FENOMENA PRILAKU KORUPSI OLEH PEJABAT DIPANDANG DARI ETIKA PEMERINTAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang.
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya
terkandung dalam khazanah perbincangan umum untuk menunjukkan
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pejabat-pejabat Negara. Namun karena
penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun bak
jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa
merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang
kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman
pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan
lebih sering terjadi terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap
dibanding koruptor kelas teri.
Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi,
dan sinkronisasi telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat
menggeser kasta pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita sadar,
pemberantasan korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan hari antikorupsi
ternyata masih jalan ditempat dan berkutat pada tingkat “kuantitas”. Keberadaan
lembaga-lembaga yang mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan
bagi para koruptor, bahkan hal tersebut turut disempurnakan dengan
pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti
Indonesia, hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya
dari mana juga merupakan masalah besar, karena boleh dikatakan semuanya sudah
terjangkit penyakit birokrasi. Korupsi
seakan menggambarkan prilaku pejabat Pemerintah yang tidak lagi menjunjung
tinggi etika dan moralitas. Berdasarkan latar belakang diatas kelopok II mengangkat kajian dalam makah ini yang berjudul “FENOMENA PRILAKU KORUPSI OLEH PEJABAT
DIPANDANG DARI ETIKA PEMERINTAHAN”.
1.2.
Identifikasi Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, kelompok II
merumuskan masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana
fenomena prilaku korupsi di Indonesia
dipandang dari segi etika ?
2)
Kendala/hambatan-hambatan apa saja
yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ?
3) Upaya-upaya
apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di Indonesia ?
1.3. Tujuan
penulisan.
Dalam
penulisan makalah ini kelompok tiga berharap mampu:
1)
Mampu mendeskrifsikan fenomena prilaku korupsi di Indonesia di tinjau dari segi
etika.
2)
Mampu mencari dan menggali Kendala/hambatan-hambatan
apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
3)
Serta mampu mengupayakan apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas
korupsi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA
2.1. Kajian
Teori.
2.1.1. Pengertian Korupsi.
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio,
atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari
kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan,
ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi
adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa
Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris :
Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda
terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi
adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual
korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut
Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan
yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur
tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu
kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula
istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi.
Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk
maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan
sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam
pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud),
untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka
urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh
masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang
merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau
dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau
pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya
secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.
2.1.2. Jenis-Jenis Korupsi.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan
sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa
dikelompokkan menjadi:
1)
Kerugian keuntungan Negara
2)
Suap-menyuap (istilah lain : sogokan
atau pelicin)
3)
Penggelapan dalam jabatan
4)
Pemerasan
5)
Perbuatan curang
6)
Benturan kepentingan dalam pengadaan
7)
Gratifikasi (istilah lain :
pemberian hadiah).
Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193),
mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1)
Korupsi transaktif (transactive
corruption)
Jenis
korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak
pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif
mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2)
Korupsi yang memeras (extortive
corruption)
Pemerasan
adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk
mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu
yang berharga baginya.
3)
Korupsi defensif (defensive
corruption)
Orang yang
bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat
atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam
rangka mempertahankan diri).
4)
Korupsi investif (investive
corruption)
Pemberian
barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.
5)
Korupsi perkerabatan atau nepotisme
(nepotistic corruption)
Jenis
korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-Saudara atau
teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang
bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang,
fasilitas khusus dan sebagainya.
6)
Korupsi otogenik (autogenic
corruption)
Bentuk
korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7)
Korupsi dukungan (supportive
corruption)
Korupsi yang
dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang
akan dilaksanakan.
Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial,
ekonomis, dan politis ternyata memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun
meski berubah-ubah, dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan
pemerasan dengan menyalahgunakan wewenang.
2.1.3. Sebab-Akibat Korupsi.
Di lingkungan masyarakat Asia, selain mekarnya
kegiatan pemerintah yang dikelola oleh birokrasi, terdapat pula ciri spesifik
dalam birokrasi itu sendiri yang menjadi penyebab meluasnya korupsi. Kebanyakan
model birokrasi yang terdapat di Negara-Negara Asia termasuk Indonesia adalah
birokrasi patrimonial. Adapun kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti ini
antara lain tidak mengenal perbedaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup
“resmi”. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakmampuan membedakan antara
kewajiban perorangan dan kewajiban kemasyarakatan atau perbedaan antara sumber
milik pribadi dan sumber milik pemerintah.
Selain itu, yang patut diperhatikan ialah korupsi yang
bermula dari adanya konflik loyalitas diantara para pejabat publik.
Pandangan-pandangan feodal yang masih mewarnai pola perilaku para birokrat di
Indonesia mengakibatkan efek konflik loyalitas. Para birokrat kurang mampu
mengidentifikasi kedudukannya sendiri sehingga sulit membedakan antara
loyalitas terhadap keluarga, golongan, partai atau pemerintah.
Akibat yang paling nyata dari merajalelanya korupsi di
tingkat teknis operasional adalah berkembangnya suasana yang penuh
tipu-muslihat dalam setiap urusan administrasi. Seandainya saja kita meneliti
secara cermat, banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, seperti :
munculnya pola-pola kejahatan terorganisasi, lambannya tingkat pelayanan karena
pelayanan harus ditembus oleh uang sogok atau pengeruh personal, berbagai
sektor pembangunan menjadi lumpuh karena alat kontrol untuk mengawasinya tidak
berjalan seperti yang diharapkan. Kelesuan juga menyelimuti dunia swasta karena
mereka tidak lagi melihat pembagian sumberdaya masyarakat secara adil. Hal ini
sejalan dengan pendapat Myrdal (1977 : 166-170), bahwa :
1)
Korupsi memantapkan dan memperbesar
masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha
dan kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2)
Permasalahan masyarakat majemuk
semakin dipertajam oleh korupsi dan bersamaan dengan itu kesatuan negara juga
melemah. Juga karena turunnya martabat pemerintah, tendensi-tendensi itu turut
membahayakan stabilitas politik.
3)
Karena adanya kesenjangan diantara
para pejabat untuk memancing suap dengan menyalahgunakan kekuasaannya, maka
disiplin sosial menjadi kendur, dan efisiensi merosot.
Dengan demikian, akibat-akibat korupsi itu tidak hanya
bisa ditelaah secara teoritis tetapi memang banyak dialami oleh masyarakat yang
melemah oleh korupsi. Dan korupsi itu sendiri bisa menghancurkan keberanian
orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang tinggi. Bahkan
kerusakan oleh korupsi yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan,
mental dan akhlak dapat membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk
akal. Sehingga terjadilah ketidakadilan dan kesenjangan yang sangat besar.
2.1.4. Etika.
Pengertian Etika
(Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan
perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan
dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari
hal-hal tindakan yang buruk.
Etika dan moral
lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat
perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan,
sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan
perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Menurut K.
Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994. yaitu secara umum¬nya sebagai
berikut:
1)
Etika
adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai
pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya.
2)
Etika
adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang
sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.
3)
Etika
bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik
mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.
4)
Etika
berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir
Teori etika :
1) Etika Deontologi,
Berasal
dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban atau sesuai dengan prosedur.
Menurut teori ini beberapa prinsip moral itu
bersifat mengikat betapapun akibatnya menekankan pada kewajiban manusia untuk
bertindak baik. Tantangan dalam penerapan
Deontologi adalah membedakan mana yang tugas, kewajiban, hak, prinsip yang
didahulukan.
2) Etika Teleologi,
Berasal dari kata Yunani telos yang berarti
tujuan, sasaran atau hasil. Etika ini
mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan
tindakan itu atau berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Tantangan yang dihadapi adalah kesulitan dalam mendapatkan seluruh informasi
yang dibutuhkan dalam mengevaluasi semua kemungkinan konsekuensi dari keputusan
yang diambil
3) Etika Keutamaan,
Etika ini mengutamakan pembangunan karakter moral
pada diri setiap orang. Pendekatan ini
berguna dalam menentukan etika individu yang bekerja dalam sebuah komunitas
profesional yang telah mengembangkan norma dan standar yang cukup baik.
2.1.5. Etika Pemerintahan.
Prinsip etika bersifat
author yang bersifat perintah menjadi suatu perintah. Dalam etika pemerintahan,
apa yang dianjurkan merupakan paksaan yang dalam kehidupan sehari-hari dapat
menimbulkan kesulitan. Etika digantungkan dengan authori menghendaki orang
harus tunduk pada perintah. Pemerintah tidak dapat melaksanakan perintah
sekehendaknya yang bertentangan dengan nilai etika masyarakat. Kebijakan
sebagai prinsip etika memang baik, tetapi tidak memberikan suatu kepastian.
Sedangkan dalam masyarkat perlu adanya tindakan yang praktis yang dapat membawa
kearah perbaikan.
Agama sebagai unsure
perkembangan adalah subjek dalam Etika Pemerintahan. Agama sebagai subjek,
adalah agent of change dan agent modernization. Etika itu
sebenarnya didalam suatu jenjang dari usaha manusia untuk menyesuaikan
tindakan-tindakannya dengan apa yang dikehendaki. Dalam kehidupan terdapat dua
keadaan, disatu pihak manusia menghendaki kesempurnaan untuk dirinya sendiri
dan dilain pihak manusia ingin bersama-sama masyarakat untuk mencapai
kesempurnaan, ini motif agama.
Oleh karena
itu motif agama tidak dapat dilepaskan dari segala aktivitas keduniawian. Manusia
mengetahui ketentuan peraturan ajaran agama untuk mengetahui hakiki kebenaran
menimbulkan keyakinan dalam hati secara mantap tanpa rasa paksaan mendekatkan
diri pada pencipta. Cara tersebut harus dicapai kesempurnaan dirinya dan
mendekatkan diri dengan Tuhan. Tanpa melalui jenjangan tersebut maka tidak
dibenarkan dapat secara langsung mencapai kesempurnaan diri dan dekat
denganTuhan. Suatu kebiasaan diikatkan dengan ukuran-ukuran yang bersifat dan
ukuran-ukuran yang bersifat pancaindera, hal yang bersifat fisik tersebut
disebut estetika. Pelanggaran estetika akan memperoleh hukuman. Dalam agama ada
jenjang tindakan terhadap manusia untuk mencapai kesempurnaan. Karena
kesempurnaan demikian tinggi maka manusia hanya berusaha mendekati, tidak
menyatu. Filsafat samasekali dikerjakan oleh rasio, dengan teknik yang demikian
sempurna, sehingga orang mingkin tidak dapat ada kesalahan. Sedangkan agama
tidak terlepas dari etika dan kesempurnaan. Dalam mencapai kesempurnaan manusia
harus dapat melaksanakan tindakan-tindakan dan nilai-nilai yang riil kepada
nilai-nilai ideal. Kesempurnaan adalah relative, karenanya hanya dapat
ditafsirkan secar analogi. Untuk mencapai tingkatan yang leih tinggi ia harus
mengetahui tingkatan yang lebih rendah, menyangkut conduct, custom, agama.
Etika
Pemerintahan, di dalam mencapai kesempurnaan harus ada adjustment dengan
politik negara, dengan memperhatikan nilai-nilai moral, etik sesuai dengan
nilai-nilai. Etika pemerintahan harus mempunyai adjustment dan penyesuaian
segala sesuatu yang tidak ada batasnya. Pemerintahan selalu berubah menurut
power yang berkuasa. Etika pemerintahan harus berpegang pada power, authority
danotoritas. adanya power setelah adanya authority. Adanya power danauthority
tersebut yang penting adalah penggunaannya. Power berhubungan dengan factor
wibawa. Dalam negara modern orang yangdiberi hak dan kewajiban harus ada partisipasi.
Dalam etika pemerintahan harus ada partisipasi yang intensive dengan
masyarakat. Pengintensivan partisipasi sangat penting karena yang diperhatikan
bukan yang memimpin tetapi yang dipimpin.
Dalam
welfare state harus ada spesialisasi dalam suatu bidang.Karena agar seorang
pemimpin dapat dengan mudah dalampeng koordinasiannya. Inti dari etika
pemerintahan adalah penggunaan kekuasaan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Di
dalam mempergunakan authority harus
mempunyai pedoman yaitu UUD dan peraturan perundang-undangan. Penggunaan
kekuasaan itu harus berpedoman pada punlik service. Pemerintahan yang baik
harus mendahulukan kepentingan masyarakat, bukan semata, mata
bersifatcorrective. Untuk mendapat anticipate harus memiliki skill between
brain and heart.
Public
service adalah pelayanan seefektif mingkin dengan coordination of power, jadi
public service tidaklah pelayanan umum akan tetapi pelayanan kepada masyarakat
umum. Kehancuran pemerintahan disebabkan oleh tidak adanya coordination of
fungtion. Dalam kenyataan kita tidak boleh melihat formalitas akan tetapi juga
harus memperhatikan hal-hal yang material dan yang informal. Dalam etika
pemerintahan semua unsure-unsur yang ideal, riil, formal, dan materiel.
Pemerintahan perlu ada rasionalisasi sedemikian rupa dengan masyarakat yang
ada, diusahakan penciptaan aparatur negara yang bersih dan berwibawa.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Fenomena Prilaku Korupsi di Indonesia dipandang
dari Etika.
3.1.1. Fenomena Korupsi di
Indonesia.
Akhir-akhir ini
masalah korupsi di Indonesia sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik,
terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Pada hakekatnya, korupsi
adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi
penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.
Dalam
prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas,
oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping
itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Korupsi
adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang
sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya,
kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang
bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka
ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Korupsi sudah
berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan
dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di
negara-negara maju sekalipun.
Fenomena korupsi telah
menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara Indonesia. Bahkan negara kita
memiliki rating yang tinggi di antara negara-negara lain
dalam hal tindakan korupsi. Korupsi sebagai sebuah masalah yang besar dan
berlangsung lama menjadi sebuah objek kajian yang menarik bagi setiap orang.
Setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai dalam kajian itu. Misalnya ada orang yang meneliti pengaruh
korupsi terhadap perekonomian, perpolitikan, sosial, dan kebudayaan.
Fenomena korupsi
telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan
belaskasih di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan
manusia Indonesia yang easy going, apatisme terhadap nasib dan
penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati
atau memiliki kesempatan untuk korupsi. Meskipun korupsi bukanlah sebuah lapangan pekerjaan baru. Singkatnya tindakan korupsi
seolah-olah bukanlah sebuah lagi sebuah tindakan yang diharamkan oleh agama
manapun sebab kenderungan korupsi telah merasuki hati semua orang. Adapun
fenomena korupsi ditandai dengan :
1)
Kasus
Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan
tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini
menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini
tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3
Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di
Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau
penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.
2)
Kasus
Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi
Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara
Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4
juta.
3)
Kasus
suap terkait pemilihan Deputi Gubernur
Senior Bank Indonesia tahun 2004 yang dimenangi oleh Miranda S Goeltom.“
Pemberian cek perjalanan itu memang bertujuan memenangkan Miranda Goeltoem
sebagai Deputi Gubernur.
4)
korupsi
makelar sejumlah proyek di PT Telkom dan anak perusahaan Telkom yaitu PT
Telkomsel (sedikitnya 30 proyek) yang bernilai triliunan rupiah sejak tahun
2006-2009 yang mana pekerjaan tersebut banyak tidak diselesaikan tetapi tetap
dibayar lunas oleh direksi PT Telkom maupun Telkomsel karena sarat dengan KKN.
5)
Kasus korupsi Gayus yang merugikan
negara sebesar Rp1,7 triliun
3.1.2.Tindakan Korupsi oleh Pejabat ditinjau dari sudut Pandangan Etika Pemerintahan.
Secara umum,
tugas pokok pemerintahan mencakup 7 bidang pelayanan, akan tetapi dapat lebih
difokuskan lagi menjadi 3 fungsi yang utama, yaitu : Pelayanan (service),
pemberdayaan (empowerment ) dan pembangunan (development). Dipandang dari sudut
etika, keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang
diamanahkan, haruslah dapat diukur dari ketiga fungsi utama tersebut.
Pelayanan yang
baik akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan yang setara akan
mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan yang merata akan menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Etika pemerintahan, seyogianya dikembangkan dalam
upaya pencapaian misi tersebut, artinya setiap tindakan yang dinilai
tidak sesuai dianggap tidak mendukung apalagi dirasakan dapat menghambat
pencapaian misi dimaksud, seyogianya dianggap sebagai satu pelanggaran etik.
Pegawai
pemerintah yang malas masuk kantor, tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan
tugas yang dipercayakan kepadanya, minimal dapat dinilai telah melanggar etika
profesi pegawai negeri sipil. Mereka yang menyalah gunakan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan dengan merugikan kepentingan umum,
pada hakikatnya telah melanggar etika pemerintahan.
Konsepsi etika, sebenarnya sudah lama diterima sebagai
suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang pada peradaban manusia, sehingga
dengan demikian pada dasarnya etika berkenaan dengan serangkaian upaya yang
menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam tatanan kehidupan yang
kolektip. Nilai-nilai
etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah sekedar menjadi
keyakinan pribadi bagi para anggotanya, akan tetapi juga menjadi seperangkat
norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai etika harus menjadi
acuan dan pedoman bertindak yang membawa akibat dan pengaruh secara moral.
Dalam etika
pemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui penghayatan yang etis
yang baik, seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan
dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan menjaga moralitas pemerintahan.
Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral
tinggi, akan senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan
tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan, melalui
pencitraan perilaku hidup sehari-hari.
Korupsi
adalah salah satu gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi negatif, karena
korupsi merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu
lain dalam masyarakat., menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada
keadilan, serta membunuh karakter asasi kemanusiaan seorang individu itu
sendiri. Korupsi dimaknai sebagai suatu perilaku individu yang tidak sesuai
dengan norma-norma kemasyarakatan yang berlaku, seperti diposisikan sebagai
lakuan tindak amoral, tidak memihak kepada kepentingan bersama, mengabaikan
etika, dan melanggar aturan hukum, terlebih lagi aturan agama. Karena korupsi
memberikan peluang lebih untuk menggunakan atau menyalahgunakan kekuasaan
melalui proses yang tidak wajar (procedural) demi pribadi, keluarga
atau kelompok.
Dewasa
ini korupsi telah menjadi sebuah virus sosial, yang tingkat penyebarannya
sangat tinggi. Dalam ilmu kesehatan, daerah atau wilayah tubuh yang terserang
suatu virus maka harus dilakukan tindakan pengkarantinaan sebagai tindakan
pencegahan penyebaran. Yang memalukan adalah, hari ini, Indonesia telah
memenuhi prasyarat untuk masuk kategori wilayah karantina. Karena di Indonesia,
korupsi telah menjadi budaya yang tidak lagi dipandang sebagai pendzhaliman
namun telah menjadi kalaziman untuk dilakukan.
Penempatan
korupsi sebagai budaya yang lazim dilakukan di Indonesia, maka kita perlu
melihatnya dari perspektif perilaku sosial masyarakat, dan bukan sebagai
perilaku pribadi semata. Korupsi kita pandang sebagai persoalan penyakit sosial
masyarakat, watak masyarakat, perilaku masyarakat yang bertalian erat dengan
paradigma yang berkembang di dalam masyarakat.
Pada
hakekatnya, masyarakat Indonesia memiliki tata peri kehidupan yang normal, yang
berpijak pada nilai-nilai kultural. Dalam tata kultural Jawa, berkembang
perspektif psikologis untuk menerima apa adanya dan jauh dari hasrat untuk
memuaskan kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama seperti
korupsi.
Perspektif
psikologis tersebut tercermin pada
konsep nilai-nilai. Seperti rila (rela/ikhlas), nrima (menerima), eling(kesadaran/kearifan), satria pinandhita (tidak tergiur pangkat,
derajad, dan keramat/kultus), sepi ing pamrih rame ing gawe (banyak melakukan aksian dan
meminimalisasi kepentingan pribadi), dan rukun. Meminjam istilah Clifford
Geertz dalam Suseno (1988) rukun disebut sebagai sebagai harmonius
socialappearances.
Ketika kapitalisme dikenal oleh masyarakat
Indonesia, terjadilah pergeseran nilai-nilai yang luar biasa. Sebelumnya,
keberhargaan atau penghormatan antar individu di dalam masyarakat lebih
dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan keluhuran budi pekerti. Tetapi pasca
masuk dan berkembangnya kapitalisme, nilai keberhargaan atau penghormatan antar
individu lebih dipengaruhi oleh besaran kepemilikan material semata. Masyarakat
tidak memberikan perhatian dari mana asal besaran kepemilikan materi, namun
lebih memperhatikan konten dari besaran kepemilikan tersebut. Pada tahapan
inilah virus korupsi menempati ruang dalam masyarakat kita. Ketika kapitalisme
melahirkan tata mentalitas seperti ingin cepat kaya, ingin cepat sukses, dan
berperilaku instant maka proses kerja yang matang menjadi terpinggirkan.
Penghalalan segala cara menjadi sebuah pilihan, dan korupsi menggoda hati untuk
segera dilakukan.
Dalam bukunya Social Theory and
Social Structure (1957), Robert K. Merton menyatakan bahwa korupsi
termotivasi oleh sikap yang berasal dari tekanan-tekanan sosial yang melahirkan
pelanggaran-pelanggaran norma. Dalam budaya yang menitikberatkan keberhasilan
ekonomi sebagai sebuah tujuan paling akhir seperti yang diterapkan oleh
negara-negara penganut faham kapitalisme, maka negara tersebut akan memberi
ruang yang lebih bagi mutasi virus korupsi. Ketika virus korupsi berkembang di
lingkungan kekuasaan pemerintahan, mereka dapat bermutasi menjadi virus
manipulasi, baik data informasi maupun opini. Sedangkan, ketika berkembang di
lingkungan organisasi yang lebih kecil, virus korupsi dapat bermutasi menjadi
virus kolusi dan nepotisme, kedekatan kekerabatan darah atau visi-misi menjadi
habitat subur perkembangannya.
Mengakarnya budaya instant yang begitu
kental tidak hanya tercermin dalam kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah
semata, namun telah menyebar-luas ke berbagai lini kehidupan masyarakat seperti
seni-budaya, ekonomi, pendidikan, informasi, komunikasi, maupun agama.
Kecurangan dalam Ujian Nasional (UNAS), aksi suap-menyuap yang menjalar dalam
lahirnya peraturan perundang-undangan atau tes masuk PNS, motivasi besar untuk
“mendadak” jadi artis/selebritis, hingga pendewaan hasil survey dalam pemilu,
dll, tidak lagi merupakan sasmita penyebaran budaya instant
melainkan sudah menjadi fakta.
Budaya menjilat atasan demi mendapatkan
atau menyamankan posisi, budaya suap-menyuap pihak yang berwenang demi
pencapaian tujuan, ataupun budaya menekan bawahan demi raihan kekuasaan
merupakan cerminan transfer sosial hubungan antara terjajah (objek) dengan
penjajah (subjek). Akhirnya, kaum penguasa atau kelompok elite yang menjadi
subjek ketika menerima suap atau melakukan tindakan korupsi dianggap sebagai
sebuah perilaku budaya (kewajaran). Menilik pada pola hubungan subjek-objek,
lakuan tindak korupsi ini dianggap sebagai bentuk imbalan dari posisi atau
status sosial yang tersemat di dadanya.
Akibatnya, secara ekonomi, masyarakat yang
berada dalam kelas yang lebih rendah menemui kesulitan untuk menemukan
kenyamanan dalam hidup dan berkehidupan. Mereka juga berkehendak untuk mampu
berada di kelas atas, namun secara instant. Ironis memang.
3.2.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang
seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan
kejadian di lapangan, ternyata hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa
Indonesia dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1)
Penegakan hukum yang tidak konsisten
dan cenderung setengah hati.
2)
Struktur birokrasi yang berorientasi
ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan
renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3)
Kurang optimalnya fungsi
komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada check and
balance.
4)
Banyaknya celah/lubang-lubang yang
dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi
negara Indonesia.
5)
Kesulitan dalam menempatkan atau
merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku
korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6)
Taktik-taktik koruptor untuk
mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan
negara dengan tekhnologi yang
semakin canggih.
7)
Kurang kokohnya landasan moralitas
untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.
3.3. Upaya-upaya yang harus
dilakukan dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi
penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya,
dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya,
yakni :
1)
Menegakkan hukum secara adil dan
konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya
yang berlaku.
2)
Menciptakan kondisi birokrasi yang
ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan
kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
3)
Optimalisasi fungsi pengawasan atau
kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan
secara programatis dan sistematis.
4)
Mendayagunakan segenap suprastruktur
politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi
birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup
dapat ditutup.
5)
Adanya penjabaran rumusan
perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau
perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
6)
Semua elemen (aparatur negara,
masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk
mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap
tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip
keadilan.
7)
Melakukan pembinaan mental dan moral
manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan,
etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang
individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan
harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan,
diselewengkan atau dikorup.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1
Kesimpulan.
Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak
yang ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk
yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten
dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang
terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi
sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya
korupsi. Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang
menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya
pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam
realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang
sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu
bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak
drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.
Meski
demikian, pemberantasan korupsi jangan menajdi “jalan tak ada ujung”, melainkan
“jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi
persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi
yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih
Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. Fokus : Bandung.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara,
Rajawali Pers : Jakarta
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi
: Kompas
Myrdal, Gunnar. 1997. Asian Drama an Irquiry Into the
Poverty of Nations, Penguin Book Australia Ltd.
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
http://mgtabersaudara.blogspot.com/2010/03/pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar