berdasarkan ajaran agama Hindu yaitu Tri Hita Karana ataupun
sebaliknya.
4.2.2.2.Hambatan dari luar.
Adapun
hambatan dari luar, antara lain :
1. Arus globalisasi.
Era gloBalisasi yang dicirikan oleh perpindahan orang,
pengaruh teknologi, pengaruh media informasi,
aliran uang dari negara kaya ke negara miskin, dan pengaruh ideology
seperti HAM dan demokrasi tidak dapat
dihindari terhadap kebudayaan Desa Adat Kabupaten
Badung dan etnik lain di indonesia. Sentuhan budaya global ini menyebabkan
terjadinya ketidak-seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan
dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul
dimana-mana, kepatuhan hukum semakin menurun, kesantunan sosial mulai
diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersial, serta uang
dijadikan sebagai tolak ukur dalam kehidupan.
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara
nilai-nilai budaya lokal dan global menjadi semakin tinggi intensitasnya.
Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh
masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya
global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat
proses perubahan tersebut. Proses globalisasi juga telah merambah wilayah
kehidupan agama yang seraba sakaral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan
ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah
mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan
krisis identitas di banyak kalangan masyarakat.
2.
Arus
Imigrasi Penduduk.
Menjadi salah satu daerah yang maju di
bidang pariwisata des adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tersorot menjadi tempat bagi para pendatang
untuk mengubah nasif dan belajar berbudaya.
Kabupaten Badung merupakan salah satu dari beberapa kabupaten yang di
Bali yang sukses dengan industri pariwiasata budayanya. Kedatangan para
pendatang di tengah-tengah masyarakat Desa
Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang kental dengan kebudayaan bukan
menjadi masalah bagi pendatang namun hal ini menjadi masalah desa adat bagi pelestarian nilai-nilai kearifan
lokal karena setiap penduduk pendatang membawa nilai-nilai kearifan lokal dari asalnya yang mampu merubah sistem
kebudayaan masyarakat desa adat.
Masuknya penduduk pendatang ke Desa Adat
Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan membawa budaya baru bagi
masyarakat desa adat Kuta Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung dari cara berinteraksi,
berpakaian ataupun sistem kekrabatnnya. Mempu menghambat pelestararian
nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini telah terpelihara dalam Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
4.2.3.
Upaya-upaya
Pelestarian
Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung.
Beberapa
upaya dalam pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, antara lain:
1.
Perlindungan terhadap nilai-nilai keraifan lokal Desa Adat.
Nilai-nilai
kearifan lokal memegegang peran yang sangat penting dalam tata kehidupan masayarakat.
Saat ini masalah tentang lupa akan jati diri merupakan suatu permasalahan yang
fenomenal sehingga menjadi pusat perhatian bagi bagi tatanan Pemerintah Pusat maupaun
Pemerintah Daerah untuk mengembalikan kembali eksistesi nilai-nilai kearifan
lokal yang hidup dalam masyarakat lokal.
Menyadari
pentingnya nilai-nilai kearifan lokal pemerintah Kabupaten Badung mengukuhkan
eksitensi desa adat dalam peraturan daerah No 3 tahun 2001 tentang desa
pakreman. Desa pakraman merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang
dijiwai oleh ajaran hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali sangat
besar peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu diayomi
dilestarikan dan diberdayakan.
2. Pembinaan
terhadap Desa pakraman.
Pembinaan
kepada desa adat pakreman atau desa adat sejalan dengan visi dan misi pemerintahan daerah Kabupaten
Badung yaitu ”Melangkah Bersama Membangun Badung Berdasarkan Tri
Hita Karana Menuju Masyarakat Yang adil Dan Sejahtera”. Visi ini dijabarkan
dalam pembangunan Kabupaten Badung yang kemudian menjadi payung bagi Dinas
Kebudayaan Kabupaten Badung dalam menyusun kegiatan dalam memberdayakan dan
melestarikan lembaga-lembaga tradisional di Bali.
Adapun
beberapa tugas pokok Dinas Kebudayaan dalam melakukan pembinaan, pemberdayaan,
dan pengembangan desa adat diantara
adalah sebagai berikut:
1.
Pelestarian;
upaya yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara desa pakreman atau desa adat
serta nilai-nilai etika, moral dan adab yang merupakan inti adat istiadat, agar
keberadaanya tetap terjaga dan berkelanjutan.
2.
Pemberdayaan
; serangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan desa pakreman atau desa
adat beserta adat istiadatnya semangkin kokoh sehingga dapat berperan
aktif dalam pelaksanaan pembangunan
nasional dan berguna bagi masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan tingkat
kemajuan dan perkembangan zaman.
3.
Pengembangan;
upaya yang terencana terpadu dan terarah agar desa pakreman atau desa adat dan
adat istiadatnya dapat tumbuh dan berubah. Sehingga mampu meningkatkan
perananya dalam pembangunan sesuai dengan perubahan sosial budaya dan ekonomi
yang sedang berlaku.
Tujuan
diadakan pembinaan kepada desa pakreman atau desa adat antara lain untuk
mewujudkan kelestarian budaya, sehingga desa pakreman mampu melakukan
upaya-upaya;
1.
Menggali
dan melestarikan adat istiadat sebagu salah satu unsur sumber daya kebudayaan daerah yang dijiwai oleh
agama Hindu guna memperkuat jati diri serta memperkaya khazanah kebudayaan
nasional.
2.
Memberdayakan
serta meningkatkan peranan dan fungsi lembaga adat khusunya desa pakreman atau
desa adat dalam mendukung pembangunan daerah serta mampu mengantisifasi
pengaruh-pengaruh dari luar.
3.
Mewujudkan
pelesterian kebuadyaan daerah sebgai bagian dari kebudayaan nasional yang
mengandung nilai-nilai moral, etika, dan estetika yang luruh.
4.
Mewujudkan
peningkatan sumber daya manusia di
kalangan prajuru desa pakreman atau desa adat dan kramanya dalam upaya
meningkatkan peran serta masyrakat untuk mendukung jalannya pemerintahan,
pelaksanaan pebangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
5.
Mewujudkan
kegiatan secara terencana, terpadu dan terarah untuk pengembangan
lembaga-lembaga adat yang ada khusunya desa pkraman atau desa adat beserta adat
istiadatnya, sejalan dengan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
menuju kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin.
6.
Mendorong
terciptanya sikap demokratis adil dan obyektif, serta transparan di kalangan
penjuru dan kramanya dalam memecahkan permasalahan yang di hadapi namun tetap mengedepankan azas muasyawarah
mufakat.
Sejalan
dengan tujuan dari pembinaan, maka materi pembinaan diarahkan untuk menggali,
melestarikan, dan mengembangkan desa paraman atau desa adat beserta dengan adat
istiadatnya. Sebagai salah satu sumber kebudayaan daerah yang dijiwai oleh
agama hindu dengan konsep Tri Hita Karana
yang meliputi:
1.
Parahyangan:
merupakan salah satu bagian Tri Hita
Karana yang menguraikan hubungan manusia dengan tuhan selaku pencipta .
sebagai asal muasal dan tujuan akhir
hidup manusia menurut ajaran gama hindu.
2.
Pawongan:
merupakan unsur keseimbangan hubungan manusia antara krama desa atau desa adat
baik dalam lingkungan desanya sendiri
maupun dengan krama yang ada diluar desanya.
3.
Palemahan:
merupakan unsur yang menekankan keharmonisan hubungan antara krama desa
pakraman atau desa adat dalam lingkungannya. Bagaimana krama desa adat menjaga
agar keberadaan palemahan tetap asri dan mampu memberikan kontribusi kepada
desa untuk menunjang pelaksanaan pembangunan.
3.
Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal.
Secara sadar
dan terencana perlu kiranya dikembangkan konsep sadar budaya, termasuk
revitalisasi kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sebagai bentuk penggalian atau penemuan kembali
kearifan-kearifan lokal dalam menumbuhkan budaya di
masyarakat Desa
Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung
yang multi-kultural di
antara berbagai etnik, revitalisasi kebudayaan Desa
Adat kabupaten badung
perlu terus
dilakukan dalam membentengi diri menghadapi gelombang pengaruh
budaya global.
Upaya
merevitalisasi kearifan lokal Desa
Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung
tampaknya
tidak mudah dilakukan tanpa adanya kemauan politik dan kepercayaan masyarakat
dunia terhadap efektivitas dan efisiensi peran kearifan lokal dalam menciptakan
keserasian antara kegiatan pembangunan dengan keberlangsungan lingkungan oleh karenanya yang
perlu dilakukan dalam revitalisasi kearifan lokal adalah:
1)
Menggali
nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang telah lama hilang,
2)
Mengkaji
nilai-kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tentang segi positip dan negatip
3)
Menciptakan
kepercayaan bagi masyarakat akan peranan
nilai-nilai kearifan lokal Desa
Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam
tata kehidupan yang sehat.
4)
Dijadikan
sebagai salah program pemerintah dalam menggali nilai-nilai kearifan lokal.
4.
Pembinaan budaya-budaya lokal dengan festifal kebudayaan
Pemberdayaan lembaga pendidikan, dan pendidikan formal
maupun non formal perlu ditingkatkan untuk menggali dan mengembangkan potensi
dan nilai-nilai kearifan lokal Desa
Adat adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam
kebudayaan. Melalui pendidikan diharapkan pemahaman generasi muda dan
masyarakat secara keseluruhan terhadap kearifan budaya lokal akan semakin
meningkat yang pada gilirannya menimbulakn pemahaman terhadap jati diri.
Penerapan kurikulum muatan lokal kiranya dapat
memberikan peluang untuk menjadikan kearifan lokal sebagai mata ajar. Dengan
upaya ini diyakini kearifan lokal mampu bertahan dan berkembang sesuai dengan
tuntutan zaman. Serta melakukakn pendidikan non
formal seperti yang dilakukan oleh Desa Adat t Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan
mendirikan lembaga pemberdayaan masyarakat di bidang kebudayaan.
Secara spontanitas pendidikan
informal dalam berupaya
melestarikan kearifan lokal dapat
dilakukan dengan Festival Seni Budaya
seperti halnya Kabupaten Badung melakukan festifal budaya yang ke-3 tahun 2009, Selasa (17/11) di Pusat
Pemerintahan Kabupaten Badung, Festival seni budaya ini bertujuan untuk
meningkatkan kreativitas seni budaya para seniman disamping untuk memotivasi
generasi muda agar mencintai seni dan budaya Bali yang adi luhung serta agar adat dan budaya bali tetap ajeg
dan lestari.
5.
Awig-awig yang dahulu ditulis diatas daun lontar
saat ini terbuat dari lempengan tembaga.
(ditulis di lempengan tembaga)
Dalam
menjaga eksistensi awig-awig dalam menjaga tata kehidupan masyarakat Desa
Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung mengukuhkanan
awig-awig di atas lempengan tembaga
yang semula awig-awig hanya di tulis dengan di
daun lontar. Hal itu dilakukan karena aspek sejarah yang menunjukan bahwa ketika
kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap kerajaan Bali. Perubahan
bentuk awig-awig dari segi betuk memberi dampak positip bagi Desa
Adat Bali umumnya adat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung khususnya karena dengan ditulis diatas
lempengan tembaga awig-awig tidak akan pernah mengalami perubahan dari segi
bentuk
6. Melaksanakan
budaya-budaya lokal (adat istiadat dan keagamaan) secara berkala.
Melaksanakan kegiatan kebudayaan secara
berkala merupakan suatu bentuk untuk selalu mengingatkan dan
memperkenalkan kepada generasi penerus akan budaya-budaya yang hidup dalam
masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Melakukan perkenalan budaya lokal secara berkala
dapat dilakukan di lingkungan di lingkungan keluarga tentang nilai-nilai kearifan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten
Badung landasan Tri Hita Karana.
Adapun hal lain yang dapat
dilakukan dalam rangka melestraikan
nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, upaya
yang dapat dilakukan secara berkala oleh desa adat dalam memeilahara
nilai-nilai kearifan lokal adalah dengan mengadakan perlombaan atau pecatokan
dalam Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung di setiap musim.Hal ini di
dasarkan dalam upaya melestarikan nilai-nilai
kearifan lokal yang dimiliki serta memupuk semangat membangun meliputi suka-duka,
gotong-royong, rasa memiliki, kecintaan terhadap desa adat, mempertebal rasa salunglung sabayantaka yang berdasarkan
asas kekeluargaan.
BAB
V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan.
1. Nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat desa adat Kabupaten Badung.
a. Kearifan
lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola
lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya
tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada.
b.
Nili-nilai Kerifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta
Kabupaten Badung khususnya sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai
keseimbangan dan harmonisasi dalam ajaran Tri
Hita Karana (tiga
penyebab kesejahteraan).
c. Nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
juga
dikenal dengan adanya konsep Tri Semaya yakni persepsi masyarakat desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap waktu.
Menurut masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masa
lalu (athita ),
masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian
waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya.
d.
Nilai-nilai kearifan masyarakat Desa
Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung juga memiliki identitas yang jelas yaitu
budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang mencakup
nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai
solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan.
e.
Ketahanan budaya Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga
ditentukan oleh sistem sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga
tradisional seperti banjar desa adat, subak
(organisasi
pengairan), sekaa(perkumpulan),
dan dadia (klen).
f.
Kemampuan nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung di tandai dengan
pelaksaan awig-awig yang masih tetap
berjalan di desa adat dan tata kehidupan krama yang masih mengikuti landasan Tri Hita karan.
g.
Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mampu
mengkoordinasi unsur-unsur budaya luar dengan melakukan sikap toleransi yang
tinggi terhadap budaya luar, serta
adanya sistem kekrabatan yang kuat dalam masyarakat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
h.
Dalam mengintegrasi unsur-unsur budaya
luar, nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
mengsinergikan
budaya lokal masyarakat dengan budaya yang masuk tampa mengurang nilai-nilai
kekal yang terkandung didalamnya, serta mengakulturasi budaya luar dengan
budaya lokal karena kebudayaan Desa Adat
Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang
bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi kebudayaan luar.
i.
Dalam mengendalikan masayarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dilakukan
dengan masih mempertahnkan eksistensi
nilai-nilai kerifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sehingga
Pemerintahan Bali
mengukuhkan awig-awig dalam Peraturan Daerah No 3 tahun 2001 Tentang Desa
Pakreman, adanya anggapan masyarakat adat bahwa kepala desa adat sebagai tangan
tuhan dan dalam Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
memiliki
nilai-nilai keseimbangan (Tri Hita Karana)
dalam nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
j.
Dalam memberikan arah terhdapa perkembangn
jaman nilai-nilai kerifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menjadikan
awig-awig sebagai
pedoman hidup.
2.
Hambatan-hambatan
dalam pelestarian nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat Desa Adat Kabupaten Badung Terbagi menjadi dua yaitu:
a.
Adapun yang menjadi hambatan pelestarian niali-nilai kearifan lokal masyarakat desa adat yang datang dari dalam Desa
Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung
yang
diantaranya;
1. Lemahnya
kapasitas lembaga Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sehingga
hal ini menyebabkan lemahnya fungsional desa adat sehingga struktur yang ada hanya bersifat formal.
2. Lemahnya
pemerintahan Desa Adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
dalam
penciptaan transparansi dan akuntabiltitas pemerintahn sehingga munculnya protes oleh
masyarakat Desa Adat dan menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap desa adat.
3. Keadaan
sosial budaya masyaarkat adat yang multi-dimensi dan multi-kultur.
b.
Adapun yang menjadi
hambatan-hambatan pelestarian
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang
datang dari luar desa adat diantaranya:
1. Arus
globalisasi.
2. Masuknya
penduduk pendatang dalam arus imigrasi
penduduk.
3.
Upaya-upaya
pelestarian nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan
Kuta Kabupaten Badung.
a. Perlindungan
terhadap nilai-nilai keraifan lokal desa adat.
b. Pembinaan terhadap Desa pakraman.
c. Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal.
d. Pembinaan budaya-budaya lokal dengan festifal kebudayaan
e. Awig-awig yang dahulu ditulis diatas daun lontar
saat ini terbuat dari lempengan tembaga.
(ditulis di lempengan tembaga)
f. Melaksanakan budaya-budaya lokal (adat istiadat dan
keagamaan) secara berkala
5.2. Saran.
a. Peraturan
Daerah Provinsi Bali No 3 tahun 2001 tentang desa pakraman seharunya mendapat respon yang besar bagi
desa adat ataupun masyarakat adat untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat desa adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
b. Melakukan
pelestarian, pemberdayaam dan pengembangan
terhadap desa adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
sehingga pemerintahn desa adat yang mampu melestarikan
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat desa adat Kabupaten Badung.
c. Melakukan
beragam kegiatan kebudayaan secara berkala guna untuk menumbuhkan jati diri dan
kecintaan terhadap nilai-nilai kerifan lokal
masyarakat desa adat Kuta
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
d. Mewujudkan
kebesaran Tri Hita Karana dalam
kehidupan masyarakat adat sehingga tercipata keseimbangan dan keharmonisan
dalam tata kehidupan masyarakat adat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
1) H.B. Sutopo.2002. Metode Penelitian Kualitatif.
Surakarta. USM Pres.
2)
Moleong, Lexi.J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Rosdakarya.
3)
-------------------. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Rosdakarya.
4)
Permana, R
Cecep Eka, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mitasi Bencana. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra cetakan pertama, nopember 2010.
5)
Wasistiono,
sadu dan tahir irwan. 2007. Prospek Pengembangan Desa.Bandung. CV Fokusmedia.
6)
Ayatrohaedi,
1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local
geniu). Jakarta:Pustaka Jayaha.
7)
Avonina, sthef
nny, 2006, “Apa Yang Dimaksud Dengan Pengetahuan Tradisional?”, konvergensi,
edisi IX, Oktober.
8)
Pitana, I Gede, Dinamika Masyarakat dan
Kebudayaan Bali, Denpasar, Offset
BP,
9) Dharmayuda,
I.M.S., 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali.
Dokumen:
1)
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Tentang
Otonomi Daerah dan Penggantinya yaitu Undang-Undang No.32 Tahun 1004, Tentang
Pemerintahan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pemberdayaan dan Pelestarian Serta Pembangunan Adat Istiadat,
Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah.
2)
Perda Propinsi Tingakt I Bali Nomor 6
Tahun 1986, Kedudukan Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Hukum Adat
Dalam Propinsi Daerah Tingat I Bali.
4) Baliaga,
2000. Bentuk Desa di Bali. http//www.baliaga.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar