Kamis, 24 Mei 2012


NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA ADAT  KUTA KECAMATAN KUTA KABUPATEN BADUNG


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Pelaksanaan pembangunan  Negara Republik Indonesia dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan kependudukan  dilaksanakannya dengan menggunakan asas desentralisasi yaitu dengan memberikan kesempatan dan keleluasan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Sebagai landasan penyelenggaran Otonomi Daerah tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi:Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintah Daerah yang diatur dengan undang-undang”.
Salah satu penjabaran dari Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan, adalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pada Bab III Pasal 10 Ayat (1) yang berbunyi ; “Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan”.  Kewenangan Daerah tersebut merupakan upaya pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan, untuk mencapai masyarakat sejahtera, adil dan makmur.
Demokrasi dan  otonomi daerah atau desa mengalami kebangkitan setelah lebih dari empat dekade keduanya diberangus oleh rezim yang sentralistik. Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah setidaknya, merupakan sebuah garansi formal terhadap pengembangan demokrasi lokal, desentralisasi, otonomi daerah dan otonomi desa. Sejalan dengan desentralisasi arena demokrasi tidak hanya terpusat di Jakarta, tetapi juga tersebar luas ke daerah, masyarakat adat, dan desa.
Desa atau sebutan lainnya yang berakar pada masyarakat lokal, memasuki babak baru mengikuti lahirnya semangat demokrasi lokal dan desentralisasi. Dalam  penyelenggaraannya Pemerintahan Desa, dituangkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian  lebih rinci  diatur dalam Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2005 Tentang Desa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2005 Tentang Desa, Pemerintahan Desa adalah  “Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Di Bali dikenal adanya dua pengertian  desa. Pertama, desa dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan batasan yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa. Desa dalam pengertian ini melaksanakan berbagai kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal dengan istilah Desa Dinas atau Desa Administratif. Desa dalam pengertian yang kedua, yaitu desa adat atau Desa Pakraman, mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh adanya tiga pura utama (Kahyangan Tiga).
Dasar pembentukan desa adat dan desa dinas memiliki persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung sebuah desa dinas tidak selalu kongruen dengan desa adat. Secara historis belum diketahui kapan dan bagaimana proses awal terbentuknya desa adat di Bali. Ada yang menduga bahwa desa adat telah ada di Bali sejak zaman neolitikum dalam zaman prasejarah. Desa adat mempunyai identitas unsur-unsur sebagai persekutuan masyarakat hukum adat, serta mempunyai beberapa ciri khas yang membedakannya dengan kelompok sosial lain. Ciri pembeda tersebut antara lain adanya wilayah tertentu yang mempunyai batas-batas yang jelas, dimana sebagian besar warganya berdomisili di wilayah tersebut dan adanya bangunan suci milik desa adat berupa kahyangan tiga atau kahyangan desa (Dharmayuda, 2001).
Eksistensi Desa adat di Bali diakui oleh pasal 18 UUD 1945 dan dikukuhkan oleh Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986, dan kukuhkan dalam lembaran daerah  Nomor 29 tahun 2001 Tentang desa pakraman, yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Bali. Kelembagaan Desa adat bersifat permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana.  
Kabupaten Badung  sudah sangat terkenal di dunia, sehingga mengundang kedatangan para wisatawan yang jumlahnya terus meningkat. Potensi yang dimiliki Badung sebagai daya tarik selain keindahan alam adalah budaya masyarakat dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk non fisik (aktivitas, adat istiadat, dan lain sebagainya), maupun fisik (hasil karya berupa benda seni, maupun benda kebutuhan hidup.
Kabupaten Badung yang terletak di 08 derajat lintang selatan dan 115 derajat bujur timur berbentuk seperti keris. Kabupaten Badung  hanya memiliki luas wilayah 418,52 kilometer persegi tersebut terbagi  kedalam 6 (enam) kecamatan, 40  (empat puluh) administratif (desa dinas dan kelurahan) dan sebanyak 117  (seratus tujuh belas) desa tradisional. Desa-desa tersebut terbagi lagi kedalam 297 (dua ratus sembilan puluh tujuh) kelompok masyarakat yang lebih kecil  dikabupaten Badung disebut dengan  dusun atau banjar  terbagi 498   (empat ratus sembilan puluh delapan) banjar. 
Desa Adat adalah Kuta Salah satu dari seratus tujuh belas desa pakraman di Kabupaten Badung. Desa adat kuta  yang terletak di kecamatan Kuta kabupaten Badung  yang perkembangannya sangat pesat, desa adat kuta tepatnya berada di  Kelurahan  kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Sebagai sebuah desa adat yang berada di kawasan wisata, desa ini semakin dipadati dengan berbagai fasilitas (bangunan) sesuai dengan aktivitas kepariwisataan. Tidak ada suatu kawasan wisata di Indonesia yang memiliki perkembangan sepesat di Kuta
Desa adat kuta merupan bukan lagi menjadi suatu hal yang asing bagi kita namun ada suatu keunikan dari desa adat ini.   Keunikan desa adat kuta dapat dilihat dari bentuk  kearifan lokal dalam mengatur tata kehidupan masyrakat adat dengan awig-awig. Awig-wig desa adat, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapa  ketertiban dan ketentraman masyarakat. Awig-awig merupakan benteng pertahanan paling kuat di desa adat bali dalam memelihara peradapan masyarakat adat.
Namun dengan pergerakan arus globalisasi dan menjadikan kuta sebagai objek wisata yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, juga menyumbangkan sedikit pudarnya tentang etika dan moralitas masyrakat adat kuta, yang  terlihat dengan :
1.        Film dokumenter tentang gigolo di pantai kuta.
2.        Pergeseran tata krama pemuda pantai.  
3.        Pelaksanaan ritual kebudayaan yang telah mengalami pergeseran oleh arus pembangunan pariwisata.
4.        Pergeseran moral, dimana ukuran sesuatu dinilai dengan uang.
5.        Pencemaran lingkungan pantai Kuta.
Dari kasus ini menggambarkan bahwa eksistensi nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta mendapat ancaman dari arus globalisasi yang sudah menyebar ke berbagai tempat. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, globalisasi sudah menyebar dan Bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat Desa Adat Kuta khususnya harus ikut terhadap perkembangan global tersebut, atau ditinggalkan sama sekali oleh masyarakat dunia.
Berdasarkan atas uraian di atas kelompok III mengangkat suatu topik permasalahan, yang dituangkan dalam laporan praktikum yang berjudul Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat  Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung”.

1.2. Identifikasi Masalah.
1.      Bagaimanakah nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung ?
2.      Hambatan-hambatan dalam pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung ?
3.      Upaya-upaya pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal masyarakat Desa Adat  Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung ?

1.3. Tujuan Praktikum.
Tujuan yang akan hendak dicapai dan bermanfaat bagi peneliti sendiri dan bermanfaat bagi pembaca guna untuk tujuan penelitian ini adalah :
  1. Untuk mengetahui dan mendeksripsikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
  2. Untuk mengetahui, mendeksripsikan dan memahami hambatan-hambatan dalam pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
  3. Untuk mengetahui Upaya-upaya pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal masyarakat Desa Adat  Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
1.4. Manfaat  Praktikum.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis dengan uraian sebagai berikut :
  1. Tujuan  Teoritis (Keilmuan), penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran baru dan berarti bagi peneliti dalam mengembangkan kajian ilmu pemerintahan, khususnya mengenai pemeliharaan nilai-nilai kearifan lokal.
  2. Tujuan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintahan desa adat pada khususnya dan pemerintah daerah Kabupaten Badung pada umumnya dalam menjaga dan mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal di desa adat Kuta  Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.

BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN DAN TINJUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Pemikiran
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local ge­nius). Kearifan lokal adalah  sikap, pandangan, dan kernampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis‑politis, historis, dan situa­sional yang bersifat lokal (Saini, 2005).
Sedangkan Depsos, 2006 mengartikan bahwa: kearifan lokal merupakan “sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal da­lam menjawab berbagai masalah dalam pernenuhan kebu­tuhan mereka”.  Dalam pengertian ini di jelaskan bahwa kearifan lokal merupakan suatu tata kehidupan dalam Sistem pemenuhan kebutuhan mereka, meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, mem­perbalki dan  mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pe­menuhannya, dengan memperhatikan  sumber daya manusia dan sumber daya alam di sekitarnya.
Untuk lebih  spesifik mendefinisikan kearifan lokal Jim Ife (2002) mendimensikan kearifal lokal sebagai berikut;
1.    Dimensi Pengetabuan Lokal Setiap masyarakat di mana pun mereka berada selalu memiliki pengetahuan lokal yang ter­kait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis‑jenis fauna dan flora, dan kondisi geografi, demografi, clan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami perubah­an sosial yang bervariasi menyebabkan mereka mampu ber­adaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan low mereka dalam me­nguasai alam.
2.    Dimensi Nilai Lokal Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai‑nilai lokal yang ditaati dan disepakati ber­sama oleh seluruh anggotannya. Nilai‑nilai ini biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannnya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam, nilai‑nilai ini memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang. Nilai‑nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyara­katnva.
3.    Dimensi Kelerampilan Lokal Keterampilan lokal bagin setiap masyarakat dipergunakan sebagai kemampuan bertahan hi­dup (siimiva~. Keterampilan lokal daniyang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam sampai membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya ha­nya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan keluargannya masing‑masing atau disebut dengan ekonorni subsistensi.
4.    Dimensi Sumber daya Lokal Sumber daya lokal pada umum­nya adalah sumber daya alam yaitu sumber daya yang tak terbaharui dan yang dapat diperbarul'. Masyarakat akan meng­gunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar‑besar atau di­ komersialkan. Sumber daya lokal ini sudah dibagi perun­ tukannnya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertam­an, dan permukiman. Kepemihkan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif
5.    Dimensi Mekaisme Pen gambilan Keputusan Lokal Setiap ma­syarakat pada dasarnya memiliki pernerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan ke­satuan hukum yang memeritah warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda­beda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang.
6.    Dimensi Solidwitas Kelompok Lokal Suatu masyarakat umum­nya dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunval media-­media untuk mengikat warganya dapat dilakukan melalui  ritual keagamaan atau acara  dan upacara adat lainnya. Ma­sing‑masing anggota masyarakat saling memberi dan me­nerima sesuai dengan bidang dan fungsinva masing‑masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan kerja bakti gotong royong.
Dilain pihak, Mundardjito (1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genims karena telah teruji kemarnpuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri‑cirinya sebagai berikut.
1.    Mampu bertahan terhadap budaya luar,
2.    Memiliki kemampuan mengakoordinasi unsur‑unsur budaya luar,
3.    Mempunyai kernampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalarn budaya asli,
4.    Mempunvai kemampuan mengendalikan, dan
5.    Mampu memberi arah pada perkernbangan budaya

Dengan demikian, baik kearifan lokal, pengetahuan Iokal, maupun local genius, pada dasarnya merniliki hakikat yang sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pernaharnan bahwa kebu­davaan itu telah dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi selama ratusan bahkan ribuan tahun oleh masyarakat setempat atau lokal. Kebudayaan yang telah kuat berakar itu tidak mudah goyah dan terkontan‑iinasi de­ngan pengaruh dari kebudayaan lain yang masuk.

2.2. Asumsi.
Dari uraian tersebut, kelompok kami membuat asumsi sebagai berikut:
1.    Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.    Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
3.    Kearifan lokal adalah  sikap, pandangan, dan kernampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada.
4.    Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama desa di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat , krama desa adat, keagamaan serta sanksi.

2.3.  Definisi operasional/ Operasionalisasi Variabel
Operasional variabel adalah untuk menjelaskan makna variabel peneliti                                                                                                                                                                                                   Riduan (2004:222), ”definisi Operasional adalah unsur penelitian yang memberikan petunjuk bagaimana variabel itu diukur”.Variabel penelitian  praktikum ini terdiri dari satu variabel yaitu nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kabupaten Badung  yang dapat dilihat sebagi berikut:


Tabel 2.1  Matrik Operasional Variabel
No.
Variabel
Dimensi
Indikator
1
Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat Kabupaten Badung.
1.        Mampu bertahan terhadap budaya luar.
a.    Pelaksanaan awig-awig masih tetap berjalan  di desa adat.
b.    Tata kehidupan krama adat masih mengikuti landasan Tri Hita Karana.
2.       Memiliki kemampuan mengakoordinasi unsur‑unsur budaya luar.
a.    Sikap toleransi yang tinggi masyarakat desa adat terhadapap tata kehidupan baru di kenal.
b.    Adanya sistem kekerabatan yang kuat di dalam desa adat kabupaten Badung dalam mempertahankan eksistensi adat Bali.
3.          Mempunyai kernampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalarn budaya asli.
a.      Mensinergikan design modern-tradisional.
b.     Akulturasi budaya
4.           Mempunyai kemampuan mengendalikan.
a.    Masih bertahannya awig-awig dalam masyrakat adat.
b.    Adanya kepercayaan  terhadap bandesa sebagi tangan tuhan.
c.    Adanya nilai keseimbangan dalam nilai-nilai kearifan lokal desa adat.
5.          Mampu memberi arah pada perkernbangan budaya.
a.    Awig-awig masih dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
    

2.4.  Tinjauan Pustaka.
2.4.1.      Kearifan Lokal.
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (localge­nius). Kearifan lokal adalah  sikap, pandangan, dan kernampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis‑politis, historis, dan situa­sional yang bersifat lokal (Saini, 2005).
Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud akdvitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal da­lam menjawab berbagai masalah dalam pernenuhan kebu­tuhan mereka. Sistern pernenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komuru'kasi, serta kescnian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkalt untuk mempertahankan, mem­perbalki dan mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pe­menuhannva, dengan memperlihatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam di sekitarnya (Depsos, 2006).
Sementara itu, Hadi (2006), menyatakan bahwa pada dasarnya dalam segap ko­munitas masyarakat memiliki kearifan lokal (low live wisdom) Ke­arifan lokal yang terdapat pada komunitas masyarakat tradisional sekalipun terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan' (being smart and knowled geable).
Hal ini berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga ko­munitas masyarakat akan secara spontan memikirkan cara-cara untuk melakukan dan/atau menciptakan sesuatu. Dalam hal ini termasuk juga cara untuk membuat makanan, cara untuk membuat peralatan yang diperlukan untuk mengolah sumberdaya alam derni menjamin tersedianya bahan makan, dan sebagainva. Dalam proses tersebut suatu penemuan yang sangat berharga dapat terjadi tanpa disengaja. Mereka me­nemukan bahwa suatu jenis tanaman tertentu dapat menghasilkan buah yang dapat dimakan setelah dilakukan cara pengolahan tertentu atau daun tertentu dapat menyembuh­kan mereka dari sakit perut, sedang daun lain mengobati de­mam; atau akar‑akaran tertentu dapat menyernbuhkan luka. Pengembangan suatu sistem pengetahuan dan teknologi yang asli tersebut itulah yang disebut dengan kearifan lokal.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam. kehidupan masyarakat. Sistem ter­sebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk meng­hayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayad di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian darl cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable dexlopmen (Hadi, 2006).
Selain daripada itu, kearifan lokal dianggap lahir dan berkembang dari generasi ke generasi  seolah‑olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Tidak ada ilmu atau tek­nologi yang mendasari lahirnya kearifan lokal, bahkan tidak ada pendidikan dan pelatihan untuk meneruskannya. Sejatinya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagal adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan‑kebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari ge­nerasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau masyarakat tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima. 'ke­benaran' itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku (Idrus, 2008).
Kearifan lokal dapat pula didefinisikan sebagai nilai‑nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan‑kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah‑petitih dan semboyan hidup. Salah satu ungkapan dari kearifan. lokal. adalah alon‑alon waton kelakon (biar lambat asal. tujuan tercapai) dalarn budaya jawa, ataun semboyan marsiada'p ari (saling membantu dalam melakukan suatu pekerjaan) dalam budaya Batak (Pikiran Rakyat, 2004).
Konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sis­tern pengetahuan lokal (indi genous knowledge gstem) adalah pe­ngetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal‑bahk antara masyarakat dengan lingk‑ung­annya (Marzah, dalam Murnfangati, dkk., 2004). jadi, konsep sistern kearifan lokal berakar dari sistern pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional, atau asli, melalui "uji coba" telah mengem­bangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan‑kegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Michell, 2003).
Menurut Jim Ife (2002) kearifan lokal memiliki enam dimensi, yaitu:
1.    Dimensi Pengetabuan Lokal Setiap masyarakat di mana pun mereka berada selalu memiliki pengetahuan lokal yang ter­kait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis‑jenis fauna dan flora, dan kondisi geografi, demografi, clan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami perubah­an sosial yang bervariasi menyebabkan mereka mampu ber­adaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan low mereka dalam me­nguasai alam.
2.    Dimensi Nilai Lokal Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai‑nilai lokal yang ditaati dan disepakati ber­sama oleh seluruh anggotannya. Nilai‑nilai ini biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannnya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam, nilai‑nilai ini memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang. Nilai‑nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyara­katnva.
3.    Dimensi Kelerampilan Lokal Keterampilan lokal bagin setiap masyarakat dipergunakan sebagai kemampuan bertahan hi­dup (siimiva~. Keterampilan lokal daniyang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam sampai membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya ha­nya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan keluargannya masing‑masing atau disebut dengan ekonorni subsistensi.
4.    Dimensi Sumber daya Lokal Sumber daya lokal pada umum­nya adalah sumber daya alam vaitu sumber daya yang tak terbaharui dan yang dapat diperbarul'. Masyarakat akan meng­gunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar‑besar atau di­ komersialkan. Sumber daya lokal ini sudah dibagi perun­ tukannnya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertam­an, dan permukiman. Kepemihkan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif
5.    Dimensi Mekan' Penisme gambilan Keputusan Lokal Setiap ma­syarakat pada dasarnya memiliki pernerintahn lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan ke­satuan hukum yang memeritah warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda­beda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang.
6.    Dimensi Solidwitas Kelompok Lokal Suatu masyarakat umum­nya dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunval media­media untuk meng1kat warganya dapat dilakukan melalui  ritual keagamaan atau acara  dan upacara adat lainnya. Ma­sing‑masing anggota masyarakat saling memberi dan me­nerima sesuai dengan bidang dan fungsinva masing‑masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan kerja bakti gotong royong.
Sebagai bagian dari kebudayaan tradisional, kearifan lokal merupakan satu aset warisan budaya. Kearifan lokal hidup dalam domain kognitif, agektif dan motorik, serta tumbuh menjadi aspirasi dan apresiasi publik. Dalam konteks seka­rang, karena desakan modernisme dan globalisasi kearifan lokal berorientasi pada (1) keseimbangan dan harmonii ma­nusia, alam dan budaya; (2) kelestarian dan keragaman alam dan kultur, (3) konservasi sumber daya alam dan warisan bu­daya; (4) penghematan sumber daya yang bernilai ekonornii; (5) moralitas dan spiritualitas. Tema‑tema orientasi seperd itu sangat relevan bagi cita‑cita, paradigma dan perencanaan pembangunan berkelanjutan (Geriya, 2004).
istilah local genius merupakan. istilah yang mula pertama dikenalkan oleh H.G Quaritch Wales dalam artikelnya yang dimuat di Journal of Royal Asiatic Socie:y berjudul "Culture Change in Greater India" (1948), kemudian dalarn bukunya "The Makin of Greater India: A Study in South‑east Asia Culture Change" (1951). Menurut Quaritch Wales pengertian local genius dinyatakan sebagai berikut: "the sum of the cultural characteristics Uhich the Past majono of a people have in cammon as a result of their expefience in early life" (keseluruhan ciri‑ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai hasil pengalaman mereka sepanjang hidupnya). Menurut Quaritch Wales juga menekankan bahwa yang dimaksud dengan local genius itu adalah kemampuan kebu­dayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan (lebih lanjut lihat Ayatrohaedi (penyunting), 1986).
Pengertian lain dari local genius  misalnya diungkapkan oleh Haryati Soebadio yang menyamakannya dengan istilah cul­turalidenfinity, yakni identitas/kepriibadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan meng­olah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (dalam Ayatrohaedi, 1986:18‑19).
Dilain pihak, Mundardjito(dalarn Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai localgenims karena telah teruji kemarnpuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri‑cirinya sebagai berikut.
1.    Mampu bertahan terhadap budaya luar,
2.    Memiliki kemampuan mengakornodasi unsur‑unsur budaya luar,
3.    Mempunyai kernampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalarn budaya asli
4.    Mempunyai kernampuan mengendalikan, dan
5.    Mampu memberi arah pada perkernbangan budaya.
Dengan demikian, baik kearifan lokal, pengetahuan lokal, maupun localgenius, pada dasarnya merniliki hakikat yang sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pernaharnan bahwa kebu­dayaan itu telah dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi selama ratusan bahkan ribuan tahun oleh masyarakat setempat atau lokal. Kebudayaan yang telah kuat berakar itu tidak mudah goyah dan terkontan‑iinasi de­ngan pengaruh dari kebudayaan lain yang masuk.

2.4.2.      Masyarakat.
Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan  manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat. Definisi  Pengertian Masyarakat Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
1.    Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
2.    Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
3.    Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
4.    Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Faktor-Faktor / Unsur-Unsur Masyarakat Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
1.    Beranggotakan minimal dua orang.
2.    Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3.    Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4.    Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
Ciri / Kriteria Masyarakat Yang Baik Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat, adalah:
1.        Ada sistem tindakan utama.
2.        Saling setia pada sistem tindakan utama.
3.        Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4.        Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.

2.4.3.  Desa.
2.4.3.1.     Pengertian Desa.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan.
Kewenangan desa adalah:      
1.     Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
2.     Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.
3.     Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
4.     Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa.
Secara teoritis desa di Indonesia pertama kali di temukan oleh Mr Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad Van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris,  yang merupan pembantu Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di indonesia. Dalam sebuah laporannya tertanggal 14 Juli 1817 kepada pemerintahannya disebutkan tentang adanya desa-desa di desrah-daerah di pesisir  utara Pulau jawa. Dan kemuadian hari ditemukan juga desa-desa dikepeulauan luar Jawa yang kurang lebih sama dengan desa yang ada di Jawa (soetarjo, 1984:36)
Kata desa berasal dari bahasa bahasa  Iindia yakni “swadesi”  yang berarti temapat asal, tempat tingal, negeri asal, atau tanah leluhuryang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Soetarjo, 1984:84} sesuai dengan batsan definisi tersebut,  maka di Indonesia dapat ditemui  banyak kesatuan masyarakat  dengan peristilahannya masing-masing seperti dusun  dan marga bagi masyarakat Sumatra Selatan, Soa di Maluku, Nagari di Minang atau Wanua di Minahasa dan Pakraman di Bali. Pada daerah lain masyarakat setingkat desa  juga memiliki peristilahan dan keunikan tersendiri baik mata pencaharian ataupun adat istiadatnya.
Definisi tentang desa sampai saat ini masih perlu dikaji karena batasannya menjadi perdebatan panjang dikalangan para ahli. Desa dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakatdaerah tertentu  yang satu dengan daerah yang lain berbeda kulturnya. Beberapa ahli atau pakar mengemukakan pendapatnya dari tinjauan masing-masing.
Bintarto (1983) yang memandanang desa dari segi geografi mendefinisikan sebagi berikut;
Suatu hasil dari perwujudan anatra kegiatan sekelompok manusia dan sekelmpok manusia denagn lingkunganya. Hasil dari perpaduan ini adalah suatu ujud dari penampakan di muka bumi ini  yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial ekonomi, politik, dan kultur yang salin berinteraksi antara unsur tersebut dan juga dalam kelompok hubungannya  dengan daerah lain.   
Kebanyakan orang memahami desa sebagai temapat dimana bermukim penduduk denag peradapan yang lebih terbelakang dari pada kota. Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang kental,tingkat pendidikan yang relatif rendah,mata pencaharian yang umumnya pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat bahwa desa merupakan tempat tingga para petani.
Namun demikian pengertian desa dapat juga dilihat dari pergaulan hidup, seperti yang dikemukakan oleh bouman (dalam Berata, 1982 : 26 ) yang mendefinisikan desa :
Sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk didalamnya hidup dari pertanian perikanan dan sebgainya, usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam temapat tinggal itu banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat ketaatan pada tradidsi  dan kaidah-kaidah sosial.

2.4.3.2.     Teori Lahirnya Desa.
Definisi di atas memberikan berbagai gambaran tentang desa, dalam istilah yang berbeda sebutan untuk desa dapat dilihat dari tinjauan sudut pandang suatua daerah misalnya: di Aceh dipakai nama ”Gampong” atau “meunasah” buat daerah hukum yang paling bawah  di daerah batak, hukum setingkat desa disebut dengan “kuta atau huta”.  Di daerah Minangkabau daerah hukum  yang demikian dinamakan “dusun” atau  “ tiuh” ,  di daerah  Minahasa  diberi nama “wanua”, di daerah bali diberi nama desa “Pakraman”. Serta sebutan nama kepala desa yang berbeda pula  seperti di daerah Tapanuli kepala desa desa disebut dengan ”kepala nagari” dan di sumatera selatan  kepala desa disebut dengan “pesirah” .
Menurut Sunarjo, (1984: 32) Susunan desa membentuk persekutuan masyrakat hukum di katagorikan atas tiga (3) tipe yaitu;
1.         Tipe  kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepada teritorial/ wilayah tempat  bersama dengan dasr utama;
2.         Tipe kesatuan masyarakat umum berdasarkan persamaan keturunan/ genetik (suku, warga, atau calon) sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
3.         Tipe kesatuan hukum berdasarkan atas campuran  (teritorial dan keturunan).  
Demikian pula yang di kemukakan  soetarjo (1984), bahwa bentuk desa di dasarkan  atas 3 (tiga) sifat yakni :
1.    Berdasarkan geneologis atuau keturunan,
2.    Berdasarkan teritorial atau wilayah,
3.    Campuran antara geologis dengan teritorial
Tentang pengertian desa tersebut  lebih lanjut Sunardjo (1984: 61)  menjelaskan bahwa :
Desa adalah suatu kesatua masyarakat hukum berdasarkan adat  yang menetapa dalam suatu wilayah tertentu batas-batsannya; memiliki ikatan lahir  bhatin  yang sangat kuat, baik  karena seketurunan  maupun karena sama-sama  memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih besama ; memiliki kekayaan  dalam jumlah tertentu  dan berhak menyelenggarakan  rumah tangganya sendiri.
Desa desa tersebut dengan nama aslinya yang setingkat adalah  suatu kesatuan masyarakat hukum dengan karakteristis:
1.    Berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya menurut adat kebiasaanya  setempat menurut peraturan negara dan peraturan daerah yang berlaku.
2.    Desa wajib melaksanakan tugas  dan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah daerah.
3.    Untuk melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut kepala desa dapat diberikan sumbangan dan bantuan.
 Selain itu  ada beberapa hal yang perlu di perhatikan tentang  unsur-unsur desa. Menurut Bintarto (1983 : 13) unsur-unsur yang harus ada dalam suatu desa adalah:
1.    Daerah,   dalam arti tanah-tanah  produktif  dan yang tidak produktif beserta penggunaanya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografis setempat.
2.     Penduduk,  adalah hal meliputi jumlah , petambahan  kepadatan, persebaran  dan mata pencaharian penduduk desa setepat;
3.    Tat kehidupan, dalam hal ini pola tata pergaulan  dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut  seluk beluk  kehidupa masyarakat desa (rural society).
Ketiga unsur intu tidak terpisah melainkan ada keterkaitan satu dengan yang lainnya seabgai satu kesatuan yang utuh. Unsur daerah, penduduk, dan tata kehidupan. Merupakan suatu keastuan hidup  atau “ living unit” maju mundurnya desa tergantung pada tiga unsur ini  yang dalam kenyataan di tentukan oleh faktor usaha manusia dan tat geografis. Suatu daerah dapat berarti bagi penduduk apabila ada usaha manusia untuk memanfaatkan daerahanya. Tiap-tiap  daerah mempunyai tata geografi dan usaha manusia  yang berbeda-beda sehingga tingkat kemajuan dan kemakmuran berbeda-beda pula.
Unsur lain  yang termasuk unsur desa yaitu unsur letak, letak suatu desa pada umumnya  selalu jauh dari kota atau dari pusat‑pusat keramaian. Peninjauan ke desa‑desa atau pe~alanan ke desa sama artinya dengan menjauhi kehidupan di kota dan lebih mendekati daerah‑daerah yang monoton dan sunyi. Desa‑desa yang letaknya pada perbatasan kota mempunyai kemungkinan berkembang lebih pesat di banding daripada desa‑desa di pedalaman.
Unsur letak menentukan besar kecilnya isolasi suatu daerah ter­hadap daerah‑daerah lainya. Desa yang terletak jauh dari perbatasan kota merupakan lahan pertanian yang luas. Ini disebabkan karena penggunaan lahannya lebih banyak dititikberatkan pada tanaman pokok dan beberapa tanaman perdagangan daripada untuk peru­mahan.
Penduduk merupakan unsur yang penting bagi desa. "Poten­tial man power" terdapat di desa yang masih terikat hidupnya dalam bidang pertanian. Di beberapa desa terdapat tenaga‑tenaga yang berlebihan di bidang pertanian, sehingga timbul apa yang disebut dengan istilah pengganguran tak kentara atau "disguised unemployment" ' sehingga memerlukan penyaluran. Corak kehidupan di desa didasarkan pada ikatan kekeluar­gaan yang erat. Masyarakat merupakan suata "gemeinschaft" yang memiliki unsur gotong royong yang kuat. Hal ini dapat dimengerti karena penduduk desa merupakan "face to face group" dimana mereka saling mengenal betul seolah‑olah mengenal dirinya sen­diri. Faktor lingkungan geografis memberi pengaruh terhadap ke­gotong‑royongan ini misaInya:
1.    Faktor geografi setempat yang memberikan suatu ajang hidup dan suatu. bentuk adaptasi kepada pencluduk.
2.    Faktor iklim yang dapat memberikan pengaruh positif mau­pun negatif terhadap penduduk terutama petani‑petaninya.
3.    Faktor bencana alam seperti letusan gunung merapi, gempa bumi, banjir, dan sebagainya yang harus dihadapi dan di­alami bersama.

Disini persamaan nasib dan pengalaman mempunyai peran yang akan menimbulkan. hubungan sosial yang akrab. Unsur‑un­sur desa merupakan sesuatu. yang penting, sehingga tidaklah ber­lebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara.

2.4.3.3. Pengertian Desa Adat.
Pengertian Desa Adat mencakup dua hal yaitu : Desa Adatnya sendiri sebagai suatu wadah dan adat istiadatnya sebagai isi dari wadahnya itu lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa desa adat merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali yang telah menjadi tradisi kemasyarakatan secara mantap sebagai warisan dari pada budaya bangsa. Desa adat tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali karena merupakan satu kesatuan.
Menurut Rindjin (2000 : 34), mengatakan bahwa :
Desa Adat sebagai Desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi Daerah Tingakt I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan khayangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, hal ini menegaskan bahwa desa adat merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat dalam ikatan khayangan tiga yang bersipat otonom, ini berarti desa adat merupakan subyek hukum yang boleh mempunyai hak milik dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
Desa adat adalah merupakan kesatuan masyarakat dimana rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat oleh wilayah tertentu (karang desa) dengan batas-batas yang jelas dan terikat pula oleh satu sistem tempat persembahyangan yang disebut kahyangan tiga yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem .Menurut I Nyoman Sirtha, Mengatakan : “Terbentuknya desa adat yang dahulu dikenal dengan istilah desa pekraman yang dicirikan oleh kepemilkan tiga pura utama (Kahyangan Tiga) yang merupakan salah satu ciri dari keberadaa desa adat”. Ciri-ciri desa adat itu tampak dari adanya kelompok orang yang menempati suatu tempat yang sama dalam suatu komunitas dan  merupakan suatu masyarkat hukum adat, serta mempunyai tempat persembahyangan bersama. Masyarakat hukum itu mempunyai hakhak atas tanah, air, tanam-tanaman, bangunan-bangunan, dan bendabenda kramat. Kelompok masyarakat yang merupakan persekutuan hukum mempunyai susunan yang relatif tetap, mempunyai kekuasaan sendiri serta mempunyai kekayaan berupa benda yang kelihatan maupun tidak kelihatan oleh mata. Untuk memahami desa adat maka dibawah ini dikemukakan dua sumber yang memberi pengertian desa adat di Bali.
Menurut Gede Raka ( 1999:12 ), mengatakan bahwa : 
Desa adat merupakan suatu kesatuan wilayah dimana para warganya secara bersama-sama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan sebagai warga desa adat terkait oleh karena adanya karang desa (wilayah teritorial desa), awig-awig desa adat, (sistem aturan desa dengan peraturan pelaksanaanya), dan pura kahyangan tiga (tiga pura desa sebagai suatu sisitem tempat persembahyangan bagi warga desa adat).
Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari dua pengertian diatas dapat ditarik unsur-unsur pokok dalam desa adat sebagai kreteria tentang keberadaan desa adat yaitu : Adanya sistem persembahyangan yang disebut kahyangan tiga yang meliputi Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem (Parahyangan). Desa adat sebagai kesatuan masyarakat dengan atmosfir keagamaan Hindu dan sekaligus berfungsi sebagai lembaga yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan interaksi sosial masyarakat desa adat, maka kahyangan tiga merupakan salah satu unsure mutlak dari pada desa adat. Kahyangan tiga merupakan kesatuan pura yang terdiri dari tiga komplek pura yakni Pura Desa adalah pura tempat memuja Dewa Brahma, Pura Puseh adalah tempat memuja dewa Wisnu, dan Pura Dalem tempat memuja Dewa Siwa. Tiga kesatuan pura tersebut adalah sebagai unsure pengikat sebuah desa adat dimana rasa kesatuan sebagai suatu warga desa adat terikat oleh adanya kahyangan tiga sebagai suatu system tempat persembahyangan bagi para warga desa yang menyangkut sejumlah kewajiban bagi para warga desa adat.
Pura Kahyangan Tiga adalah merupakan salah satu ciri adanya desa adat dimana sebuah desa selain sebagai kesatuan dengan batas-batas yang jelas, desa senantiasa ditandai oleh batasbatas pemujaan krama desa yang satu dengan yang lain selalu mengatasi diri mereka pada batas-batas pemujaan pada tiga lingkungan desa mereka dari mana mereka berasal atau melakukan aktivitas untuk suatu proses persembahyangan di tiga pura tersebut. Berdasarkan dari uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa pura kahyangan merupakan ciri utama dan sekaligus sebagai unsur mutlak (konstitutif) yang bersifat spiritual religius dari adanya sebuah desa adat di Bali.
Palemahan Desa (Wilayah Desa). Palemahan adalah merupakan unsur mutlak dari desa adat. Luas palemahan desa adat di tentukan oleh perbatasanperbatasannya dan dalam batas-batas itu prajuru adat melaksanakan otonomnya terhadap krama desa adat termasuk mengurus harta kekayaanya sendiri. Palemahan adalah merupakan wilayah teritorial desa adat (karang desa) dan karang desa ini, merupakan salah satu unsur yang mengikat rasa persatuan dan batas-batas palemahan ditentukan dalam kesepakatan dengan desa  tetangga dan batas-batas yang telah disepakati dituangkan dalam awig-awig yang bersangkutan.
Pawongan (Krama Desa Adat). Adalah merupakan warga desa adat yang tinggal di dalam wilayah desa adat yang diangkat sebaai warga desa adat berdasarkan ketentuan awig-awig yang mengatur pengangkatan warga adat. Pawongan merupakan unsur mutlak yang kedua dari keberadaan desa adat. Yang termasuk pawongan disini adalah krama desa adat (anggota desa adat) dan prajuru adat (pemerintah desa adat).
Krama desa adat adalah orang yang bertempat tinggal di palemahan atau wilayah desa adat dan dapat diartikan sebagai sekumpulan manusia yang dipersatuakan karena mereka mendiami suatu wilayah tertentu. Ditinjau dari segi hukum adat di Bali dan ciri khas desa adat maka orang yang bertempat tinggal di palemahan desa tidak seluruhnya sebagai Krama desa adat atau anggota desa adat. Yang dapat menjadi Krama desa adat adalah orang yang beragama Hindu yang bertempat tinggal di palemahan desa adat yang bersangkutan, dalam kaitannya dengan ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang dihitung sebagai Krama desa adat bukan orang secara individu melainkan keluarga atau suami istri.
Prajuru Adat (Perangkat Desa) Prajuru adat adalah merupakan alat bagi desa adat dalam menyelenggarakan segala urusan rumah tangga desa adat, segala kepentingan krama desa adat dan mewujudkan secara nyata tujuan yang telah ditetapkan oleh sangkep krama desa adat (rapat anggota desa adat), disamping itu prajuru juga mempunyai tugas untuk melaksanakan berbagai peraturan seperti awig-awig desa adat beserta aturan pelaksanaanya yang ditetapkan oleh sangkep krama desa adat. Sangkep ini merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam desa adat. Prajuru adat dipilih dan diberhentikan oleh sangkep krama desa adat dan karenanya prajuru desa adat bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan desa pada krama desa adat melalui sangkep krama desa adat.
Menurut Sirtha (2002 :43) menyatakan bahwa :
Ditinjau dari kekuasaan yang dimiliki oleh desa adat dapat dikatakan bersifat asli artinya desa adat sebagai persekutuan hukum dapat mengatur rumah tangganya sendiri demi untuk kepentingan warganya. Otonomi itu lahir bersamaan dengan berdirinya desa adat otonomi desa adat tampak pada kekuasaan untuk membentuk pengurus sendiri sebagai penyelenggara pemerintah desa, kekuasaan untuk membuat aturan sendiri yang disebut awig-awig, kekuasaan untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini Sukadana ( 2003 : 21 )menyebutkan unsur-unsur dari desa adat sebagai masyarkat hukum adat sebagi berikut :
1.    Menunjukan bentuk suatu kesatuan wilayah. Dengan batas-batas desa sebagai perwujudan wilayah desa adat.
2.    Mewujudkan satu kesatuan kekerabatan berupa Krama Desa, dan terhimpun dalam banjar-banjar sebagai himpunan kekerabatan terkecil, yang tidak terpisahkan dari kegiatan desa adat.
3.    Merupakan satu kesatuan pemujaan Kahyangan Tiga .
4.    Sebagai wujud kesatuan kegiatan dalam kebersamaan berupa ayahan kedesa (Tugas dan kewajiban sebagai krama desa).
Menurut  Sirtha  (2002 : 31) menyatakan bahwa memiliki struktur pemerintahan:
1.    Awig-awig (peraturan) kesepakatan yang mengikat warga (krama desa), pemimpin (pengurus) desa yang disebut prajuru desa .
2.    Milik Desa (druwe desa) yang berupa sarana dan prasarana serta harta kekayaan desa.
3.    Memiliki batas-batas ngatur desa, sebagai wilayah desa adat secara nyata yang berbatasan dengan wilayah desa adat lainnya.

2.4.3.4.      Tugas dan Wewenang Desa Adat.
Tugas dan wewenang Desa Adat Menurut Surpha (2000 : 21), secara garis besarnya kewajban desa adat meliputi :
1.    Melaksanakan ayahan desa (tugas-tugas krama desa) Ayahan desa berupa : kerja bakti memperbaiki atau membangun pura milik desa adat, menyelenggarakan upacara Dewa Yajna (ngodalin) di pura milik desa, menyelenggarakan Bhuta Yajna (mecaru) di desa setiap tilem kesanga, melaksanakan upacara makiyis, menyelenggarakn pembangunan-pembangunan untuk kepentingan desa adat, dan melaksanakan tugas-tugas lainnya bagi desa adat.
2.    Wajib tunduk dan mentaati peraturan-peraturan yang berlaku bagi desa adat yaitu : awig-awig baik tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang telah berlaku. Selain itu warga desa adat berkewajiban pula menjaga keamanan dan ketentraman bersama, menjaga nama baik desanya dan melaksanakan suka-duka (gotong royong) antara sesamanya.
Menurut  Surpha (2000 : 23), mengemukakan bahwa :  
Didalam mekanisme kehidupan desa adat, maka warga desa adat, mempunyai hak-hak tertentu sebagai imbangan atas kewajibankewajibannnya yaitu : berhak untuk memilih kepala desa adat, ikut serta dalam sangkepan (rapat) desa adat, ikut serta dalam pemerintahan desa bersama-sama dengan prajuru lainnya berhak dipilih sebagai prajuru dan lain-lainnya”.
Tri Hita Karana adalah terdiri dari tiga kata yang meliputi : Tri atinya tiga, Harta berarti kemakmuran dan karana mengandung arti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kemakmuran.
Menurut  Sugira (2001: 21), mengatakan : “Tri Hita Karana adalah merupakan tiga unsur keseimbangan yang dapat mendatangkan kesejahteraan dalam kebahagiaan hidup manusia secara batiniah dan lahiriah sehingga terwujudlah apa yang menjadi tujuan hidup sesuai dengan ajaran Hindu”.
Pola pengertian Tri Hita Karana tidak hanya terdapat dalam alam desa adat, tetapi juga tercermin dalam bentuk-bentuk badan lainnya seperti subak, pasar dan lain sebagainya. Dalam kehidupan yang semakin modern terutama dalam era globalisasi ini dimana masyarakat dunia memberikan perhatian serius terhadap lingkungan, maka konsep Tri Hita Karana dapat diaktualisasikan sebagai berikut :
1.    Hubungan manusia dengan Tuhan.
2.    Hubungan manusia dengan sesamanya.
3.    Hubungan manusia dengan lingkungan.
Konsepsinya adalah bahwa manusia hidup sesuai dengan kodratnya senantiasa mengandung unsur untuk, mencapai kebahagiaan. Di dalam memenuhi tuntutan hidupnya itu manusia senantiasa tergantung pada manusia lain. Hubungan manusia dengan alam dimana ia hidup berpijak menimbulkan rasa cinta pada tanah tumpah darahnya. Alam mengandung potensi hidup dan penghidupan untuk setiap mahluk hidup. Kalau muncul manusia dengan alam dikembalikan pada sumbernya yang pertama akan sampai “ Super Natural Power” yakni Hyang Jagat Karana (Tuhan Yang Maha Esa).
Unsur-unsur tersebut yang masing-masing dapat dirumuskan secara singkat dengan Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa), manusia dan alam merupakan tiga unsur pokok dalam konsepsi religius interdepednce untuk menciptakan kesejahteraan hidup lahir batin dalam ajaran agama Hindu yang dijadikan pola dasar falsafah dalam mengukuhkan Desa Adat yang mengatur keseluruhan kepentingan para anggota masyarakat adatnya baik dalam keadaan suka maupun duka, sejak lahir sampai mati. Secara harafiah Tri Hita Karana yang berasal dari bahasa Sansekerta mengandung tiga makna kemakmuran, yang di sebut Parahyangan, Palemahan, Pawongan.
1.    Prahyangan berasal dari kata “Hyang” yang berarti Tuhan. Prahyangan berarti Ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Hyang Widhi. Hyang Widhi adalah Maha Pencipta (Prima Causa). Beliau adalah sumber dari segala yang ada. Beliaulah yang mengadakan alam semesta isinya. Beliau adalah asal dan tujuan akhir ari kehidupan.
2.    Palemahan, berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berarti Bhuana atau alam dan dalam artian yang sempit Palemahan berarti wilayah sesuatu pemukiman tau tempat tinggal.
3.    Pawongan, berasal dari kata Wong (Bahasa Jawa) yang berarti orang. Pawongan berarti perihal yang berkaitan dengan orang atau masyarakat.
Didalam hal ini penulis perlu melihat perkembangan Desa Adat di Bali yang mengacu pada Perda No. 3 tahun 2001, sehingga dapat diuraikan istilah sebagai berikut : “Masyarakat Hukum adalah masyarakat yang membentuk aturan hukumnya sendiri dan tunduk kepada aturan hukum yang dibuatnya”.
Menurut Muhammad (2001:23) merumuskan unsur-unsur dari masyarakat hukum sebagai berikut :           
1.    Kesatuan manusia yang teratur.
2.    Menetap disuatu daerah tertentu.
3.    Mempunyai penguasa-penguasa.
4.    Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berujud,
Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh.
Desa adat di Bali adalah persekutuan hukum adat dengan ciri-ciri seperti dikemukakan di atas, namun selain itu dalam desa adat dijumpai pula ciri-ciri yang bersifat khusus seperti upacara ngaben yang tidak ditemukan dalam jenis persekutuan dari daerah lainnya.

2.4.5.      Awig-Awig.
Awig-awig Desa Adat adalah merupakan keseluruhan hukum yang mengatur tata cara kehidupan bagi warga desa adat beserta sanksi dan aturan pelaksanaanya. Awig-awig berasal dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig artinya tidak rusak atau baik.  Awig-awig artinya sesuatu yang menjadi baik. Konsepsi inilah yang dituangkan kedalam aturan-aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sehingga menimbulkan suatu pengertian, bahwa awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama desa di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat , krama desa adat, keagamaan serta sanksi.
Awig-wig desa adat, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapa  ketertiban dan ketentraman masyarakat. Selain itu awig-awig juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan, sedangkan arti penting awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera di wilayah desa adat.
Awig-awig yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda, sanksi phisik, maupun sanksi psikologi dan yang bersifat sprirtual, sehingga cukup dirasakan sebagai derita oleh pelanggarnya. Kehidupan masyarakat di Bali tersusun dalam satu kesatuan desa adat yang mempunyai hukum sendiri yang di sebut awig-awig. Setiap desa adat mempunyai awig-awig, yang berlandasakan falsafah Tri Hita Karana (tiga dasar kebahagian).
Dalam upaya mewujudkan tujuan bersama seperti tersebut di atas masyarakat adat mempunyai tugas melaksanakan awig-awig dan ikut serta dalam mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan melalui paruman (rapat) yang bertujuan untuk menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan krama desanya, dengan tetap mengusahakan keseimbangan yang harmonis di desanya berlandaskan konsep Tri Hita Karana, sehingga bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati (awig-awig) akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan atau disharmonis skala niskal (dunia ahkirat). Untuk itu perlu adanya pemulihan terhadap ketidak seimbangan itu. Pemulihan ini juga dilaksanakan secara sekala dan niskala (dunia dan akhirat).
Jadi awig-awig desa adat adalah kesatuan peraturan desa adat yang tumbuh dari desa adat yang mengatur tata cara desa adat dalam keseharian yang disertai dengan sanksi-sanksi dan aturan pelaksanaanya yang juga digunakan sebagaim oleh prajuru (perangkat) desa dalam mengatur dan melindungi kepentingan warga atau anggota desa adat dalam seluruh sisi kehidupan warga desa adat yang juga merupakan hukum adat yang berlaku di wilayah desa adat.
Oleh karena itu membicarakan awig-awig desa adat maka desa adat tersebut merupakan teritorial atau wilayah yang di dalamnya sebagai dasar pengikatnya diperlukannya awig-awig desa adat. Maka desa adat itu merupakan persekutuan masyarakat yang bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, baik kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Masing-masing anggota merasa dirinya terikat turun temurun, ada anggota tertentu berkuasa untuk bertindak untuk kesatuan keseluruhannya, dari adat desa yang bersangkutan serta tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana. Dalam hal ini, sebelumnya penulis akan uraikan beberapa hal dan istilah yang ada dalam isi pokok awig-awig desa adat, adalah sebagai berikut :
Pertama, Tentang Batas-batas Desa Hendaknya dipastikan batas-batas berlakunya awigawig dengan tegas dan mudah diketahui atau dengan kata lain dipastikan wilayah serta ruang lingkup dari desa adat dimana awig-awig tersebut diberlakukan karena mengikat setiap desa adat akan mempunyai awig-awig tersendiri yang satu dengan yang lainnya tersebut berbeda.
Kedua, Tentang anggota desa dan kewajibannya menurut adat tradisional masing-masing Perlu juga untuk diketahui, bahwa dalam desa adat tersebut biasanya terdapat anggota yang utama atau disebut juga menampung anggota sampingan. Jadi karena adanya dua unsur berbeda ini, maka awig-awig yang diberlakukan haruslah bersifat fleksibel sehingga satu sama lain tidak merasa saling merugikan.
Ketiga, Tentang Parjuru atau Perangkat Desa Prajuru atau perangkat desa tersebut adalah anggota atau krama desa adat yang diberi kepercayan untuk mengatur pemerintahan yang diangkat oleh krama desa sendiri serta mengatur hubungan antar krama, lingkungannya dan hubungan keagamaan. Mulai dari persyaratan untuk menjadi prajuru adat sampai penertiban wewenang yang perlu diperinci secara pasti otoritas yang merupakan otonomi asli perlu dikembalikan sehingga prinsip kewenangan menyelesaikan sanksi-sanksi adat dapat dipertanggung jawabkan.
Keempat, Tentang Paruman.(Rapat Desa) Perihal paruman atau rapat-rapat didasarkan atas musyawarah mufakat. Dan mengenai ketentuan tempat rapat pada awig-awig itu sendiri, pakaian serta sarana-sarana yang lainnya.
Kelima, Tentang Kulkul atau Kentongan. Ketentuan bunyi kulkul perlu dipastikan sesuai dengan ketentuan menurut penggunaanya kecuali untuk menyatakan bahaya perlu diseragamkan untuk masing-masing Banjar dalam suatu Desa Adat.
Keenam, Tentang Upacara-upacara Agama (Yadnya) Kewajiban utama desa adalah menjunjung tinggi agama itulah sebabnya seluruh isi awig-awig hendaknya memperlancar pelaksanaan Upacara Agama.
Ketujuh, Tentang Ketertiban Status Orang-orang (Anggota krama desa)  Mengenai masalah perkawinan, perceraian, dan sentana ditandai dengan upacara yang disaksikan oleh Prajuru Desa Adat dan disiarkan ke seluruh wilayah desa kepada masyarakat, pula mengenai ahli waris hendaknya dihitung dari Pancer Purusa.Maksud dari diambilnya garis keturunan dari Pancer Purusa sudah kita ketahui bersama bahwa ahli waris yang sah di Bali dominannya terletak pada laki-laki (patrilineal) dalam pengertian ini, anak laki-laki sedemikian juga disebut anak sentana, sebutan atau istilah mana berasal dari sentana yang berarti pelanjut keturunan. Mengenai kata sentana ini, dikenal pula dalam penyebutan terhadap selain di atas seperti “Sentana Rajeg” yaitu anak wanita ditingkatkan kedudukannya menjadi anak sentana, berarti ia dianggap telah beralih status dari status perempuan ke status laki-laki.
Sedangkan dalam bentuknya yang lain ada pula penyebutan terhadap perkawinan, dimana seoarng laki-laki itu berdiam serta masuk kerumpun keluarga mempelai perempuan disebut “Kawin Nyentana”. Tetapi dalam arti sempit dimaksudkan atau disebutkan pula istilah yang dapat dipakai untuk menaikkan anak angkat dalam kedudukannya yang sudah disamakan dengan anak kandung setelah sah dilakukan pengangkatan itu lewat upacara meperas dan anak ini disebut “Sentana Perasan”.  Anak terakhir ini haruslah anak laki-laki atau setidaknya status anak yang diangkat setidaknya ditingkatkan menjadi laki-laki, sehingga tujuan pengangkatan anak yaitu untuk melanjutkan keturunan dapat dipenuhi. Sebab, menurut pengertian diatas, hanya anak sentana (anak laki-laki, anak wanita yang kedudukannya ditingkatkan menjadi anak lakilaki sentana rajeg) yang akan meneruskan keturunan keluarga dan menumbuhkan garis keturunan dari laki-laki (Status laki-laki yang purusa). Garis keturunan inilah yang dalam Hukum Adat Bali, akan tergambar jelas garis keturunan inilah yang nantinya mewaris.
Di dalam kehidupan orang Bali, dikenal bebrapa istilah atau pengertian dan macam anak. Anak sentana rajeg, seperti diuraikan di atas yaitu bila di dalam suatu keluarga hanya dapat dilahirkan satu anak dan wanita, maka anak ini diangkat statusnya menjadi berstatus laki-laki. Hal ini akan terjadi bila anak perempuan itu kawin keceburin (menarik suaminya masuk ke keluarga ayahnya atau tidak kawin). Sedangkan anak dalam arti anak kandung sendiri adalah anak laki-laki dan perempuan yang lahir dari perkawinan yang sah, dimana anak laki-laki adalah berstatus sama anak sentana rajeg di diatas. Sedangkan anak-anak perempuan adalah anak-anak yang tidak mewaris. Disamping itu di Bali dikenal juga istilah anak angkat anak ini sama kedudukannya dengan anak kandung sendiri karena status ini bisa mewaris dari harta kekayaan orang tuanya yang mengangkatnya sebagai anak kandung.
Kedelapan, Tentang Harta Kekayaan Desa. Segenap kekayaan desa seperti khayangan dengan tanah pelaba pura, karang desa seperti setra (kuburan) dan bangunan yang perlu mendapat kepastian, baik itu tempat, penggunaan maupun penyuciaanya, untuk lebih mengingat sejauh mana harta kekayaan itu sendiri, maksudnya mengenai tanah yang menjadi pokok di dalam kita membicarakan Harta Kekayaan Desa di atas. Tanah ayahan desa bukanlah menjadi hak milik perseorangan.
Tiap-tiap warga desa yang memegang tanah ayahan desa hanya memegang hak pakai secara turun-temurun, sedang hak milik atau status hak milik dari tanah ayahan desa masing-masing dipegang oleh desa, karena itu tanah ayahan desa pada prinsipnya tidak boleh dijual. Dijual dalam arti warga pemegang tanah ayahan itu, mengalihkan tanah ayahan desa itu kepada orang lain sebagai pengalihan hak milik namun demikian, penjualan tanah ayahan desa dalam arti yang dijual bukan hak milik tetapi hak pakainya, terbatas kepada hanya untuk orang-orang warga desa, dan seterusnya diberi batasan kepada mereka yang belum memegang tanah ayahan desa dan terbatasnya kepada mereka yang sudah turun ngayah.
Tentang Hakim Perdamaian Desa. Prajuru terutama Kelian Desa dianggap sebagai hakim perdamaian desa, dapat mengurus perkara-perkara warga desa yang berkenaan dengan adat, dan berhak memberi keputusankeputusan besar kecilnya ketentuan denda yang diserahkan kepada musyawarah desa dengan tidak mengabaikan unsur-unsur pertimbangan perikemanusiaan yang lebih utama adalah dimaksudkan untuk memegang teguh kesucian dan kekompakkan desa.

BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1. Tipe Penelitian.
Dalam penyusunan laporan praktium ini, kelompok III menggunakan metode deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Dimana metode ini merupakan cara didalam mengungkapkan dan menelaah permasalahan dengan mengambarkan dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan fakta yang ada, sehingga menghasilkan data yang bersifat deskriptif yaitu berupa kata-kata tertulis maupun lisan  dari orang-orang dan prilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif menurut Moleong (2008:6), bahwa: “Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain”.
Adapun Ciri-ciri atau karakteristik dari penelitian kualitatif menurut Arikunto (1997:13) adalah sebagai berikut :
1.    Mempunyai Sifat Induktif.
Yaitu pengembangan konsep yang didasarkan atas data yang ada, mengikuti desain penelitian yang flexibel sesuai dengan konteksnya maksudnya  desainnya bersifat tidak kaku sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dilapangan.
2.    Melihat setting dan respons secara keseluruhan dalam hal ini peneliti berinteraksi dengan responden.
3.    Memahami Responden.
Dari tolak ukur pandangan responden sendiri yang  dialami oleh peneliti tentang jati diri, interaksi tindakan dan interaksi sosial responden.
4.    Menekankan validitas penelitian-penelitian ditekankan pada kemampuan sendiri, peneliti dihadapkan langsung pada responden sehingga peneliti dapat menangkap dengan cermat apa yang diucapkan dan dilakukan oleh responden.
5.    Menekankan pada Setting Alami.
Penelitian kualitatif sangat menekankan  pada perolehan data asli, untuk itu peneliti harus menjaga keaslian kondisi jangan sampai mengubahnya.
6.    Mengutamakan Proses Daripada Hasil.
Dianjurkan pada peneliti untuk dapat melakukan pengamatan atau ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan responden agar hasil pengamatannya maksimal.
7.    Menggunakan Non-Probabilitas Sampling.
Karena peneliti tidak bermaksud menarik seara umum atas hasil yang diperoleh tetapi menelusurinya secara mendalam.
8.    Peneliti Sebagai Instrumen.
Maksudnya peneliti harus memiliki daya respon yang tinggi dan mampu menyesuaikan diri mengikuti kondisi lapangan.
9.    Menganjurkan penggunaan triangulasi.
Yaitu memilih informasi yang diperoleh dari sumber sehingga data yang absah saja yang digunakan untuk mencapai  hasil penelitian.
10.    Menguntungkan diri pada teknik dasar studi lapangan.
Kebenaran dapat diperoleh hanya dari lapangan yaitu dengan meneropong dan menganalisis lingkungan dengan cermat.
11.    Mengadakan analisis sejak awal.
Pada penelitian ini diharapkan dari sejak awal pengumpulan data sudah langsung menganalisis data untuk memecahkan masalah yang di hadapi.

3.2.      Instrumen Penelitian.
Instrumen penelitian menurut Sugiyono (2007:222), bahwa: ”dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri”. Dalam penelitin ini peneliti menggunakan instrumen manusia sebagai instrumen, dalam hal ini kelompok III sebagai peneliti sendiri.
Oleh karena didalam penelitan ini, instrumen yang digunakan adalah peneliti sendiri, maka diperlukan alat bantu atau perangkat penelitian untuk mengumpulkan data, meliputi: Komputer, kamera digital, tape recorder, flash dish, kendaraan bermotor untuk sarana transportasi dan alat tulis. Disamping itu agar data yang peneliti kumpulkan akurat dan berkualitas, maka peneliti harus memenuhi kriteria: mencakup ciri-ciri umum, kualitas yang diharapkan, dan kemungkian peninngkatan manusia sebagai instrumen.

3.3.       Unit Analisis dan Key Informan.
Menurut Arikunto, (1992: 11). Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian Yang menjadi unit analisis dalam praktikum ini adalah semua pihak yang terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
Menurut Nasution ( 2003 : 29 ) mengemukakan bahwa “dalam Penelitian kualitatif tidak yang dinamakan Populasi”. Dalam penelitian deskriptif dengan paradigma kualitatif pengambilan sampel dilakukan dengan Purposive Sampling (sampel bertujuan), karena penelitian kualitatif ini menjaring dan membutuhkan serta sebanyak-banyaknya informasi dari berbagai pihak atau berbagai sumber.
Moleong (2008:132) mendefinislkan informan sebagai :
Orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian meliputi nilai-nilai, sikap, bangunan, proses, dan kebudayaan. Informan yang dipilih harus memiliki pikiran yang sehat, jujur, patuh pada peraturan, suka berbicara, tidak terrnasuk salah satu dari kelompok yang bertetangan dalam latar penelitian, dan mempunyai pandangan tertentu tentang suatu hal atau peristiwa yang terjadi (mengetahui peristiwa yang telah terjadi).
Yang menjadi key informannya dalam praktikum ini  adalah:
1.    Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudyaan Kabupaten Badung
2.    Sekretaris Kecamatan Kuta
3.    Bandesa Adat Kuta.


3.4.      Sumber Data.
Menurt Sutopo (2002:49) ” sumber data dalam penelitian kualitatif dapat berupa narasumber (informasi), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman-rekaman”. Untuk itu, pada penelitian ini terfokus pada manusia sebagai nara sumber (informan) sehingga data yang digunakan akan lebih lengkap, mendalam, dan dapat dipercaya kebenarannya.

3.5.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang dilakukan dalam praktikum ini adalah:
1.       Studi pustaka, yaitu peneliti mengumpulakan data dengan mempelajari literatur-literatur maupun teori-teori yang relevan dengan masalah praktikum.
2.       Studi lapangan, yaitu peneliti mengumpukan data dengan melihat secara langsung terhadap objek yang diteliti meliputi :
a.         Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan terhadap objek yang dilihat secara nyata di lokasi praktikum.
b.      Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan lansung kepada pihak yang berkompeten dengan menggunakan pedoman wawancara tidak terstruktur. Adapun pihak yang diwawancara adalah:
1)      Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung;
2)      Sekretaris Kecamatan Kuta Kabupaten Badung; dan;
3)       Bandesa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.


3.6.  Teknik Analisis Data.
Analisis data adalah proses penyederhanaan data agar lebih mudah dibaca diinterpretasikan, dengan jalan mengumpulkan dan menata, mengatur data, mengorganisasikan kedalam suatu katagori dan satuan uraian dasar.
Analisis Data Kualitatif Menurut Bogdan dan Biklen ( dalam Moleong, 2008:248 ) Mengemukakan bahwa :“Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”.
Menurut Moleong (2008:288) ada empat jenis komponen secara umum dalam proses analisis data kualitatif  yaitu: “reduksi data, kategorisasi data, sintesisasi, dan diakhiri dengan menyusun hipotesis kerja”.
Adapun penjelasan dari keempat jenis komponen proses analisis data tersebut adalah sebagi berikut:
1.    Reduksi Data
a.    Identifikasi satuan (unit). Pada mulanya diidentifikasikan adanya satuan yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian.
b.    Langkah berikutnya adalah membuat koding. Membuat koding berarti memberikan kode pada setiap satuan, agar supaya tetap dapat ditelusuri data atau satuannya, berasal dari sumber mana.

2.    Kategorisasi
a.    Menyusun kategori. Kategorisasi adalahh upaya memilah-milih setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.
b.    Setiap kategori diberi nama yang disebut lebel.
3.    Sintesisasi
a.    Mensintesiskan berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya.
b.    Kaitan satu kategori dengan kategori lainnya diberi nama atau lebel lagi.
4.    Menyusun Hipotesis kerja
Hal ini dilakukan dengan jalan merumuskan suatu pernyataan yang proposional. Hipotesis kerja ini sudah merupakan teori substantif  (yaitu teori yang berasal dan masih terkait dengan data). Hipotesis kerja hakekatnya terkait dan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian.

3.7.      Rencana Pengujian Keabsahan Data.
Keabsahan data merupakan suatu usaha meningkatkan derajat kepercayaan data. Berkaitan dengan pengujian validitas instrumen, Arikunto (dalam Riduwan, 2004:109) menjelaskan "Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keandalan atau kesahihan suatu alat ukur". Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (realibilitas) menurut versi 'positivisme' dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan, kriteria dan paradigmanya sendiri. Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria serta sepuluh teknik yang digunakan dalam memeriksa keabsahan data menurut Moleong (2008:324) yaitu :“Kriteria Keabsahan Data terdiri dari :Derajat kepercayaan (creadibility), Keteralihan (transferahitity), Kebergantungan (dependability),  Kepastian (confirmability)”.
Adapun penjelasan dari keempat kritearia  keabsahan data di atas adalah sebagai berikut :
a)         Derajat Kepercayaan (credibility)
Penerapan kriterium derajat kepcrcayaan (kredibilitas) pada dasarnya menggantikan konsep validitas intenal dari nonkualitatif. Kriterium ini berfuirgsi untuk mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti sehingga  tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai.
b)        Keteralihan (transferabitity)
Kriterium keteralihan berbeda dengan validitas eksternal nonkualitatif. Konsep validitas itu menyatakan bahwa generalisasi suatu penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh pada sampel yang secara representative mewakili populasi itu. Dalam keteralihan, seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks. Dengan demikian peneliti bertanggung jawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya sehingga dapat membuat suatu keputusan tentang pengalihan tersebut.untuk keperluan itu, peneliti harus melakukan penelitian kecil untuk memastikan usahamemverifikasi tersebut.
c)         Kebergantungan (dependahility)
Kriterium kebergantungan merupakan subsitusi istilah Realibilitas Ditunjukkan dengan jalan mengadakanr replikasi studi. Jika dua atau beberapa kali diadakan pengulangan suatu studi dalam suatu kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama, maka dikatakan reliabilitasnya tercapai.
d)        Kepastian (confirmability)
Kriterium kepastian berasal dari konsep objektivitas yang menetapkan objektivitas dari segi kesepakaian antar subjek. Di sini pemastian bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Jika disepakati oleh beberapa atau banyak orang, maka dapat dikatakan objektif. Menurut Scriven (dalam Moleong, .2005:326), seiain itu masih ada unsur 'kualitas' yang melekat pada konsep objektivitas. Hal itu digali, dari pengertian bahwa jika sesuatu itu objektif, berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan. Pengertian inilah yang dijadikan tumpuan pengalihan pengertian objektivitas-subjektivitas menjadi kepastian (confirm-ability).


3.8.       Lokasi dan Waktu Praktikum.
3.8.1.      Lokasi Praktikum.
Praktikum dan kegiatan dalam bentuk Studi Lapangan dan Kunjungan Lembaga (SLKL) oleh jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNJANI tahun 2006 ini dilaksanakan  di Kabupaten Badung  Provinsi Bali selam tiga hari.

3.8.2.      Waktu Praktikum.   
Praktikum ini diselenggarakan di Kabupaten Badung  Provinsi Bali selama enam hari. Adapun jadwal kegiatan praktikum adalah, sebagai berikut:
Tabel 3.1 : Jadwal Praktikum
No
Tanggal
Acara
Penaggung jawab
1
05 februari 2011
Pembekalan praktikum
Tim jurusan
2
19 februari 2011
Pemberangkatan ke Bali
Panitia
3
21 februari 2011
Penerimaan oleh Pemerinthan Kabupaten Badung sekaligus kunjungan ke dinas-dinas
Panitia
4
22 februari 2011
Kunjungan ke kecamatan dan lembaga perkreditan desa adat LPD
Panitia
5.
23 februari 2011
Rekreasi
Panitia
6
24 februari 2011
Menuju kampus Unjani
Panitia
Sumber : Jadwal praktikum ilmu pemerintahan 2011.



BAB IV
HASIL PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN
4.1.        Hasil Praktikum.
4.1.1.      Gambaran Umum  Kabupaten Badung.
Kabupaten Badung merupakan salah satu dari sembilan  Kabupaten  atau kota Madya yang terdapat di Propinsi Bali dan terletak ditengah-tengah  Pulau Bali membujur dari utara sampai ujung selatan. Pada bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Tabanan, sedangkan bagian timur dengan Kabupaten Bangli, Gianyar serta kodya Denpasar.
Kabupaten Badung memiliki luas wilayah 418,52 kilometer persegi yang meliputi 6 kecamatan yaitu :  Petang, Abiansemal, Mengwi, Kuta Utara, Kuta selatan dan Kuta dengan 16 kelurahan, 45 desa, 357 banjar dinas, 147 Lingkungan, 119 desa adapt dan 523 Sekeha teruna.  Jumlah penduduk menurut registrasi penduduk tahun 2001 sebanyak 327.370 orang dengan kepadatan 782 jiwa setiap kilometer.
Sebagian besar penduduknya menganut agama Hindu dengan kegiatan dan upacaranya yang unik dan menarik yang terus berlangsung sepanjang waktu.  Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Bali dan bahasa Indonesia serta sedikit bahasa Inggris.  Mata pencaharian penduduk sebagian besar dalam sektor pertanian, perdagangan dan jasa.  Pendapatan daerah kabupaten Badung sebagian besar dari pariwisata.  Kabupaten Badung merupakan daerah tropis dengan dua musim yaitu musim kemarau april – oktober dan musim hujan Oktober – April.  Curah hujan pertahun antara 893 mm sampai 2.702 mm dengan kelembaban 79%.
Arah kebijaksanaan pembangunan di Kabupaten Badung dibagi menjadi tiga  wilayah pembangunan yaitu :
Tabel 4.1 : Arah Kebijakan di Kabupaten Badung.
No
Daerah
Wilayah pembangunan
1
 Badung Utara
Meliputi Kecamatan Petang dan Abiansemal dengan dominasi aktifitas perkebunan yang diarahkan pada komoditi ekspor dan penunjang pariwisata, potensi alam untuk obyek pariwisata, konservasi air dan tanah, industri kecil dan kerajinan rumah  tangga.  Potensi kepariwisataan badung utara diarahkan pada pariwisata agro dan petualangan dengan tidak mengganggu funggsi kawasan penyangga dan pelindung.
2
Badung tengah
Meliputi kecamatan Mengwi dengan dominasi aktifitas pertanian  tanaman, pariwisata, pengembangan fisik kota dan lainnya. Pengembangan potensi kepariwisataan diarahkan pada pariwisata budaya.
3
Badung selatan
Meliputi Kuta, Kuta Utara dan Kuta selatan dengan     aktifitas pariwisata, perdagangan, pusat pendidikan dan lainnya. Pengembangan pariwisata diarahkan sebagai kawasan pariwisata dengan berbagai fasilitas pariwisata

4.1.1.1. Visi dan Misi Kabupaten Badung.
1.    Visi kabaupaten Badung :
Melangkah bersama membangun Badung berdasarkan "Tri Hita Karana"  menuju masyarakat adil sejahtera dan ajeg.
2.    Misi Kabupaten Badung :
a.    Bidang Parahyangan; Peningkatan srada dan bhakti  masyarakat terhadapa ajaran agama, serta peningkatan eksistensi adat budaya dalam rangka mengajegkan Bali di era kekinian.
b.    Bidang  Pawongan; Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia di Badung, menata sistem kependudukan dan meningkatkan kesejahteraan sosial  masyarakat, meningkatkan perekonomian yang berbasis kerakyatan dan ditunjang oleh iklim kemitraan, mewujudkan kepastian hukum serta menciptakan ketentraman & ketertiban  masyarakat, mewujudkan kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance  & Clean Government)
c.    Bidang Pelemahan; memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah, mewujudkan pembangunan yang selaras & seimbang sesuai fungsi wilayahnya, melestarikan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

4.1.1.2.Letak  Geografi.
Kabupaten Badung merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Propinsi Bali. Ibu kotanya berada di Mengwi. Pada awalnya ibukota Kabupaten Badung berada di Denpasar, namun pada tahun 1999 terjadi kerusuhan besar di mana Kantor Bupati Badung di Denpasar dibakar sampai rata dengan tanah. Secara fisik Kabupaten ini mempunyai bentuk wilayah yang unik, yaitu menyerupai sebilah keris. Kabupaten Badung terletak pada garis lintang 08014′17″ LS – 08050′57″ LS dan pada bujur 115005′02″ BT – 115015′ 09″ BT serta membentang di tengah-tengah Pulau Bali. Secara geografis letak Kabupaten Badung sangat strategis. Kabupaten ini dibatasi oleh Samudera Hindia dari tiga arah mata angin, yaitu timur, selatan dan barat sehingga tidak mengherankan apabila Badung memiliki garis pantai yang cukup panjang. Pada garis pantai ini terdapat daerah wisata yang dikagumi wisatawan seperti Kuta, Sanur dan Nusa Dua.
Kabupaten Badung merupakan daerah berikilim tropis yang memiliki dua musim yaitu musim kemarau (April – Oktober) dan musim penghujan (Nopember – Maret). Rata-rata curah hujan 893,4 mm per-tahun sampai 2.702,6 mm per-tahun. Sedangkan suhu rata-rata 250 – 300 C dengan kelembaban udara rata-rata mencapai 79%. Kabupaten Badung ini mempunyai luas wilayah 420,09 Km2 atau sekitar 7,43% luas wilayah Pulau Bali. Jenis tanah di daerah ini beraneka ragam, namun didominasi oleh jenis tanah latosol. Batas-batas wilayahnya yang dijelaskan dalam  tabel dibawah ini :
Tabel 4.2 : Batas-batas wilayah Kabupaten  Badung.
No
Bagian
Kabupaten
1.     
Bagian utara
Samudera Hindia
2.     
Bagian timur
Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar, Kota Denpasar dan Samudera Hindia
3.     
Bagian selatan
Samudera Hindia
4.     
Bagian barat.
Kabupaten Tabanan dan Samudera Hindia

4.1.1.3. Keadaan Demografi.
Jumlah penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2009 berjumlah 425.277 jiwa yang terdiri dari penduduk kuta selatan 79.037 jiwa, kuta 47.092 jiwa, kuta utara. 68 429 jiwa, mengwi 111.354 jiwa, abiansemal 89.924 jiwa, dan petang 29.441 jiwa. Dengan  laju pertumbuhan 1017,04 jiwa per km2. Sebagaimana di jelaskan adal tabel 4.3 ( tabel kependudukan) dibawah ini:
Tabel 4.3 : Tabel Kependudukan.
No
Nama kecamatan
Jumlah penduduk
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kuta Selatan
Kuta
Kuta Utara
Mengwi
Abiansemal
Petang
79.037 jiwa
47.092 jiwa
68 429 jiwa
111.354 jiwa
89.924 jiwa
29.441 jiwa
Jumlah
425.277 jiwa
Laju pertumbuhan
1017,04 jiwa per km2
Sumber : http://www.badungkab.go.id
Sebagian besar penduduknya menganut agama Hindu, dengan kegiatan upacara keagamaan dan adanya yang unit dan menarik terus berlangsung sepanjang waktu. Bahasa pengantar yang umum digunakan masyarakat yaitu Bahasa Bali dan bahasa Indonesia serta sedikit Bahasa Inggris dengan mata pencaharian utama dari sektor pertanian, perdagangan dan jasa. Pendapatan Daerah sebagian besar bersumber dari sektor pariwisata. sebagaiman di sadari bahwa Kabupaten Badung merupkan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki industri wisata budaya yang telah terbawa di manca negara.
4.1.1.4. Pemerintahan.
Pembentukan Kabupaten Badung tidak terlepas dari terbentuknya Propinsi Bali pada tanggal 18 Agustus 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, yang menetapkan bahwa Daerah Nusa Tenggara dibagi menjadi tiga yakni Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Propinsi Bali. Pada tahun 1958 secara yuridis formal Badung telah menjadi Daerah Otonom yang terbentuk berdasarkan UU Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dalam wilayah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Dengan dibentuknya Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982. Sejak Februari 1992 sebagian wilayah Kabupaten Badung menjadi Wilayah Kota Madya Denpasar sehingga wilayah Kabupaten Badung menjadi seluas 418,52 Km2.
Kabupaten Badung ditunjuk sebagai salah satu dari 26 Daerah Tingkat II di 27 Propinsi sebagai percontohan Otonomi Daerah Tingkat II. Kabupaten Badung mengambil langkah-langkah dalam menyongsong pelaksanaan titik berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II.  Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Tahun 1991, Kabupaten Badung memperoleh skor 112 yang masuk dalam kategori tingkat IV atau tingkat tinggi. Sehingga dinilai sangat mampu untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah secara nyata dan bertanggung jawab. Secara administratif Kabupaten Badung terbagi menjadi 6 (enam) wilayah Kecamatan yang terbentang dari bagian utara ke selatan yaitu:
1.    Kecamatan Petang.
2.    Kecamatan Abiansemal.
3.    Kecamatan Mengwi.
4.    Kecamatan Kuta.
5.    Kecamatan Kuta Utara.
6.    Kecamatan Kuta Selatan.
Disamping itu, pada wilayah ini juga terdapat 16 Kelurahan, 46 Desa, 361 Banjar Dinas, 161 Lingkungan dan 8 Lingkungan Persiapan. Selain itu di Kabupaten Badung juga terdapat Lembaga Adat yang terdiri dari 126 Desa Adat, 523 Banjar dan 523 Sekaa Teruna. Lembaga-lembaga adat ini memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan di wilayah Badung pada khususnya dan Bali pada umumnya. Selain itu lembaga adat ini merupakan sarana yang sangat ampuh dalam menjaring partisipasi masyarakat. Sebagimana dapat dilihat pada tabel 4.4.(  tabel data lembaga adat) dibawah ini:
Tabel  4.4 : Data Lembaga Adat.
Lembaga
K E C A M A T  A N
 Kuta
 Selatan
Kuta
Kuta Utara
Mengwi
Abian
 Semal
Petang
 Jumlah
 PHDI
1
1
1
1
1
1
6
Desa Adat

9
6
8
38
32
27
120
Banjar Adat

40
34
23
211
122
48
478
Sekaa  Teruna

40
34
23
211
122
48
478
Subak
-
3
19
46
33
15

116
Jumlah
90
78
74
507
310
139
1.198
Sumber : http://www.badungkab.go.id
Sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Badung No. 341 Tahun 2002 tanggal 6 Maret 2002, tentang Penetapan Banjar Dinas/Lingkungan persiapan menjadi Banjar Dinas/Lingkungan di Kabupaten Badung, maka lingkungan yang dulunya persiapan (seperti yang tercantum dalam SK Bupati Badung No. 27 Tahun 2000) sekarang sudah definitif. 

4.1.2.      Keadaan Sosial dan Budaya.
1.        Ideologi.
Penduduk Kabupaten Badung yang di dominasi oleh mayoritas agama Hindu, Islam, Kristen, Katolik, dan Budha dan tidak mempengaruhi nilai-nilai keyakinan pada Ideologi Nasional Pancasila, yang salah satunya menyangkut masalah keyakinan pada sang pencipta, yaitu pada sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Namun Didalam keyakinan masyarakat Bali pada umumnya, khususnya masyarakat Kabupaten Badung masih meyakini kepercayaan Animisme dan Dinamisme, salah satunya kepercayaan terhadap benda-benda yang di anggap mistik dan adanya semacam prosesi sesaji untuk meminta keselamatan, dan fenomena ini tidak mengenal batas agama atau di yakini oleh seluruh anggota masyarakat. Dan hal ini yang menjadi salah satu sebutan Bali sebagai daerah mistik bagi para pendatang, dimana kesalahan sepatah kata pun bisa menjadi suatu akibat yang dapat mengganggu keselamatan dunia dan akhirat.
2.        Politik.
            Perubahan perilaku politik tata pemerintahan yang cukup fundamental dari perilaku yang sebelumnya serba terpusat, kepada perilaku yang lebih demokratis lewat kebijakan Otonomi Daerah. Pada masa sebelumnya segala sesuatu ditentukan oleh pusat (top down), dan keberadaan Pemerintahan di daerah merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Namun sejak di berlakukannya otonomi daerah yang sejatinya bertujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, dan sebagian dari upaya pemerintah untuk lebih mampercepat proses demokratisasi atau kedaulatan rakyat.
Demikian halnya dengan Perjalanan politik di Kabupaten Badung yang mengikuti mengikuti perkembangan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut Demokrasi Pancasila, hal ini adanya proses politik yang melibatkan warga masyarakat. Salah  satunya adalah di dalam pembuatan sebuah kebijakan oleh pemerintah melalui proses partisipasi masyarakat, dalam hal ini meletakan kepentingan masyarakat di atas segala-galanya sesuai dengan aturan Perundang-Undangan. 
Dengan adanya desentralisasi yang bertujuan memberdayakan potensi dalam bidang politik, ekonomi, administrasi, dan sosial kepada daerah, yang memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mengembangkan diri dengan berbagai cara tanpa keluar dari peraturan perundang-undangan. Salah satunya didalam pelaksanaan desentralisasi politik yaitu di berikannya kewenangan kepada daerah untuk memberdayakan proses demokrasi melalui proses pemilihan Kepala daerah dan Kepala Desa secara langsung.
3.      Ekonomi.
Nampaknya sampai saat ini Kabupaten Badung masih dikenal sebagai salah satu Kabupaten terkaya diantara sembilan Kabupaten atau Kota yang ada di Propinsi Bali.  Penilaian ini tentu tidak terlalu berlebihan karena pada kenyataannya pendapatan asli daerah (PAD)  sebagai salah satu indikator penilaian masih paling besar diantara kabupaten lainnya. Keadaan perekonomiaan Kabupaten Badung  yang tergambar dalam PDRB  berdasarkan harga yang berlaku 2005 mencapai 7.044 juta mengalami peningkatan pada tahun 2008  mencapai 10.593 juta ( angka sementara). 
Kontribusi  sektor-sektor terhadap pembentukan PDRB  Kabupaten Badung 2008 meliputi sektor primer; pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebaesar  Rp. 1. 031.931,90,-, pertambangan dan penggalian  R.p 6. 713,40,-, sektor sekunder; industri pengelolaan Rp. 252 438,51,-, listrik, gas dan air bersih Rp. 172.608,16,-, bangunan Rp. 683.665,04,-, sektor sertier; perdagangan hotel dan restauran Rp. 4.328.525,11,-, pengangkutam dan komunikasi Rp. 2.798.525,11,-, keuangan, persewahan,dan jasa perusahaan Rp 252. 807,93,-,  dan dari jasa-jasa sebesar Rp. 1.066.605,03,-,.
 Melihat dari data yang diuraikan diatas sumber perekonomian masyarakat Kabupaten Badung berasal dari bidang pertanian, peternakan,kehutanan, perikanan pertambangan dan penggalianinsdustri, pengelolaan bangunan, perdagangan hotel dan restauran, pengangkutam dan komunikasi, keuangan, persewahan,dan jasa perusahaan, jasa-jasa. Yang menjadi sumber perekonomian paling besar adalah sektor sertier.
4.      Keamanan.
Keamanan di Kabupaten Badung cukup stabil, dimana tidak adanaya konflik horizontal ataupun vertikal. Keamanan yang menjadi tanggung jawab kepolisian dapat terbantu dengan adanya polisi adat (pecalang), yang mana keberadaan polisi adat menjadi pihak keamanan di dalam kehidupan masyarakat. sebagaimana dalam menangani pemasalahan yang mengganggu keamanan dalam masyarakat polisi adat menangani masalah adat dan diluar menjadi wewenang polisi. Apabila di dalam permasalahan kehidupan masyarakat yang tidak bisa teratasi oleh hukum adat di selesaikan dengan hukum nasional.
5.      Agama.
Penduduk Kabupaten Badung tediri atas berbagai keyakianan/agama, yang mana mayoritas penduduk beragama Hindu, di ikuti dengan agama Islam, Kristen, Katolik, Budha. Yang dapat dilihat pada tabel 4.5. (tabel data umat beragama menurut  daerah kecamatan di kabupaten badung)  di bawah ini:



Tabel 4.5 :  Data Umat Beragama Menurut  di Kabupaten Badung.
Kecamatan
Agama
Hindu
Islam
Budha
Kristen
Katolik
Jumlah
Kuta Selatan
Kuta
Kuta Utara
Mengwi
Abiansemal
Petan

57.682
21.596
51.966
99.315
78.011
27.898
7.992
14.636
808
3.806
788
345
200
421
225
135
20
64

884
1.038
2.771
1.371
107
-

641
851
2.673
1.204
25
7

67.399
38.542
58.443
105.831
78.951
28.314

336,468   28.375       1.065        6.171            5.401         377.480
Sumber: Kandep Agama Kab. Badung – Jan 2009
6.        Kondisi Budaya.
Kondisi penduduk  penduduk Kabupaten Badung adalah  bermata pencaharian sebagai pegawai swasta dan Hindu sebagai agama yang paling banyak dianut oleh sebagian besar penduduk, berpengaruh terhadap kondisi budaya di wilayah Kabupaten Badung. Masuknya penduduk asing dan perubahan mata pencaharian Kabupaten Badung pada umumnya dan Kecamatan Kuta Selatan pada khususnya membawa pengaruh terhadap nilai- nilai budaya di kalangan masyarakat.
Pada kurun waktu satu hingga lima tahun kedepan, nilai- nilai budaya tradisional dilatar-belakangi oleh masyarakat pekerja ( karyawan ) dan nilai- nilai budaya Hindu serta nilai- nilai budaya yang baik lainnya diharapkan dapat dipertahankan dengan tetap bersikap terbuka terhadap nilai- nilai budaya yang terbawa bersama dengan derasnya arus informasi dan industrialisasi.
Guna membekali para siswa agar mampu  melakukan filtrasi terhadap nilai- nilai budaya baru yang tidak baik, maka sekolah  dapat membekali siswa dengan nilai- nilai budaya lokal yang berakar pada budaya yang berkembang di masyarakat melalui berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler baik di bidang seni tradisional, bidang keagamaan maupun bidang olahraga.
Keadaan sosial budaya Kabupaten Badung sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila, hal ini terlihat pada kehidupan antar umat beragama yang sangat harmonis, adanya kerja sama didalam kegiatan berbagai pembangunan sarana dan prasarana. Hal yan menjadi kekhasan dari Kabupaten Badung yaitu kehidupan masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi nilai adat-istiadat adalah adanya Undang-Undang Adat (awig-awig) yang mengatur  tata kehidupan bermasyarakat. Tingkah laku masyarakat yang menjunjung tinggi adat juga dapat terlihat pada bangunan-bangunan rumah, tempat ibadah, serta infrastruktur lainnya menggunakan arsitek yang sama berupa ukiran-ukiaran berbentuk pura.

4.1.3.      Perkembangan  Desa Adat di Kabupaten Badung.
Setelah kemerdekaan keberadaan desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tetap diakui terutama dalam pasal 18 UUD 1945, bahwa desa adat tercakup dalam pengertian “volksgemeenschappen” (persekutuan rakyat), dan dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa, oleh karenanya mempunyai susunan asli. Selanjutnya ditekankan bahwa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Namun demikian otonomi desa adat lambat laun dikurangi. Hal itu terlihat dari dikeluarkannya UU darurat No. 1 Tahun 1951. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat dan agama di Kabupaten Badung ditangani oleh dua lembaga pengadilan yaitu pengadilan Desa (Dorp Justitie, Village Justice) dan Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) yang kemudian menjadi pengadilan negri. Dengan demikian otonomi desa adat sebagai entitas hukum adat menjadi dibatasi. Bahkan lebih jauh lagi, berdasarkan keputusan Mahkamah Agung No 8 Januari 1958, dinyatakan bahwa hakim pengadilan negri tidak terikat oleh keputusan hakim perdamaian desa, mereka hanya diharuskan memperhatikan keputusan tersebut.
Kerangka paradigmatik pengaturan politik oleh Negara Kolonial Belandan dilanjutkan oleh UU No. 5 Tahun 1979 yang dapat dilihat dari dua tataran.
1)   Pertama, penerusan politik dualisme desa dimana pengaturan politik yang dibangun Negara memungkinkan tetap terjadinya dualisme pengertian desa di Bali yakni desa dinas (Keprebekelan) dan desa adat (Desa Pakraman). Desa dinas dijadikan desa pemerangkat pemerintahan yang terendah dan langsung dibawah camat. Sedangkan desa pakraman tetap mendapat pengakuan melalui pasal 18 UUD 1945. Implikasi lebih jauh dari dipertahankannya dualisme desa di Bali adalah semakin berkurangnya otonomi desa adat dari dari pengaturan dalam tiga ranah (Parahyangan, Palemahan dan Pawongan) menjadi hanya mengatur Parahyangan. Dua ranah yang lain diambil alih oleh desa dinas, karena desa dinas mengatur soal kesejahteraan dan pembangunan.
2)    Kedua, walaupun desa adat diakui keberadaannya oleh UU No. 5 Tahun 1979 , namun pada dasarnya Negara sangat membatasi otonomi desa adat. Hal itu terlihat dari: (a) Negara meletakkan pengakuan itu dalam kerangka paradigma politik developmentalisme dan integralistik ; (b) Sebagai turunan paradigma developmentalisme dan integralistik tersebut, dikeluarkan Permen Mendagri No. 11 Tahun 1984 tentang pembinaan dan pengembangan adat-istiadat di tingkat desa/kelurahan.  Dalam Permen Mendagri ini terjadi kekaburan batasan antara adat istiadat, kebiasaan dan lembaga adat. Sehingga, adat istiadat diberi pengertian kebiasaan-kebiasaan yang hidup serta dipertahankan di dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat sesuai dengan Pancasila.
Disamping itu dalam Permendagri lebih digunakan istilah pembinaan dan pengembangan yang memungkinkan adanya intervensi Negara pada otonomi desa adat. Permen Mendagri itu kemudian dilanjutkan dengan instruksi Mendagri  No. 17/1989 tentang pembinaan dan pengembangan lembaga adat di wilayah desa/kelurahan. Instruksi ini berisikan instruksi kepada Gubernur dan Bupati seluruh Indonesia untuk menetapkan Permen mendagri No. 11 tahun 1984.
Menindaklanjuti instruksi itu, di Propinsi Bali dikeluarkan Peraturan Daerah  No. 6 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Dati I Bali (Perda Desa Adat).  Dalam peraturan daerah  itu disampaikan bahwa desa adat merupakan kesatuan hukum adat. Namun dalam pasal 10 ayat 1 disampaikan bahwa desa adat disamping sebagai kesatuan masyarakat hukum, juga sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang tidak langsung di bawah camat.  Berdasarkan peraturan daerah  Desa Adat, pembinaan desa adat dilakukan oleh gubernur, yang dibantu oleh Majelis Pembinaan Lembaga Adat dan Badan Pembinaan Lembaga Adat. Berdasarkan peraturan daerah  No. 12 Tahun 1988 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Dinas Kebudayaan, maka Dinas Kebudayaan juga melaksanakan tugas pembinaan terhadap desa adat dan adat-istiadat di daerah Bali. Salah satu bentuk pembinaan adalah lomba desa adat.
Permendagri No. 11 Tahun 1984 diganti dengan Permen Mendagri No. 3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di daerah. Dalam peraturan itu ditegaskan bahwa dalam usaha melaksanakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat, kebiasaan masyarakat dan lembaga adat, Pemerintah Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dan atau langkah-langkah yang berdaya guna dan berhasil guna dengan berpedoman kepada Permen Mendagri ini setelah dimusyawarahkan dengan pemimpin atau pemuka adat di daerah. Dalam Permen ini juga dibedakan secara tegas istilah adat, kebiasaan, lembaga adat dan hukum adat.
Dengan demikian kerangka regulasi negara, baik pada tingkat nasional maupun lokal dalam bentuk Kepmen mendagri dan peraturan daerah  Desa Adat ternyata berakibat jauh pada terbukanya “ruang” bagi intervensi negara dalam wilayah-wilayah adat. Intervnsi itu menimbulkan akibat lemahnya posisi tawar desa adat dengan entitas-entitas ekonomi dan politik di luar desa adat.
Perubahan lingkungan politik yang sangat mendasar setelah kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, menimbulkan pergeseran paradigmatik di tingkat negara dalam melihat desa adat. Pergeseran itu terlihat dari:
1)      Pertama, dikeluarkannya Perda tentang Desa Pakraman tahun 2001 sebagai pengganti peraturan daerah  yang terdahulu yang mengatur tentang Desa Adat. Peraturan daerah  tersebut terkesan lebih aspiratif, memperkuat dan meghargai eksistensi desa adat di Bali.
2)      Kedua, adanya sejumlah konsesi ekonomi yang diberikan pemerintah propinsi dan kabupaten kepada desa adat. Pemerintah propinsi memberikan sepeda motor pada Bandesa Adat. Pemerintah Daerah Kabupaten Badung mengalokasikan 100 juta pada setiap desa adat di Badung.
3)      Ketiga, desa adat diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari di tingkat desa. Misalnya, ijin investasi harus mendapatkan persetujuan desa adat, setiap pendatang harus mendapatkan rekomendasi dari desa dinas dan desa adat.
4.1.4.      Gambaran Umum Desa Adat Kuta.
Meski berkembang  pesat sebagi kota citra rasa dunia kuta tetap teguh menjaga adat, budaya, agama, dan tradisinya. Kuta  mesih mamiliki  lembaga adat yang kuat, Desa Adat Kuta. Lembaga inilah yang menjadi penjaga benteng adat Bali di Kuta.
Desa adat Kuta mewilayai 13 (tiga belas) banjar adat dengan jumlah kepala keluarga sebayak 1.714 dan jumlah krama sebanyak 7.688 jiwa. Selain Krama desa, desa adat kuta juga memiliki krama tamu (penduduk pendatang) dengan jumlah yang cukup besar. Berdasarkan data di pemerintahan Kelurahan Kuta, jumlah penduduk yang memiliki KTP Kuta tercatat lebih 13.000 jiwa.ini berarti jumlah krama desa dengan krama tamu cukup berimbang. Bahkan, jika di hitung juga penduduk musiman atau penduduk yang tinggal sementara di Kuta, komposisi penduduk di Kuta menjadi lebih besar lagi.
Jumlah penduduk yang besar menyebabkan dinamika Desa Adat Kuta sangat tinggi. Persoalan yang muncul silih  berganti. Tidak hanya dalam hitungan hari, bahkan juga dalam hitungan jam. Karena itu Desa Adat Kutatidak semata-mata mengurusi masalah-masalah  adat dan budaya tetapi juga harus berperan dalam menangani maslah-masalahdi luar adat dan budaya itu berpengaruh berpengaruh besar pada kehidupan sosial, adat dan budaya masyarakat Kuta.
Desa adat kuta mesti memikul tanggung jawab yang besar untuk menjaga keajengan adat, budaya, dan agama. Sejak dulu Desa Adat Kuta memiliki amongan (tanggung jawab) sejumlah pura yakni pura khyangan tiga (pura desa, pura puseh,serta pure dalem) serta pura-pura lainnya seperti pura penyarikan, Pura Segara, Pura Pesanggaran dan Pura Cedok Waru. Untuk melihat jumlah krama  desa adat di desa adat kuta  dapat melihat pada tabel 4.6 (tabel jumlah krama Desa Adat Kuta) di bahwah ini:





Tabel 4.6 : Jumlah Krama Desa Adat Kuta
No
Banjar
Jumlah kepala keluarga
Jumlah krama/warga
1
Pandea mas
151
712
2
Pangebetan
175
678
3
Pering
69
317
4
Pelasa
176
808
5
Pemamoran
124
569
6
Temacun
95
416
7
Tegal
121
538
8
Buni
136
707
9
Teba sari
65
416
10
Jaba jero
127
605
11
Anyar
145
677
12
Segara
252
1.025
13
Mertajati
78
308
Jumlah
1.714
7.688
Sumber: lembaga desa adat kuta

4.1.5.      Tugas dan Wewenang Desa Adat Kuta
Sejak dikeluarkan Peraturan Daerah No 3 tahun 2001, sebutan Desa Adat diganti menjadi desa pakraman. Dalam peraturan daerah provinsi nomor  3 tahun 2001 Tentang Desa Pakraman pada Bab III pasal 5 yang menjdi tugas desa pakraman sebagi berikut:
1.    Membuat awig-awig.
2.    Mengatur krama desa.
3.    Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa,
4.    Bersama-sama pemrintah melaksanakn pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan masyarakat.
5.    Membina, mengembangkan nilai-nilai budaya bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan, kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan “paras-paros saguluk, salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat).
6.    Mengayomi krama desa.
Dalam peraturan daerah provinsi nomor  3 tahun 2001 Tentang Desa Pakraman pada Bab III pasal 5 yang menjadi wewenang desa pakreman sebgai berikut:
1.    Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antara karma desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.
2.    Turut  serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanakan pembangunan yang ada di wilayahnya terutam yang berkaitan  Tri Hita Karana.
3.    Melakukan perubahan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.

4.1.6.      Struktur Organisasi Desa Adat Kuta.
Struktur organisai dan tata kerja Desa Adat kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung adalah sebagai berikut:
Bandesa adat kuta: AA KETUT SUDIRA
Penasehat:
1.    I MADE WENDRA
2.    JRO MANGKU MD SUWEDJA
3.    DEWA PT NGURA
4.    I NENGAH CIPTA
5.    JRO MANGKU MD. SUDANA YASA

Panglima:
1.    Pahryangan: I MADE DARSA
2.    Palemahan: I MADE NERTA
3.    Pawongan: I GUSTI RAKA BAWA
Penyarik I: I MADE GUNAWAN
Penyarikan II: I WAYAN MUSTIKA
Penyarikan III: I NYOMAN DANA ARIYANA
Pasayahan:
1.    Pahryangan:
a.    I Md Kantra
b.    I Kmg Alit Ardana
c.    I Wyn Wirta
d.   S Bgs Nym Oka
e.    I Gst Ketut Suardana
f.     I Wayan Budi
2.    Palemahan:
a.    I Wyn Wena
b.    I Wayan Artana
c.    A.A Salit Rai Karnata
d.   I Neneng Sudira
e.    I Nengah Sudira
f.     I Nym Kendi
g.    I Wyn Mujana
3.    Pawongan 
a.    I Wyn Lendra
b.    I Kt Sandira
c.    I Kt Sugita
d.   I Nym Gd Ariyana
e.    Wayan Tresa Yasa
f.     Wayan Ismoyo
g.    I Md Suantra

4.2. Pembahasan.
Dalam sub bab ini tim peneliti  akan mencoba membahas hasil penelitian mengenai tentang “ Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung”. Untuk mempermudah pembahasan, maka peneliti membagi sitematika hasil penelitian dan pembahsan sebagai berikut :
a.       Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
b.      Hambatan-hambatan dalam pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
c.       Upaya-upaya pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.

4.2.1. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
Kearifan lokal adalah  sikap, pandangan, dan  kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada.
Kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung Kabupaten Badung. pada umumnya dan kabupaten Badung pada khususnya  pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat adat (krama) mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan nilai kearifan desa adat bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan  interaksi antara kearifal  budaya lokal   Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung Kabupaten Badung. dan  kearifan  lokal  budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam  seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India.
Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri.
Kearifan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung khususnya sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam  nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga dikenal adanya konsep Tri Semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran Hukum Karma Phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Nilai-nilai kearifan masyarakat  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang mencakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan. Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Ketahanan budaya Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga ditentukan oleh sistem sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisionalseperti banjar, desaadat, subak (organisasipengairan), sekaa(perkumpulan), dan dadia (klen). Keterikatan masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap lembaga-lembaga tradisional tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara struktural bagi ketahanan budaya Kabupaten Badung.  Masyarakat  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. sangat terikat oleh beberapa lembaga sosial seperti tersebut di atas. Lembaga tradisional seperti desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya.
Adapun pembahasan tentang indikator dari masing-masing dimensi dari Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dapat dilihat dari uraian sebagai berikut:
 4.2.1.1  Mampu Bertahan terhadap Budaya Luar.
4.2.1.1.1.      Pelaksanaan awig-awig Masih tetap Berjalan  di Desa Adat.
Pelaksanaan awig-awig masih tetap berjalan di desa adat,  oleh karenanya hal ini mampu memelihara nilai-nilai kearifan lokal  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masih  tetap bertahan dalam arus industri wisaya yang membawa beragam kebudayaan. Pelaksanaan awig-awig dalam tata kehidupan desa adat merupakan pondasi  bagi eksistensi Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung khususnya. Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi krama desa di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat , krama desa adat, keagamaan serta sanksi.
 Awig-awig Desa Adat  Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sangatlah diperlukan karena awig-awig desa adat merupakan benteng pertahanan paling kuat di Badung dalam menghadapi lajunya budaya luar. Pelaksanaan awig-awig desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masih tetap berjalan di desa adat, hal ini di buktikan eksistensinya dengan Peraturan Daerah  Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam awig-awig adalah suatu tatanan nilai yang mengatur kehidupan bersama dalam hubungan  warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh warganya. Sehingga awig-awig masih tetap bertahan dalam kehidupan  masyarakat adat meski dalam arus industri wisata di Kabupaten Badung.

4.2.1.1.2.      Tata kehidupan krama adat Masih Mengikuti Landasan Tri Hita Karana.
Tata kehidupan Krama Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang mengikuti landasan Tri Hit Karana merupakan  suatu pemahaman yang terpola dari setiap individu atau kelompok untuk selalu mengikuti nilai-nilai kearifan lokal yang sudah lama tumbuh. Tri Hita Karana adalah tiga unsur keseimbangan yang dapat mendatangkan kesejahteraan dalam kebahagiaan hidup manusia secara batiniah dan lahiriah sehingga terwujudlah apa yang menjadi tujuan hidup sesuai dengan ajaran Hindu. Konsep Tri Hita Karana dapat diaktualisasikan sebagai berikut :
1)      Hubungan manusia dengan Tuhan.
2)      Hubungan manusia dengan sesamanya.
3)      Hubungan manusia dengan lingkungan.
Melihat dari definisi diatas sangatlah jelas sehingga ketika budaya luar masuk kedalam masyarakat adat, nilai-nilai kearifan lokal tidak akan mudah pudar dan tenggelam. Sebagaimana  kami sadari bahwa tata kehidupan yang berkiblat  pada landasan agama tidak akan runtuh oleh budaya manapun.    Salah satu nilai-nilai kearifan lokal yang sampai hari ini tetap terpelihara di contokan dengan pemberian sesajen oleh warga desa adat sebagi rasa syukur  disetiap pagi.

4.2.1.2.Memiliki Kemampuan Mengakoordinasi Unsur‑Unsur Budaya Luar.
4.2.1.2.1. Sikap Toleransi yang Tinggi Masyarakat Desa Adat terhadap Tata Kehidupan Baru di Kenal.
Nilai- nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung khususnya adalah  sikap toleransi yang tinggi dari masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap unsusr-unsur budaya luar, hal ini  merupakan suatu perwujudan dalam mengkoordinasikan unsur-unsur budaya luar, sehingga tercipta satu integritas (tujuan bersama)  dalam kehidupan masyarakat yang aman dan tentram.
Dalam kebudayaan Desa Adat kabupaten badung  terdapat nilai-nilai yang mengakui adanya perbedaan atau pluralitas. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam konsep Rwa Bhineda (dua hal yang berbeda atau oposisi biner). Perbedaan kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sangat diakui karena adanya faktor desa (tempat), kala(waktu) dan patra (keadaan atau kondisi). Konsep desa, kala, dan patra ini sering dijadikan pembenar oleh masyarakat  Desa Adat Kabupaten Badung mengenai adanya perbedaan adat-istiadat atau kebudayaan antara daerah yang satu dengan daerah lain di Kabupaten Badung.
Lebih lanjut, dalam kebudayaan Kabupaten Badung juga terdapat nilai-nilai toleransi dan persamaan yang didasarkan atas konsep Tat twam asi (dia adalah kamu). Dengan konsep Tat Twam Asi masyarakat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung toleran kepada orang lain karena mereka beranggapan bahwa orang lain juga sama dengan dirinya.
Fenomena ini mencerminkan tingginya toleransi dalam masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya konsep Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan benar. Yang dapat digambarkan dengan dengan  sikap masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung  yang tidak terlalu mempermasalahkan budaya yang ke barat-baratan masuk dalam lingkungan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung misalnya dari segi berpakaian.

4.2.1.2.2.   Adanya Sistem Kekerabatan Yang Kuat di dalam Desa Adat Kabuapten Badung.
Sistem kekerabatan dalam Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang kuat dapat dilihat dari  lanadasan  tata kehidupan masyrakat Desa Adat  Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung pada Tri  Hita karana  dengan salah satu konsepsi hubungan manusia dengan manusia,  bahwa Di dalam memenuhi tuntutan hidupnya manusia senantiasa tergantung pada manusia lain.  Dari falsafah ini sangatlah jelas ada suatu nilai-nilai kearifan lokal yang  mengsinergikan manusia dalan satu ikatan kekerabatan.
Desa merupakan suatu wadah sosial masyarakat adat dalam  mensinergikan  beberapa tujuan menjadi satu kesatuan dalam suatu masyarakat adat. Keyakinan krama desa ( masyarakat adat ) terhadap pemimpinya (bandesa adat) merupakan suatu bentuk sistem kepercayaan yang besar terhadap pemimpin oleh karenanya desa adat merupakan sebagai suatu wadah dalam pembentukan sistem kekerabat dalam masyarakat adat.
Demi memlihara kekerabatannya masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menganut  aspek keseimbangan dan harmonisasi dengan Tuhan, sesama manusia, dan hubungannya dengan lingkungan fisik. Masyarakat  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mengenal konsep Tri Hita Karana Tri Hita Karana secara harfiah artinya adalah tiga faktor yang menyebabkan kesejahteraan yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan yang harmonis dan seimbang dengan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan yang harmonis dan seimbang dengan lingkungan alam sekitar ( palemahan ).
Hubungan sesama manusia dalam masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dikenal pula dengan konsep nyama braya Nyama adalah kerabat dekat, dan braya adalah kerabat jauh. Sebagaimana diketahui bahwa di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terdapat kantong-kantong hunian masyarakat Islam. Kelompok masyarakat Muslim tersebut memiliki sejarah yang erat dengan raja-raja atau para penguasa Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung di masa lalu, sehingga mereka sering disebut dengan istilah “ nyama selam ” atau saudara Islam atau muslim .
Selain masyarakat Islam, di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga banyak bermukim orang-orang Cina bahkan mereka telah menyatu dengan masyarakat dan kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Hubungan kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan Cina dapat dikatakan telah berlangsung lama. Berbagai komponen budaya Cina telah menyatu atau diadopsi dalam kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung antara lain: pemanfaatan uang kepeng (uang Cina) sebagai alat transaksi dan kebutuhan upacara di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, dan beberapa jenis kesenian.

4.2.1.3.     Mempunyai Kemampuan Mengintegrasikan unsur Budaya Luar ke dalam Budaya Asli.
4.2.1.3.1        Mensinergikan Design Modern-Tradisional.
Masyarakat dan kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tidak luput dari perubahan di era gloalisasi. Desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung kini tengah mengalami suatu paradok yakni cenderung mengadopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan), namun di sisi lain juga sedang mengalami proses parokialisme atau kepicikan yang timbul karena fokus beralih pada lokalitas, khususnya kepada desa adat.
Dalam memelihara katahanan nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menciptakan design baru dalam pengembangan budaya yaitu dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan perkembangan  budaya luar yang lebih mengikuti perkembangan zaman. Design ini dapat  dicontohkan dengan penggunaan alat-alat elektronik dan tekhnologi  dalam suatu pertunjukan budaya. Namun Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mengadopsi budaya modern tampaknya masih tetap berpegang kepada ikatan-ikatan tradisi dan sistem nilai yang dimilikinya.

4.2.1.3.2.   Akulturasi Budaya.
Dalam proses akulturasi budaya  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung  masih memlihara nilai-nilai kearifan lokal  yang di dasarkan pada Konsep desa, kala, dan patra,  hal ini menyebabkan kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar.
Dalam sejarah tercatat bahawa nilai-nilai kearifan lokal di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung pernah mengalami suatu komunikasi dan interaksi antara kebudayaan asli  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan budaya luar seperti India  (hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian. Interaksi ini telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukan. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan desa adat bersifat fleksibel dan adaptif  khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri.
Adapun hal lain yang menjadi contoh dari hasil  akulturasi antara Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan dengan Cina adalah kesatuan masyarakat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam satu sistem kekerabatan. Integritas ini disebabkan oleh adanya kesamaan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam agama Hindu dan Budha. Toleransi yang terdapat dalam ajaran agama Hindu (Tat Twan Asi, Tri Hita Karana, menyama braya ) dan nilai-nilai yang seperti ini dapat dilihat dengan  adanya  masyarakat Cina di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga melakukan integritas struktural.
Kenyataan masyarakat Cina di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menunjukkan bahwa mereka ikut menjadi makrama desa adat . Komunitas Cina di desa tersebut menjadi anggota desa adat dengan segala hak dan kewajibannya seperti rekan-rekannya dari komunitas Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Masyarakat Cina memasuki pranata-pranata sosial yang ada di desa adat. Sebagai anggota karma desa masyarakat Cina di desa adat ikut gotong royong ( ngayah ) di pura kahyangan tiga (tiga pura utama di setiap Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yaitu Pura Puseh, Desa dan Dalem ) di desa tersebut, sehingga mereka juga mendapat hak yaitu tanah ulayat desa untuk tempat pemukiman mereka, bahkan mereka semuanya memeluk agama Hindu.

4.2.1.4.     Mempunyai Kemampuan Mengendalikan.
4.2.1.4.1.   Masih Bertahannya Awig-awig Dalam Masyarakat Adat.
Nilai-nilai kearifan lokal di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mampu mengendalikan masyarakat desa adat dengan masih mempertahankan awig-awig dalam tata kehidupan masyarakat. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman atau krama pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana.
Dalam memelihara  hubungan harmonisasi  dalam tata kehidupan masyarakat desa adat. Awig-awig merupakan satu-satunya panduan ataupun pedoman bagi masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam memlihara hubungannya dengan tuhan Yang Maha Esa, hubunganya dengan sesama, dan hubunganya dengan lingkunganya. Sehingga  masyarakat desa adat dalam menjaga keajengan agama Hindu-nya  selalu berpedoman dan mempertahankan awig-awig.
  
4.2.1.4.2.      Adanya Kepercayaan  terhadap Bandesa Sebagi Tangan Tuhan.
Anggapan masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap bandesa sebagai tangan tuhan  sangatlah besar, kenyataan ini merupakan bentuk nilai-nilai kearifan lokal masyarakat terhadap  kepercayaan  terhadap pemimpinya.  Dengan besarnya nilai kepercayaan terhadap bandesa sebagai tangan tuhan, hal ini mampu mengendalikan masyarakat terhadap penyimpangan dan tindakan yang bertentangan dengan Ti hita Karana  yang menjadi konsep keseimbangan agama Hindu.
 
4.2.1.4.3.      Adanya Nilai Keseimbangan dalam Nilai-nilai Kearifan Lokal Desa Adat.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung  juga dikenal adanya konsep Tri Semaya yakni persepsi masyarakat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap waktu. Menurut masyarakat Desa Adat  Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan. Dari falsapah ini  mengambarkan terdapat nili-nilai kearifan lokal desa dalam mengendalikan tingkah laku masyrakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam tata kehidupannya tentang berhati-hati dalam melakukan sesuatu.

4.2.1.5.     Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
4.2.1.5.1.   Awig-awig Masih dijadikan sebagai Pedoman  Kehidupan Sehari-hari.
Dalam memlihara kehidupan masyarakat  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, awig-awig masih dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Disadari bahwa  awig-awig yang berdasrkan Tri Hita Karana  mampu menuntun masyarakat dalam kesimbangan yang dapat mendatangkan kesejahteraan dalam kebahagiaan hidup manusia secara batiniah dan lahirian sehingga terwujudlah apa yang menjadi tujuan hidup sesuai dengan ajaran  Agama Hindu. 
Awig awig  yang berdasarkan pada ajaran agama telah di yakini oleh masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sebagai panduan bagi masyarakat adat untuk mencapai kesejahteraan dan tujuan hidup sebagai  manusia, sehingga meskipun dengan perubanh dan perkembangan jaman awig-awig masih tetap menjadi acuan dan pandangan hidup bagi masyarakat adat.

4.2.2.      Hambatan-hambatan dalam pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
4.2.2.1.      Hambatan dari dalam Desa Adat:
Adapun hambatan yang muncul dari dalam desa adat antara lain:
Dalam pelaksanaan pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal  sangat diperlukan pemerinathan  desa adat yang tangguh baik penggerak intasi maupun kelembangaan dalam   melaksanakan pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal tersebut yang mana pemerintahan  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung memegang peranan penting dalam keberhasilan pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal  oleh karena itu pemerintahan desa adat perlu mendapat perhatian khusus.
Pemerintahan desa merupakan  pelaksana  dalam pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal agar dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan atau direncanakan, dengan adanya pemerintahan desa yang baik baik dari segi kelembangaan ataupun pemerintah desa adat untuk pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal. Namun yang menjadi hambatan dalam  pelestarian nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Badung sebagi berikut:
1.    Lemahnya kapasitas lembaga desa adat:
Dimensi teknokrasi dari kelembagaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masih lemah. Hal ini terlihat dari kompetensi Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam menjalankan mekanisme kelembagaan, sehingga struktur kelembagaan tidak bisa berjalan secara fungsional. Struktur yang ada juga jadi bersifat formal.

2.    Governance desa adat
 Salah satu yang menjadi persoalan dalam Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung adalah transparansi dan akuntabilitas lembaga Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Akuntabilitas menjadi agenda penting karena beberapa tempat muncul protes terhadap prajuru karena dianggap tidak transparan (mengwi) dalam mengelola dana dalam hal ini mampu mengurai nilai kepercayaan krama terhadap desa adat.
3.    Sosil budaya
Keadaan sosial dan kebudayaan di daerah akan sangat mempengaruhi didalam keberhasilan  suatu pelestarian nilai-nilai budaya,  hal ini karena  dengan keadaan sosial dimasyarakat  yang sangat kental dengan pola prilaku yang dimiliki oleh masyarakat tersebut semakin baik keadaan sosial di daerah itu makan akan semaking mudah pula di dalam pelaksanaan pelestarian nilai-nilai budaya dan sebaliknya semakin buruk keadaan sosial di daerah itu maka akan semakin susah juga didalam pelaksanaan suatu usaha pelestraian nilai-nilai kearifan lokal.
Melihat dari keadaan masyarakat  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang multi-kultur  dan multi-dimensi hal ini akan menjadi penghambat pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.  Dengan keadaan sosial yang multi dimensional diperlukan sikap toleransi yang tinggi bagi masyarakat yang bukan masyarakat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung untuk menerima perbedaan adat dan istiadat atau nilai-nilai kerifan lokal  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang berdasarkan ajaran agama Hindu yaitu Tri Hita Karana  ataupun sebaliknya.

4.2.2.2.Hambatan dari luar.
Adapun hambatan dari luar, antara lain :
1.    Arus globalisasi.
Era gloBalisasi yang dicirikan oleh perpindahan orang, pengaruh teknologi, pengaruh media informasi,  aliran uang dari negara kaya ke negara miskin, dan pengaruh ideology seperti HAM dan demokrasi  tidak dapat dihindari terhadap kebudayaan Desa Adat Kabupaten Badung dan etnik lain di indonesia. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidak-seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul dimana-mana, kepatuhan hukum semakin menurun, kesantunan sosial mulai diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersial, serta uang dijadikan sebagai tolak ukur dalam kehidupan.
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global menjadi semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi juga telah merambah wilayah kehidupan agama yang seraba sakaral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di banyak kalangan masyarakat.
2.        Arus Imigrasi Penduduk.
Menjadi salah satu daerah yang maju di bidang pariwisata  des adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tersorot menjadi tempat bagi para pendatang untuk mengubah nasif dan belajar berbudaya.   Kabupaten Badung merupakan salah satu dari beberapa kabupaten yang di Bali yang sukses dengan industri pariwiasata budayanya. Kedatangan para pendatang di tengah-tengah masyarakat  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang kental dengan kebudayaan bukan menjadi masalah bagi pendatang namun hal ini menjadi masalah  desa adat bagi pelestarian nilai-nilai kearifan lokal karena setiap penduduk pendatang membawa nilai-nilai kearifan lokal  dari asalnya yang mampu merubah sistem kebudayaan masyarakat desa adat.
Masuknya penduduk pendatang ke Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan membawa budaya baru bagi masyarakat  desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dari  cara berinteraksi, berpakaian ataupun sistem kekrabatnnya. Mempu menghambat pelestararian nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini telah terpelihara dalam Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.


4.2.3.      Upaya-upaya Pelestarian Nilai-nilai  Kearifan Lokal Masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
Beberapa upaya dalam pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, antara lain:
1.    Perlindungan terhadap nilai-nilai keraifan lokal Desa Adat.
Nilai-nilai kearifan lokal memegegang peran yang sangat penting dalam tata kehidupan masayarakat. Saat ini masalah tentang lupa akan jati diri merupakan suatu permasalahan yang fenomenal sehingga menjadi pusat perhatian bagi bagi tatanan Pemerintah Pusat maupaun Pemerintah Daerah untuk mengembalikan kembali eksistesi nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat lokal.
Menyadari pentingnya nilai-nilai kearifan lokal pemerintah Kabupaten Badung mengukuhkan eksitensi desa adat dalam peraturan daerah No 3 tahun 2001 tentang desa pakreman. Desa pakraman merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai oleh ajaran hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu diayomi dilestarikan dan diberdayakan.
2.    Pembinaan terhadap Desa pakraman.
Pembinaan kepada desa adat pakreman atau desa adat sejalan dengan  visi dan misi pemerintahan daerah Kabupaten Badung yaitu ”Melangkah Bersama Membangun Badung Berdasarkan  Tri Hita Karana Menuju Masyarakat Yang adil Dan Sejahtera”. Visi ini dijabarkan dalam pembangunan Kabupaten Badung yang kemudian menjadi payung bagi Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung dalam menyusun kegiatan dalam memberdayakan dan melestarikan lembaga-lembaga tradisional di Bali.
Adapun beberapa tugas pokok Dinas Kebudayaan dalam melakukan pembinaan, pemberdayaan, dan pengembangan  desa adat diantara adalah sebagai berikut:
1.    Pelestarian; upaya yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara desa pakreman atau desa adat serta nilai-nilai etika, moral dan adab yang merupakan inti adat istiadat, agar keberadaanya tetap terjaga dan berkelanjutan.
2.    Pemberdayaan ; serangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan desa pakreman atau desa adat beserta adat istiadatnya semangkin kokoh sehingga dapat berperan aktif  dalam pelaksanaan pembangunan nasional dan berguna bagi masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan tingkat kemajuan dan perkembangan zaman.
3.    Pengembangan; upaya yang terencana terpadu dan terarah agar desa pakreman atau desa adat dan adat istiadatnya dapat tumbuh dan berubah. Sehingga mampu meningkatkan perananya dalam pembangunan sesuai dengan perubahan sosial budaya dan ekonomi yang sedang berlaku.
Tujuan diadakan pembinaan kepada desa pakreman atau desa adat antara lain untuk mewujudkan kelestarian budaya, sehingga desa pakreman mampu melakukan upaya-upaya;
1.    Menggali dan melestarikan adat istiadat sebagu salah satu unsur sumber  daya kebudayaan daerah yang dijiwai oleh agama Hindu guna memperkuat jati diri serta memperkaya khazanah kebudayaan nasional.
2.    Memberdayakan serta meningkatkan peranan dan fungsi lembaga adat khusunya desa pakreman atau desa adat dalam mendukung pembangunan daerah serta mampu mengantisifasi pengaruh-pengaruh dari luar.
3.    Mewujudkan pelesterian kebuadyaan daerah sebgai bagian dari kebudayaan nasional yang mengandung nilai-nilai moral, etika, dan estetika yang luruh.
4.    Mewujudkan peningkatan sumber daya manusia  di kalangan prajuru desa pakreman atau desa adat dan kramanya dalam upaya meningkatkan peran serta masyrakat untuk mendukung jalannya pemerintahan, pelaksanaan pebangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
5.    Mewujudkan kegiatan secara terencana, terpadu dan terarah untuk pengembangan lembaga-lembaga adat yang ada khusunya desa pkraman atau desa adat beserta adat istiadatnya, sejalan dengan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat menuju kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin.
6.    Mendorong terciptanya sikap demokratis adil dan obyektif, serta transparan di kalangan penjuru dan kramanya dalam memecahkan permasalahan yang di hadapi  namun tetap mengedepankan azas muasyawarah mufakat.
Sejalan dengan tujuan dari pembinaan, maka materi pembinaan diarahkan untuk menggali, melestarikan, dan mengembangkan desa paraman atau desa adat beserta dengan adat istiadatnya. Sebagai salah satu sumber kebudayaan daerah yang dijiwai oleh agama hindu dengan konsep Tri Hita Karana yang meliputi:
1.    Parahyangan: merupakan salah satu bagian Tri Hita Karana yang menguraikan hubungan manusia dengan tuhan selaku pencipta . sebagai asal muasal  dan tujuan akhir hidup manusia menurut ajaran gama hindu.
2.    Pawongan: merupakan unsur keseimbangan hubungan manusia antara krama desa atau desa adat baik dalam lingkungan  desanya sendiri maupun dengan krama yang ada diluar desanya.
3.    Palemahan: merupakan unsur yang menekankan keharmonisan hubungan antara krama desa pakraman atau desa adat dalam lingkungannya. Bagaimana krama desa adat menjaga agar keberadaan palemahan tetap asri dan mampu memberikan kontribusi kepada desa untuk menunjang pelaksanaan pembangunan.
3.    Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal.
Secara sadar dan terencana perlu kiranya dikembangkan konsep sadar budaya, termasuk revitalisasi kearifan lokal  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sebagai bentuk penggalian atau penemuan kembali kearifan-kearifan lokal dalam menumbuhkan budaya di masyarakat  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang multi-kultural di antara berbagai etnik, revitalisasi kebudayaan Desa Adat kabupaten badung  perlu terus dilakukan dalam membentengi diri menghadapi gelombang pengaruh budaya global.
Upaya merevitalisasi kearifan  lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tampaknya tidak mudah dilakukan tanpa adanya kemauan politik dan kepercayaan masyarakat dunia terhadap efektivitas dan efisiensi peran kearifan lokal dalam menciptakan keserasian antara kegiatan pembangunan dengan keberlangsungan lingkungan oleh karenanya yang perlu dilakukan dalam revitalisasi kearifan lokal adalah:
1)   Menggali nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang telah lama hilang,
2)   Mengkaji nilai-kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tentang segi positip dan negatip
3)   Menciptakan kepercayaan bagi masyarakat akan peranan  nilai-nilai kearifan lokal  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam tata kehidupan yang sehat.
4)   Dijadikan sebagai salah program pemerintah dalam menggali nilai-nilai kearifan lokal.
4.    Pembinaan budaya-budaya lokal  dengan festifal kebudayaan
Pemberdayaan lembaga pendidikan, dan pendidikan formal maupun non formal perlu ditingkatkan untuk menggali dan mengembangkan potensi dan nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam kebudayaan. Melalui pendidikan diharapkan pemahaman generasi muda dan masyarakat secara keseluruhan terhadap kearifan budaya lokal akan semakin meningkat yang pada gilirannya menimbulakn pemahaman terhadap jati diri.
Penerapan kurikulum muatan lokal kiranya dapat memberikan peluang untuk menjadikan kearifan lokal sebagai mata ajar. Dengan upaya ini diyakini kearifan lokal mampu bertahan dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Serta melakukakn pendidikan non formal seperti yang dilakukan oleh Desa Adat t Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dengan mendirikan lembaga pemberdayaan masyarakat di bidang kebudayaan.
 Secara spontanitas pendidikan informal dalam  berupaya melestarikan  kearifan lokal dapat dilakukan dengan Festival Seni Budaya  seperti halnya Kabupaten Badung melakukan festifal budaya  yang ke-3 tahun 2009, Selasa (17/11) di Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung, Festival seni budaya ini bertujuan untuk meningkatkan kreativitas seni budaya para seniman disamping untuk memotivasi generasi muda agar mencintai seni dan budaya Bali yang adi luhung  serta agar adat dan budaya bali tetap ajeg dan lestari.
5.    Awig-awig yang dahulu ditulis diatas daun lontar saat  ini terbuat dari lempengan tembaga. (ditulis di lempengan tembaga)
Dalam menjaga eksistensi awig-awig dalam menjaga tata kehidupan masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mengukuhkanan awig-awig di atas lempengan tembaga   yang semula awig-awig hanya di tulis dengan  di  daun lontar. Hal itu dilakukan  karena  aspek sejarah yang menunjukan bahwa ketika kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap kerajaan Bali. Perubahan bentuk awig-awig dari segi betuk memberi dampak positip bagi Desa Adat Bali  umumnya adat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung khususnya karena dengan ditulis diatas lempengan tembaga awig-awig tidak akan pernah mengalami perubahan dari segi bentuk 
 6.    Melaksanakan budaya-budaya lokal (adat istiadat dan keagamaan) secara berkala.
Melaksanakan kegiatan kebudayaan secara berkala merupakan suatu bentuk untuk selalu mengingatkan dan memperkenalkan  kepada generasi  penerus akan budaya-budaya yang hidup dalam masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.  Melakukan perkenalan budaya lokal secara berkala dapat dilakukan di lingkungan di lingkungan keluarga tentang  nilai-nilai kearifan  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung landasan Tri Hita Karana.
Adapun hal lain yang dapat dilakukan  dalam rangka melestraikan nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, upaya yang dapat dilakukan secara berkala oleh desa adat dalam memeilahara nilai-nilai kearifan lokal adalah dengan mengadakan perlombaan atau pecatokan dalam Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung di setiap musim.Hal ini di dasarkan  dalam upaya melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki serta memupuk semangat membangun meliputi suka-duka, gotong-royong, rasa memiliki, kecintaan terhadap desa adat, mempertebal rasa salunglung sabayantaka yang berdasarkan asas kekeluargaan.
  
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan.
1.    Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat desa adat Kabupaten Badung.
a.    Kearifan lokal adalah  sikap, pandangan, dan  kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada.
b.    Nili-nilai Kerifan lokal   masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung khususnya sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan).
c.    Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga dikenal  dengan adanya konsep Tri Semaya yakni persepsi masyarakat desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung terhadap waktu. Menurut masyarakat  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya.
d.   Nilai-nilai kearifan masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung  juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang mencakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan.
e.    Ketahanan budaya Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung juga ditentukan oleh sistem sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti banjar desa adat, subak  (organisasi pengairan),  sekaa(perkumpulan), dan  dadia (klen).
f.     Kemampuan nilai-nilai kearifan lokal  masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung di tandai dengan pelaksaan awig-awig  yang masih tetap berjalan di desa adat dan tata kehidupan krama yang masih mengikuti landasan Tri Hita karan.
g.    Nilai-nilai kearifan lokal  masyarakat desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mampu mengkoordinasi unsur-unsur budaya luar dengan melakukan sikap toleransi yang tinggi terhadap budaya luar,  serta adanya sistem kekrabatan yang kuat dalam masyarakat adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
h.    Dalam mengintegrasi unsur-unsur budaya luar, nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung mengsinergikan budaya lokal masyarakat dengan budaya yang masuk tampa mengurang nilai-nilai kekal yang terkandung didalamnya, serta mengakulturasi budaya luar dengan budaya lokal  karena kebudayaan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi kebudayaan luar.
i.      Dalam mengendalikan  masayarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dilakukan dengan masih mempertahnkan eksistensi  nilai-nilai kerifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sehingga Pemerintahan Bali mengukuhkan awig-awig dalam Peraturan Daerah No 3 tahun 2001 Tentang Desa Pakreman, adanya anggapan masyarakat adat bahwa kepala desa adat sebagai tangan tuhan dan dalam Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung memiliki nilai-nilai keseimbangan (Tri Hita Karana) dalam nilai-nilai kearifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
j.      Dalam memberikan arah terhdapa perkembangn jaman nilai-nilai kerifan lokal Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menjadikan awig-awig sebagai pedoman hidup.

2.    Hambatan-hambatan dalam pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kabupaten Badung Terbagi menjadi dua yaitu:
a.    Adapun yang menjadi hambatan  pelestarian niali-nilai kearifan lokal  masyarakat desa adat yang datang dari dalam Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang diantaranya; 
1.    Lemahnya kapasitas lembaga  Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sehingga hal ini menyebabkan lemahnya fungsional desa adat sehingga  struktur yang ada hanya bersifat formal.
2.    Lemahnya pemerintahan Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dalam penciptaan transparansi dan akuntabiltitas pemerintahn  sehingga munculnya protes oleh masyarakat  Desa Adat dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap desa adat.
3.    Keadaan sosial budaya masyaarkat adat yang multi-dimensi dan multi-kultur.
b.    Adapun yang menjadi hambatan-hambatan  pelestarian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang datang dari luar desa adat diantaranya:
1.    Arus globalisasi.
2.    Masuknya penduduk  pendatang dalam arus imigrasi penduduk.
3.    Upaya-upaya pelestarian nilai-nilai  kearifan lokal masyarakat Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
a.    Perlindungan terhadap nilai-nilai keraifan lokal desa adat.
b.    Pembinaan terhadap Desa pakraman.
c.    Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal.
d.   Pembinaan budaya-budaya lokal  dengan festifal kebudayaan
e.    Awig-awig yang dahulu ditulis diatas daun lontar saat  ini terbuat dari lempengan tembaga. (ditulis di lempengan tembaga)
f.       Melaksanakan budaya-budaya lokal (adat istiadat dan keagamaan) secara berkala

5.2. Saran.
a.    Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 tahun 2001 tentang desa pakraman   seharunya mendapat respon yang besar bagi desa adat ataupun masyarakat adat untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
b.    Melakukan pelestarian, pemberdayaam dan pengembangan  terhadap desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung sehingga  pemerintahn desa adat yang mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat desa adat Kabupaten Badung.
c.    Melakukan beragam kegiatan kebudayaan secara berkala guna untuk menumbuhkan jati diri dan kecintaan terhadap nilai-nilai kerifan lokal  masyarakat desa adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
d.   Mewujudkan kebesaran Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat adat sehingga tercipata keseimbangan dan keharmonisan dalam tata kehidupan masyarakat adat.
 DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
1)   H.B. Sutopo.2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta. USM Pres.
2)   Moleong, Lexi.J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Rosdakarya.
3)   -------------------. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Rosdakarya.
4)   Permana, R Cecep Eka, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mitasi Bencana. Jakarta: Wedatama Widya Sastra cetakan pertama, nopember 2010.
5)   Wasistiono, sadu dan tahir irwan. 2007. Prospek Pengembangan  Desa.Bandung. CV Fokusmedia.
6)   Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local geniu). Jakarta:Pustaka Jayaha.
7)   Avonina, sthef nny, 2006, “Apa Yang Dimaksud Dengan Pengetahuan Tradisional?”, konvergensi, edisi IX, Oktober.
8)   Pitana, I Gede, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Denpasar, Offset
BP,
9)   Dharmayuda, I.M.S., 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali.

Dokumen:
1)   Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Tentang Otonomi Daerah dan Penggantinya yaitu Undang-Undang No.32 Tahun 1004, Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian Serta Pembangunan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah.
2)   Perda Propinsi Tingakt I Bali Nomor 6 Tahun 1986, Kedudukan Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingat I Bali.
4)   Baliaga, 2000. Bentuk Desa di Bali. http//www.baliaga.com.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar