Kamis, 24 Mei 2012


FENOMENA PRILAKU KORUPSI OLEH PEJABAT DIPANDANG DARI ETIKA PEMERINTAHAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam khazanah perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas teri.
Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi, dan sinkronisasi telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita sadar, pemberantasan korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan hari antikorupsi ternyata masih jalan ditempat dan berkutat pada tingkat “kuantitas”. Keberadaan lembaga-lembaga yang mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal tersebut turut disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit birokrasi.  Korupsi seakan menggambarkan prilaku pejabat Pemerintah yang tidak lagi menjunjung tinggi etika dan moralitas. Berdasarkan latar belakang diatas   kelopok II mengangkat  kajian dalam makah ini yang berjudul “FENOMENA PRILAKU KORUPSI OLEH PEJABAT DIPANDANG DARI ETIKA PEMERINTAHAN”.
1.2. Identifikasi Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, kelompok II merumuskan masalah sebagai berikut :
1)      Bagaimana fenomena  prilaku korupsi di Indonesia dipandang dari  segi  etika ?
2)      Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ?
3)      Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di Indonesia ?
1.3. Tujuan penulisan.
Dalam penulisan makalah ini kelompok tiga berharap mampu:
1)      Mampu mendeskrifsikan fenomena  prilaku korupsi di Indonesia di tinjau dari  segi  etika.
2)      Mampu  mencari dan menggali Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
3)      Serta mampu mengupayakan apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA

2.1. Kajian Teori.
2.1.1.  Pengertian Korupsi.
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.
2.1.2.  Jenis-Jenis Korupsi.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1)      Kerugian keuntungan Negara
2)      Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3)      Penggelapan dalam jabatan
4)      Pemerasan
5)      Perbuatan curang
6)      Benturan kepentingan dalam pengadaan
7)      Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1)      Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2)      Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.
3)      Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4)      Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.
5)      Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6)      Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7)      Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.
Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis ternyata memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah-ubah, dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan menyalahgunakan wewenang.
2.1.3.  Sebab-Akibat Korupsi.
Di lingkungan masyarakat Asia, selain mekarnya kegiatan pemerintah yang dikelola oleh birokrasi, terdapat pula ciri spesifik dalam birokrasi itu sendiri yang menjadi penyebab meluasnya korupsi. Kebanyakan model birokrasi yang terdapat di Negara-Negara Asia termasuk Indonesia adalah birokrasi patrimonial. Adapun kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti ini antara lain tidak mengenal perbedaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup “resmi”. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakmampuan membedakan antara kewajiban perorangan dan kewajiban kemasyarakatan atau perbedaan antara sumber milik pribadi dan sumber milik pemerintah.
Selain itu, yang patut diperhatikan ialah korupsi yang bermula dari adanya konflik loyalitas diantara para pejabat publik. Pandangan-pandangan feodal yang masih mewarnai pola perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan efek konflik loyalitas. Para birokrat kurang mampu mengidentifikasi kedudukannya sendiri sehingga sulit membedakan antara loyalitas terhadap keluarga, golongan, partai atau pemerintah.
Akibat yang paling nyata dari merajalelanya korupsi di tingkat teknis operasional adalah berkembangnya suasana yang penuh tipu-muslihat dalam setiap urusan administrasi. Seandainya saja kita meneliti secara cermat, banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, seperti : munculnya pola-pola kejahatan terorganisasi, lambannya tingkat pelayanan karena pelayanan harus ditembus oleh uang sogok atau pengeruh personal, berbagai sektor pembangunan menjadi lumpuh karena alat kontrol untuk mengawasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kelesuan juga menyelimuti dunia swasta karena mereka tidak lagi melihat pembagian sumberdaya masyarakat secara adil. Hal ini sejalan dengan pendapat Myrdal (1977 : 166-170), bahwa :
1)        Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2)        Permasalahan masyarakat majemuk semakin dipertajam oleh korupsi dan bersamaan dengan itu kesatuan negara juga melemah. Juga karena turunnya martabat pemerintah, tendensi-tendensi itu turut membahayakan stabilitas politik.
3)        Karena adanya kesenjangan diantara para pejabat untuk memancing suap dengan menyalahgunakan kekuasaannya, maka disiplin sosial menjadi kendur, dan efisiensi merosot.
Dengan demikian, akibat-akibat korupsi itu tidak hanya bisa ditelaah secara teoritis tetapi memang banyak dialami oleh masyarakat yang melemah oleh korupsi. Dan korupsi itu sendiri bisa menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang tinggi. Bahkan kerusakan oleh korupsi yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan, mental dan akhlak dapat membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal. Sehingga terjadilah ketidakadilan dan kesenjangan yang sangat besar.
2.1.4.  Etika.
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994. yaitu secara umum¬nya sebagai berikut:
1)   Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya.
2)   Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.
3)   Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.
4)   Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir
Teori etika :
1)      Etika Deontologi,  Berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban atau sesuai dengan prosedur. Menurut teori ini beberapa prinsip moral itu bersifat mengikat betapapun akibatnya menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak baik. Tantangan dalam penerapan Deontologi adalah membedakan mana yang tugas, kewajiban, hak, prinsip yang didahulukan.
2)      Etika Teleologi, Berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran atau hasil. Etika ini mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Tantangan yang dihadapi adalah kesulitan dalam mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam mengevaluasi semua kemungkinan konsekuensi dari keputusan yang diambil
3)      Etika Keutamaan, Etika ini mengutamakan pembangunan karakter moral pada diri setiap orang. Pendekatan ini berguna dalam menentukan etika individu yang bekerja dalam sebuah komunitas profesional yang telah mengembangkan norma dan standar yang cukup baik.
2.1.5. Etika Pemerintahan.
Prinsip etika bersifat author yang bersifat perintah menjadi suatu perintah. Dalam etika pemerintahan, apa yang dianjurkan merupakan paksaan yang dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan kesulitan. Etika digantungkan dengan authori menghendaki orang harus tunduk pada perintah. Pemerintah tidak dapat melaksanakan perintah sekehendaknya yang bertentangan dengan nilai etika masyarakat. Kebijakan sebagai prinsip etika memang baik, tetapi tidak memberikan suatu kepastian. Sedangkan dalam masyarkat perlu adanya tindakan yang praktis yang dapat membawa kearah perbaikan.
Agama sebagai unsure perkembangan adalah subjek dalam Etika Pemerintahan. Agama sebagai subjek, adalah agent of change dan agent modernization. Etika itu sebenarnya didalam suatu jenjang dari usaha manusia untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan apa yang dikehendaki. Dalam kehidupan terdapat dua keadaan, disatu pihak manusia menghendaki kesempurnaan untuk dirinya sendiri dan dilain pihak manusia ingin bersama-sama masyarakat untuk mencapai kesempurnaan, ini motif agama.
Oleh karena itu motif agama tidak dapat dilepaskan dari segala aktivitas keduniawian. Manusia mengetahui ketentuan peraturan ajaran agama untuk mengetahui hakiki kebenaran menimbulkan keyakinan dalam hati secara mantap tanpa rasa paksaan mendekatkan diri pada pencipta. Cara tersebut harus dicapai kesempurnaan dirinya dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Tanpa melalui jenjangan tersebut maka tidak dibenarkan dapat secara langsung mencapai kesempurnaan diri dan dekat denganTuhan. Suatu kebiasaan diikatkan dengan ukuran-ukuran yang bersifat dan ukuran-ukuran yang bersifat pancaindera, hal yang bersifat fisik tersebut disebut estetika. Pelanggaran estetika akan memperoleh hukuman. Dalam agama ada jenjang tindakan terhadap manusia untuk mencapai kesempurnaan. Karena kesempurnaan demikian tinggi maka manusia hanya berusaha mendekati, tidak menyatu. Filsafat samasekali dikerjakan oleh rasio, dengan teknik yang demikian sempurna, sehingga orang mingkin tidak dapat ada kesalahan. Sedangkan agama tidak terlepas dari etika dan kesempurnaan. Dalam mencapai kesempurnaan manusia harus dapat melaksanakan tindakan-tindakan dan nilai-nilai yang riil kepada nilai-nilai ideal. Kesempurnaan adalah relative, karenanya hanya dapat ditafsirkan secar analogi. Untuk mencapai tingkatan yang leih tinggi ia harus mengetahui tingkatan yang lebih rendah, menyangkut conduct, custom, agama.
Etika Pemerintahan, di dalam mencapai kesempurnaan harus ada adjustment dengan politik negara, dengan memperhatikan nilai-nilai moral, etik sesuai dengan nilai-nilai. Etika pemerintahan harus mempunyai adjustment dan penyesuaian segala sesuatu yang tidak ada batasnya. Pemerintahan selalu berubah menurut power yang berkuasa. Etika pemerintahan harus berpegang pada power, authority danotoritas. adanya power setelah adanya authority. Adanya power danauthority tersebut yang penting adalah penggunaannya. Power berhubungan dengan factor wibawa. Dalam negara modern orang yangdiberi hak dan kewajiban harus ada partisipasi. Dalam etika pemerintahan harus ada partisipasi yang intensive dengan masyarakat. Pengintensivan partisipasi sangat penting karena yang diperhatikan bukan yang memimpin tetapi yang dipimpin.
Dalam welfare state harus ada spesialisasi dalam suatu bidang.Karena agar seorang pemimpin dapat dengan mudah dalampeng koordinasiannya. Inti dari etika pemerintahan adalah penggunaan kekuasaan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Di dalam mempergunakan authority harus mempunyai pedoman yaitu UUD dan peraturan perundang-undangan. Penggunaan kekuasaan itu harus berpedoman pada punlik service. Pemerintahan yang baik harus mendahulukan kepentingan masyarakat, bukan semata, mata bersifatcorrective. Untuk mendapat anticipate harus memiliki skill between brain and heart.
Public service adalah pelayanan seefektif mingkin dengan coordination of power, jadi public service tidaklah pelayanan umum akan tetapi pelayanan kepada masyarakat umum. Kehancuran pemerintahan disebabkan oleh tidak adanya coordination of fungtion. Dalam kenyataan kita tidak boleh melihat formalitas akan tetapi juga harus memperhatikan hal-hal yang material dan yang informal. Dalam etika pemerintahan semua unsure-unsur yang ideal, riil, formal, dan materiel. Pemerintahan perlu ada rasionalisasi sedemikian rupa dengan masyarakat yang ada, diusahakan penciptaan aparatur negara yang bersih dan berwibawa.
 BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Fenomena  Prilaku Korupsi di Indonesia dipandang dari  Etika.
3.1.1. Fenomena Korupsi di Indonesia.
Akhir-akhir ini masalah korupsi di Indonesia sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara Indonesia. Bahkan negara kita memiliki rating yang tinggi di antara negara-negara lain dalam hal tindakan korupsi. Korupsi sebagai sebuah masalah yang besar dan berlangsung lama menjadi sebuah objek kajian yang menarik bagi setiap orang. Setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian itu. Misalnya ada orang yang meneliti pengaruh korupsi terhadap perekonomian, perpolitikan, sosial, dan kebudayaan.
Fenomena korupsi telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan belaskasih  di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan manusia Indonesia yang easy going, apatisme terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk korupsi. Meskipun korupsi bukanlah sebuah lapangan pekerjaan baru. Singkatnya tindakan korupsi seolah-olah bukanlah sebuah lagi sebuah tindakan yang diharamkan oleh agama manapun sebab kenderungan korupsi telah merasuki hati semua orang. Adapun fenomena korupsi ditandai dengan :
1)        Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.
2)        Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.
3)        Kasus suap  terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 yang dimenangi oleh Miranda S Goeltom.“ Pemberian cek perjalanan itu memang bertujuan memenangkan Miranda Goeltoem sebagai Deputi Gubernur.
4)        korupsi makelar sejumlah proyek di PT Telkom dan anak perusahaan Telkom yaitu PT Telkomsel (sedikitnya 30 proyek) yang bernilai triliunan rupiah sejak tahun 2006-2009 yang mana pekerjaan tersebut banyak tidak diselesaikan tetapi tetap dibayar lunas oleh direksi PT Telkom maupun Telkomsel karena sarat dengan KKN.
5)        Kasus korupsi Gayus yang merugikan negara sebesar  Rp1,7 triliun
3.1.2.Tindakan Korupsi  oleh Pejabat ditinjau dari  sudut Pandangan Etika Pemerintahan.
Secara umum, tugas pokok pemerintahan mencakup 7 bidang pelayanan, akan tetapi dapat lebih difokuskan lagi menjadi 3 fungsi yang utama, yaitu : Pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment ) dan pembangunan (development). Dipandang dari sudut etika, keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanahkan, haruslah dapat diukur dari ketiga fungsi utama tersebut.
Pelayanan yang baik akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan yang setara akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan yang merata akan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Etika pemerintahan, seyogianya dikembangkan dalam upaya pencapaian  misi tersebut, artinya setiap tindakan yang dinilai tidak sesuai dianggap tidak mendukung apalagi dirasakan dapat menghambat pencapaian misi dimaksud, seyogianya dianggap sebagai satu pelanggaran etik.
Pegawai pemerintah yang malas masuk kantor, tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya, minimal dapat dinilai telah melanggar etika profesi pegawai negeri sipil. Mereka yang menyalah gunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan dengan merugikan kepentingan umum, pada hakikatnya telah melanggar etika pemerintahan.
Konsepsi  etika, sebenarnya sudah lama diterima sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang pada peradaban manusia, sehingga dengan demikian pada dasarnya etika berkenaan dengan serangkaian upaya yang menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam tatanan kehidupan yang kolektip. Nilai-nilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah sekedar menjadi keyakinan pribadi bagi para anggotanya, akan tetapi juga menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai etika harus menjadi acuan dan pedoman bertindak yang membawa akibat dan pengaruh secara moral.
Dalam etika pemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui penghayatan yang etis yang baik, seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan menjaga moralitas pemerintahan. Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi, akan senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan, melalui pencitraan perilaku hidup sehari-hari.
Korupsi adalah salah satu gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi negatif, karena korupsi merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat., menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta membunuh karakter asasi kemanusiaan seorang individu itu sendiri. Korupsi dimaknai sebagai suatu perilaku individu yang tidak sesuai dengan norma-norma kemasyarakatan yang berlaku, seperti diposisikan sebagai lakuan tindak amoral, tidak memihak kepada kepentingan bersama, mengabaikan etika, dan melanggar aturan hukum, terlebih lagi aturan agama. Karena korupsi memberikan peluang lebih untuk menggunakan atau menyalahgunakan kekuasaan melalui proses yang tidak wajar (procedural) demi pribadi, keluarga atau kelompok.
Dewasa ini korupsi telah menjadi sebuah virus sosial, yang tingkat penyebarannya sangat tinggi. Dalam ilmu kesehatan, daerah atau wilayah tubuh yang terserang suatu virus maka harus dilakukan tindakan pengkarantinaan sebagai tindakan pencegahan penyebaran. Yang memalukan adalah, hari ini, Indonesia telah memenuhi prasyarat untuk masuk kategori wilayah karantina. Karena di Indonesia, korupsi telah menjadi budaya yang tidak lagi dipandang sebagai pendzhaliman namun telah menjadi kalaziman untuk dilakukan.
Penempatan korupsi sebagai budaya yang lazim dilakukan di Indonesia, maka kita perlu melihatnya dari perspektif perilaku sosial masyarakat, dan bukan sebagai perilaku pribadi semata. Korupsi kita pandang sebagai persoalan penyakit sosial masyarakat, watak masyarakat, perilaku masyarakat yang bertalian erat dengan paradigma yang berkembang di dalam masyarakat.
Pada hakekatnya, masyarakat Indonesia memiliki tata peri kehidupan yang normal, yang berpijak pada nilai-nilai kultural. Dalam tata kultural Jawa, berkembang perspektif psikologis untuk menerima apa adanya dan jauh dari hasrat untuk memuaskan kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama seperti korupsi.
Perspektif psikologis  tersebut tercermin pada konsep nilai-nilai. Seperti rila (rela/ikhlas), nrima (menerima), eling(kesadaran/kearifan), satria pinandhita (tidak tergiur pangkat, derajad, dan keramat/kultus), sepi ing pamrih rame ing gawe (banyak melakukan aksian dan meminimalisasi kepentingan pribadi), dan rukun. Meminjam istilah Clifford Geertz dalam Suseno (1988) rukun disebut sebagai sebagai harmonius socialappearances.
Ketika kapitalisme dikenal oleh masyarakat Indonesia, terjadilah pergeseran nilai-nilai yang luar biasa. Sebelumnya, keberhargaan atau penghormatan antar individu di dalam masyarakat lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan keluhuran budi pekerti. Tetapi pasca masuk dan berkembangnya kapitalisme, nilai keberhargaan atau penghormatan antar individu lebih dipengaruhi oleh besaran kepemilikan material semata. Masyarakat tidak memberikan perhatian dari mana asal besaran kepemilikan materi, namun lebih memperhatikan konten dari besaran kepemilikan tersebut. Pada tahapan inilah virus korupsi menempati ruang dalam masyarakat kita. Ketika kapitalisme melahirkan tata mentalitas seperti ingin cepat kaya, ingin cepat sukses, dan berperilaku instant maka proses kerja yang matang menjadi terpinggirkan. Penghalalan segala cara menjadi sebuah pilihan, dan korupsi menggoda hati untuk segera dilakukan.
Dalam bukunya Social Theory and Social Structure (1957), Robert K. Merton menyatakan bahwa korupsi termotivasi oleh sikap yang berasal dari tekanan-tekanan sosial yang melahirkan pelanggaran-pelanggaran norma. Dalam budaya yang menitikberatkan keberhasilan ekonomi sebagai sebuah tujuan paling akhir seperti yang diterapkan oleh negara-negara penganut faham kapitalisme, maka negara tersebut akan memberi ruang yang lebih bagi mutasi virus korupsi. Ketika virus korupsi berkembang di lingkungan kekuasaan pemerintahan, mereka dapat bermutasi menjadi virus manipulasi, baik data informasi maupun opini. Sedangkan, ketika berkembang di lingkungan organisasi yang lebih kecil, virus korupsi dapat bermutasi menjadi virus kolusi dan nepotisme, kedekatan kekerabatan darah atau visi-misi menjadi habitat subur perkembangannya.
Mengakarnya budaya instant yang begitu kental tidak hanya tercermin dalam kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah semata, namun telah menyebar-luas ke berbagai lini kehidupan masyarakat seperti seni-budaya, ekonomi, pendidikan, informasi, komunikasi, maupun agama. Kecurangan dalam Ujian Nasional (UNAS), aksi suap-menyuap yang menjalar dalam lahirnya peraturan perundang-undangan atau tes masuk PNS, motivasi besar untuk “mendadak” jadi artis/selebritis, hingga pendewaan hasil survey dalam pemilu, dll, tidak lagi merupakan sasmita penyebaran budaya instant melainkan sudah menjadi fakta.
Budaya menjilat atasan demi mendapatkan atau menyamankan posisi, budaya suap-menyuap pihak yang berwenang demi pencapaian tujuan, ataupun budaya menekan bawahan demi raihan kekuasaan merupakan cerminan transfer sosial hubungan antara terjajah (objek) dengan penjajah (subjek). Akhirnya, kaum penguasa atau kelompok elite yang menjadi subjek ketika menerima suap atau melakukan tindakan korupsi dianggap sebagai sebuah perilaku budaya (kewajaran). Menilik pada pola hubungan subjek-objek, lakuan tindak korupsi ini dianggap sebagai bentuk imbalan dari posisi atau status sosial yang tersemat di dadanya.
Akibatnya, secara ekonomi, masyarakat yang berada dalam kelas yang lebih rendah menemui kesulitan untuk menemukan kenyamanan dalam hidup dan berkehidupan. Mereka juga berkehendak untuk mampu berada di kelas atas, namun secara instant. Ironis memang.
3.2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1)      Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah hati.
2)      Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3)      Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4)      Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5)      Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6)      Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan  negara  dengan tekhnologi yang semakin canggih.
7)      Kurang kokohnya landasan moralitas untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.
3.3. Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya, yakni :
1)   Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
2)   Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
3)   Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
4)   Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup.
5)   Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
6)   Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
7)   Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan.
Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajdi “jalan tak ada ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.
 DAFTAR PUSTAKA
Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. Fokus : Bandung.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara, Rajawali Pers : Jakarta
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
Myrdal, Gunnar. 1997. Asian Drama an Irquiry Into the Poverty of Nations, Penguin Book Australia Ltd.
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
http://mgtabersaudara.blogspot.com/2010/03/pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar