SELISIK RUMAH DEMOKRASI BANGKA BELITUNG…(KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA
BELITUNG 1)
Dalam keriuhan demokrasi Indonesia, geliat Bangka Belitung
seolah redup. Namun, sebenarnya, justru di provinsi yang baru menjejak usia
ke-11 tahun ini, idealisasi nilai-nilai demokrasi berikut pertautannya dengan
kesejahteraan masyarakat tengah dipertaruhkan.
Pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia
(IDI) tahun 2009 yang dipublikasikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun ini
menempatkan Provinsi Bangka Belitung di posisi ke-20 dari 33 provinsi di
seluruh Indonesia.
Berdasarkan posisi itu, prestasi
demokrasi provinsi berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa ini jika dibandingkan
provinsi lain tampak kurang mengesankan. Berdasarkan tiga aspek yang diukur,
yaitu kebebasan sipil, pemenuhan hak politik, dan kualitas kelembagaan
demokrasinya, skor provinsi ini hanya 67,01. Skor itu di bawah rata-rata skor
nasional sebesar 67,30. Tertinggal jauh jika dibandingkan skor papan atas IDI,
yaitu Kalimantan Tengah (77,63), Riau (75,85), dan DKI Jakarta (73,61).
Aspek kesejahteraan masyarakat, sebagai
salah satu indikator yang kerap dijadikan tolok ukur penopang demokrasi, juga
tak terlalu menawan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bangka Belitung tahun
2009 sebesar 72,55. Nilai itu sedikit di atas rata-rata IPM nasional (71,76).
Namun, jika dikaji dari sejumlah komponen pembentuk IPM, hanya daya beli dan
angka melek huruf yang berada di atas rata-rata angka nasional. Indikator
sosial lainnya, seperti rata-rata lama pendidikan masyarakat—yang selama ini
selalu dikaitkan dengan kualitas demokrasi—dan angka harapan hidup penduduknya
masih di bawah rata-rata nasional. Dengan mengaitkan antara besaran IDI dan IPM
Bangka Belitung, tampak benar posisi provinsi ini secara nasional kurang
menonjol.
Modal ikatan sosial
Peringkat demokrasi dan kesejahteraan
Bangka Belitung, sebagai dua entitas yang selalu dipertautkan, bisa saja kurang
menonjol. Persoalannya, apakah dinamika kehidupan politik di provinsi ini
tergolong kurang demokratis? Lebih mendasar lagi, apakah bibit demokrasi yang
disemai tidak mampu bertahan hidup dalam kultur sosial politik masyarakatnya?
Apakah kondisi kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung harus disikapi secara
pesimistis dalam menopang demokrasi di kawasan ini?
Pergulatan demokrasi tengah berlangsung
di Bangka Belitung. Beragam premis dasar sebagai modal terbentuknya kehidupan
demokrasi yang berkualitas dimiliki provinsi ini. Aspek keragaman sosial
masyarakat, misalnya, terbentuk sejak abad ke-17. Terbentuknya masyarakat kedua
pulau ini umumnya dari hasil migrasi pekerja tambang, perkebunan, atau persinggahan
perdagangan. Masyarakat beretnik Melayu, Tionghoa, Jawa, atau suku lain melebur
dan beranak-pinak di wilayah ini.
”Arus panjang sejarah pertambangan timah
dan perdagangan itu secara khusus membentuk masyarakat di sini dalam kultur
yang plural, terbuka, sekaligus egaliter,” kata Bustami Rahman, sosiolog yang
juga Rektor Universitas Bangka Belitung.
Di tengah keragaman, segregasi sosial
tidak tampak. Ikatan sosial hingga kini relatif terjaga, yang sekaligus adalah
modal potensial terbentuknya kehidupan masyarakat yang demokratis. Ini pula
yang berlangsung dalam kehidupan politik masyarakat. Badan Pusat Statistik
(BPS) mengurai, di Bangka Belitung komposisi penduduk berdasarkan etnisitasnya
terbesar adalah Melayu Bangka dan Melayu Belitung sekitar 69 persen. Tionghoa
dengan populasi 11 persen. Selain itu, ada Jawa (6 persen), Bugis-Makassar (3
persen), Madura, dan sejumlah suku lain.
Sekalipun dari sisi kuantitas proporsi
setiap etnik berbeda, praktik kesetaraan tidak tersingkirkan. Tampilnya sosok
politisi pilihan masyarakat beretnik Tionghoa di DPR, seperti Rudianto Tjen dan
Basuki Tjahaja Purnama, serta di Dewan Perwakilan Daerah seperti Tellie Gozelie
dan Bahar Buasan, atau dalam kursi kepemimpinan lokal, seperti Bupati Belitung
Timur Basuki Tjahaja Purnama, mengukuhkan terbukanya kesetaraan itu, sekaligus
memorakporandakan konsep proporsionalitas politik yang umumnya dipraktikkan.
Terpilihnya sosok politisi beretnik
Tionghoa tergolong alami dari hasil kalkulasi rasional pemilihnya dalam
sejumlah ajang kontestasi politik. Pemilih mereka tidak semata-mata berasal
dari kesamaan etnik atau agama. Anhar, warga Melayu di Manggar, Belitung Timur,
yang pernah aktif di Partai Bulan Bintang, mengatakan, ”Tidak masalah China
sepanjang punya perhatian terus-menerus kepada kami.” Pendapat ini ia buktikan
saat pemilu gubernur Bangka Belitung tahun 2007. Sekalipun berbeda suku, agama,
dan partai politik, Anhar bersama warga sekitar wilayahnya lebih memilih Basuki
Tjahaja Purnama atau Ahok. Ahok akhirnya kalah tipis dari Eko Maulana Ali, yang
menjabat gubernur saat ini. Namun, sebelumnya, ia memenangi Pilkada Kabupaten
Belitung Timur tahun 2005, wilayah di mana identitas sosial dirinya tergolong
minoritas.
Penopang ekonomi
Soliditas sosial masyarakat Bangka
Belitung adalah modal sosial terbesar bagi berlangsungnya demokrasi di kawasan
ini. Modal ini terbentuk dan berproses sedemikian lama, yang sebenarnya
terbentuk dari adanya ”kesamaan nasib” dalam kerja ekonomi atau distribusi
pemanfaatan sumber daya alam. Kekayaan alam timah menjadi perekat masyarakat
Bangka Belitung. Ekonomi masyarakat adalah ekonomi timah.
Sejauh ini, sesuai perhitungan BPS,
proporsi terbesar—lebih dari sepertiga bagian—gerak ekonomi bertumpu secara
langsung pada pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang. Selebihnya
seperti sektor jasa, keuangan, dan perdagangan yang sebenarnya langsung atau
tidak langsung bersentuhan pula dengan pertambangan. Diperkirakan hampir 70
persen ekonomi provinsi ini digerakkan oleh keberadaan timah.
Pemanfaatan timah berkontribusi langsung
bagi perekonomian masyarakat. Zulfari, Ahong, dan Parno, petambang yang berbeda
suku, tetapi bekerja sama dalam satu kelompok kerja, mengungkapkan tidak
terlalu sulit mengais rezeki timah. Minimal Rp 100.000 mereka dapatkan dalam
sehari. ”Jika beruntung dan harga timah tinggi, seminggu bisa Rp 5 juta,”
ungkap Zulfari. Kemudahan ini mendongkrak daya beli masyarakat, yang secara
agregat tergolong tinggi. Data BPS mengungkapkan, rata-rata daya beli
masyarakat Rp 639.000 per kapita per tahun, di atas daya beli rata-rata per
kapita Indonesia.
Terdapat masa sulit ketika penambangan
tak lagi ekonomis. Namun, geliat ekonomi timah kembali terasakan sesaat
bergulirnya otonomi daerah. Munculnya kebijakan menteri perindustrian dan
perdagangan yang membuka peluang industri pengolahan timah di daerah dan makin
dipermulus dengan munculnya beberapa peraturan daerah (perda), salah satunya
Perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, semakin
memperluas kesempatan eksploitasi timah.
”Saat itu saya dihadapkan pada kondisi
yang terdesak, harus mencari pekerjaan bagi puluhan ribu penganggur, bekas
petambang,” kata Eko Maulana. Kebijakan yang ia keluarkan saat masih menjadi
Bupati Bangka ini membuka babak baru pertambangan rakyat, lebih sering disebut
tambang inkonvensional, yang kini bahkan merambah tidak hanya daratan, tetapi
juga penambangan timah di laut seputar Pulau Bangka.
Munculnya tambang rakyat dan
pengolahannya di satu sisi berdampak bagi kesejahteraan warga. Warga dengan
beragam latar belakang identitas dipersatukan timah dalam berbagai bentuk
pekerjaan guna pencapaian kebutuhan hidup yang layak. Di sisi lain, eksploitasi
timah tidak luput dari sorotan.
Selain persoalan potensi kerusakan
lingkungan, kebijakan ini dalam perjalanannya melahirkan kelompok elite ekonomi
pengusaha tambang. Peningkatan kapital secara signifikan membuat posisi tawar
penguasa tambang kian kuat. Pada gilirannya, perpolitikan Bangka Belitung pun
tidak luput dari pengaruh kekuatan aktor yang bersentuhan dengan pertambangan.
”Ekonomi dan politik Bangka Belitung tak lepas dari timah, belum bisa,” ungkap
Hidayat Arsani, pengusaha pertambangan yang juga banyak berkiprah dalam
kegiatan politik dan sosial di Bangka Belitung.
Bertumbuhnya aktor ekonomi ataupun
politik semacam ini mengukuhkan peran aktor dalam wajah demokrasi Bangka
Belitung. Apalagi situasi semacam ini tak diimbangi kiprah parpol. Sebagian
besar fungsi parpol tenggelam, terkooptasi kekuatan aktor yang dalam banyak hal
hanya menggunakan partai sebagai kendaraan politik semata. Benteng penguasaan
parpol di sejumlah wilayah pun, yang seolah sangat ideologis dan mampu
terpertahankan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2009, cenderung menjadi semu.
Pada situasi demikian, ancaman terhadap
demokratisasi Bangka Belitung di ambang mata. Menjadi makin mengkhawatirkan
jika Bangka Belitung pun tengah dihadapkan pada kenyataan kian terbatasnya
potensi ekonomi timah yang selama ini menjadi penopang kesejahteraan
masyarakat. Jika selama ini mereka dipersatukan dalam kenikmatan hasil timah,
menipisnya timah berpotensi mengancam kerekatan sosial antarmasyarakat.
Padahal, kerekatan sosial menjadi fondasi utama terbangunnya demokrasi.
Kekhawatiran itu harus disingkirkan mereka yang siap berkontestasi dalam pemilihan
gubernur Bangka Belitung dalam waktu dekat ini. (Litbang Kompas/Kompas.com December 3, 2011)
ROH PERSAUDARAAN MELAYU-TIONGHOA (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 2)
“Saya ini Fang Tong Fan atau Melayu yang punya leluhr Tiongkok.
Nenek saya perempuan Hakka dari Belinyu. Kami disini hidup rukun, tidak pernah
membedakan,” kata Hazil Ma`aruf, seorang Melayu Belinyu yang berkulit gelap dan
bermata sipit, beberapa waktu lalu.
Saat itu, mantan anggota DPRD Kab Bangka
tersebut tengah duduk bersama karibnya, A Hiong, seorang peranakan Tiongoa
Hakka, di warung otak-otak kha Belinyu.
Masyarakat Bangka Belitung (Babel)
secara umum tidak mempertentangkan mayoritas-minoritas. Kebersamaan menjadi
semangat hidup mereka.”Serumpun Sebalai,” itulah semboyang hidup masyarakat
Babel dalam bahasa Melayu. Persaudaraan dan kesetaraan adalah harga mati
disana.
kalau dirunut, ungkap Hazil, pasti masih
ada hubungan kerabat jauh atau dun-sanak antara masyarakat Melayu dan Tionghoa.
Pendapat itu dibenarkan A Hiong. Pemahaman kesetaraan lintas komunitas itu
merata di Babel.
“Tong Ngin Phang Ngin jit Jong, semboyan
kami dalam bahasa Hakka yang berarti Tionghoa dan Melayu adala sama, merupakan
semangat hidup masyarakat Babel sejak berabad silam,” kata ZUlkarnain Karim,
Walikota Pangkal Pinang yang berasal dari suku Melayu kelahiran Koba, Kab
Bangka Tengah.
Zulkarnain lahir dan dibesarkan di
perkampungan nelayan Melayu yang bertetangga dengan lingkungan Tionghoa. Sampai
dia akhirnya menjadi walikota, para tetangga dan teman masa kecilnya tetap
akrab dengannya. Bahkan, tumpukan sadjadah untuk shalat berjemaah di Kantor
Walikota merupakan pemberian karib Tionghoa masa kecilnya.
Setia hari raya pun, warga Melayu
biasanya tidak usah terlalu repot menyiapkan masakan. Para tetangga Tionghoa,
ujar Zulkarnai, mengirimkan makanan bagi warga Melayu pada hari lebaran.
Demikian pula pada peringatan imlek,
kata Hongky Listhiady, seorang warga Tionghoa Pangkal Pinang, Zulkarnain dan
para tetangga Melayu mengirimkan makanan bagi warga Tionghoa.”Malahan pernah
diadakan peringatan Imlek di rumah dinas Walikota Pangkal Pinang. Rasanya itu
yang pertama di Indonesia pasca reformasi 1998,” ujarnya.
Zulkarnain lebih lanjut mengatakan,
warga Tionghoa suda sejak abad 17 berdatangan ke Babel dalam jumla besar untuk
bekerja di pertambangan timah sebelum penjajah Belanda datang. Orang Tionghoa
yang umumnya suku Hakka tidak membawa pasangan perempuan sehingga mereka
menikah dengan para perempuan Melayu di Babel. Selanjutnya terbentuklah
masyarakat Tionghoa peranakan yang ‘separuh Melayu’ dari hubungan yang erat
tersebut.
“Kalau mereka selanjutnya memeluk Islam,
dia melebur dalam masyarakat Melayu. Kalau mempertahankan identitas budaya
Tionghoa, dia menjadi seorang peranakan. Namun, semuanya secara umum saling
berhubungan dalam kehidupan sehari-hari ataupun berhubungan darah. Nenek
sayapun ada yang bermarga Theng atau dalam Mandarin disebut Deng. Bisa dibilang
saya berkerabat jau dengan Deng Xiao Ping,” kata Zulkarnain tertawa.
Selain jalur perkawinan, sudah lazim di
Babel terjadi saling mengangkat anak. kalau di Indonesia Timur dikenal sebagai
‘anak piara’ atau di kalangan pernakan Tionghoa di Jawa disebut anak ‘Kwe
Pang”, di Babel sudah biasa terjadi keluarga Melayu mengangkat anak dari
keluarga Tionghoa. Demikian pula sebaliknya.
Sebagai contoh adalah sesepuh
pembentukan provinsi Babel, Amung Tjan-dra (81) alias Then Hon Liong, seorang
penganut Katolik yang memiliki anak angkat Melayu seorang guru mengaji yang
tinggal bertahun-tahun bersama keluarganya.
Kedekatan tersebut, menurut Amung adalah
modal sosial dan menjadi kekuatan untuk pembangunan Babel. Keluarga inti AMung
juga beragam, anak-anaknya ada yang menikah dengan suku Batak dan Jawa. Salah
seorang menantunya juga ada yang muslim.
“Masyarakat asli Bangka yang Melayu dan
Tionghoa hubungannya sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Selanjutnya banyak
suku lain yang datag menjadi orang Babel pada masa silam. yang menjadi
pertanyaan adalah membanjirnya pendatang sesudah pemekaran Prov Babel dan demam
industri timah rakyat. Sekarang banyak warga tidak berpendidikan yang masuk ke
Babel. Dulu jarang terjadi perampolan dan beragam jenis kejahatan. Sekarang
hampir setiap hari terjadi pencurian, perampokan bahkan ada pembunuhan, ujar
Amung prihatin.
Rasionalotas dan kedekatan hubungan
itula yang membuat Babel bersatu tanpa prasangka antar kelompok masyarakat.
Misalnya, terpilihnya Basuki T. Purnawa alias Ahok sebagai Bupati Belitung
Timur beberapa tahun silam.
Di Belitung dinamika politik lebih
tinggi dibandingkan dengan Pulau Bangka. Kedai-kedai kopi yang menjadi saran
silaturahim warga buka hingga larut malam. Bahkan, Manggar ibukota Belitung
Timur (Beltim) dijuluki Kota 1001 Kedai Kopi, Kedai kopi dipadati warga yang
sibuk berbicang beragam hal dari soal ekonomi hingga politik.
Ahok terpilih sebagai Bupati Beltim yag
90 persen masyarakatnya adalah suku Melayu. Pertimbangan yang digunakan pemilih
adalah rasionalitas dan pengakuan terhadap kedekatan hubungan lintas komunal.
Ahok dan keluarganya dikenal dekat
dengan masyarakay jauh sebelum euforia otonomi daerah ataupun pemekaran
kabupaten. Anhar seorang warga Babel yang berasal dari kubu politik Masyumi mengaku
Ahok dipilih karena amal perbutannya sangat menyentuh hati warga.
“Keluarganya sangat dengan masyarakat,
ada warga yang memasang bendera kuning pertanda kematian, meski tidak
dikenalnya akan dikunjungi. Itu terjadi sebelum pemekaran daerah. Kedekatan dan
prilaku baik itu menjadikan masyarakat menghormati Ahok,” kata Anhar.
Kebangkitan Identitas
Namun, Rektor Universitas Bangka
Belitung Bustami Rachman mengatakan ada gejala kebangkitan identitas kesukuan.
Kebangkitan itu dipicu oleh politisasi
isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) oleh sebagian elite Babel.
“Pilkada 2007 diwarnai pemanfaatan isu
rasial untuk kepentingan politik, sebagian orang Tionghoa Babel khahwatir
keterlibatan salah satu dari mereka di politik akan membahayakan yang lain,” ujarnya.
Kekhawatiran itu tidak lepas dari
indoktrinasi selama Order Baru yang menciptakan kesan Tionghoa tidak masuk
politik. Orang-orang peranakan itu hanya boleh begerak di sektor swasta.
“Sebagian orang Melayu dan Tionghoa
seolah mempertahankan pandangan itu sampai sekarang. Walau tidak pernah muncul
letupan besar, gejala kebangkitan identitas itu ada,” ujarnya.
Anggota DPD dari Babel, Bahar Buasan,
tidak menampik hal tersebut. Namun, baginya itu bukan isu yang harus
dibesar-besarkan walau bukan berarti dikesampingkan.”Jangankan berbeda suku,
orang yang lahir dari ibu yang sama saja punya perbedaan. Pertanyaannya, mau
memperbesar pebedaan itu atau justru mencari persamaan lalu memanfaatkannya
untuk modal bersama,” ujarnya.
Persaingan politik di Babel sejauh ini
secara umum masi dibangun di atas semangat,”Tong Ngin Phang Ngin jit Jong,”
ibarat guru demokrasi dan keberagaman di Republik Indonesia tanpa dikotori
perilaku elite politik yang membenturkan rakyat dengan menjadikan perbedaaan
sebagai sarana pemecah belah.[Litbang Kompas December 5, 2011]
PERGOLAKAN DEMI TIMAH TERULANG LAGI (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG
3)
April 1812, Perang Napoleon antara Perancis-Belanda dan Inggris
merambat ke wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Inggris di bawah Sir
Thomas Stamford Raffles memerintahkan Kolonel Robert Gillespie menyerbu
Kesultanan Palembang pimpinan Mahmud Badaruddin II itu demi menguasai timah di
Bangka.
Raffles dalam berbagai surat kepada
Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto, menegaskan pentingnya menguasai
Bangka karena kekayaan timahnya. Oleh karena itu, setelah menggilas pasukan
Napoleon di Jawa yang dipimpin Jean Guillaume (dalam bahasa Belanda disebut Jan
Willem) Janssens, Raffles mengarahkan pasukan ke Palembang yang kala itu
menguasai penambangan timah di Bangka dan lama berkongsi dengan Belanda lewat
perdagangan lada (Piper nigrum) dan timah.
Serangan Raffles itu membuktikan timah
sudah mempunyai nilai ekonomi dan politik sejak dulu. Kini, 199 tahun sejak
aksi militer Raffles, nilai itu tetap bertahan di Bangka dan Belitung. Bahkan,
nilai itu semakin kuat selepas Bangka dan Belitung membentuk provinsi sendiri
yang terpisah dari Sumatera Selatan pada 2000.
Reinout Vos dalam buku Gentle Janus,
Merchant Prince: The VOC and the Tightrope of Diplomacy in the Malay World
1740-1800 terbitan KITLV Belanda tahun 1994 dengan gamblang memaparkan betapa
penguasaan timah menjadi salah satu faktor penentu dalam persaingan ekspansi
serikat dagang Eropa dan sejumlah Kesultanan di sekitar Sumatera dan
Semenanjung Malaya.
Dewasa ini, relasi timah dan politik,
antara lain diakui mantan anggota DPRD Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, Hazil Ma’ruf. Semasa menjadi anggota DPRD Bangka, ia pernah didatangi
pengusaha kapal isap pasir timah. Pengusaha itu membawa uang tunai ratusan juta
rupiah. Uang tersebut akan diberikan kepada Hazil kalau dia mau mendukung
pengoperasian kapal isap di perairan Pesaren, Bangka, yang merupakan wilayah
konstituennya.
”Saya menolak tawaran itu karena
kompensasi untuk konstituen tidak jelas. Pengoperasian kapal isap akan
menghancurkan daerah tangkapan warga Pesaren yang hampir seluruhnya nelayan. Para
nelayan bertekat melawan, bahkan kalau perlu, membakar kapal isap timah,”
paparnya, Rabu (23/11), di Belinyu, Bangka.
Bentrokan antara petambang timah dan
kelompok nelayan memang tidak mengada-ada. A Kioen, nelayan warga Pesaren,
mengaku, meski tidak ada kapal isap yang beroperasi di dekat mereka, keberadaan
kapal isap timah pada musim tertentu mengakibatkan tangkapan merosot tajam
akibat keruhnya air laut di pesisir Pesaren.
Sumbangan politik
Presiden Asosiasi Timah Indonesia
Hidayat Arsani mengatakan tidak dapat ditampik, pengusaha timah banyak
menyumbang kepada politisi di Bangka Belitung. Namun, ia tidak menjawab tegas
apakah sumbangan itu diiringi permintaan untuk menyukseskan bisnis timah atau
tidak. ”Politik perlu biaya. Di Bangka Belitung, sebagian biaya itu disumbang
oleh pengusaha timah. Mereka menyumbang ke semua tokoh dan partai politik yang
dihitung sebagai biaya ’pengamanan’ investasi,” tuturnya.
Bahkan, sejumlah pengurus parpol adalah
pengusaha timah. Fakta itu, ujar Hidayat, adalah salah satu jalur lain dana
timah masuk politik. ”Tidak salah kalau kader menyumbang ke partai sendiri. Ada
juga pengusaha yang bukan pengurus partai,” ujarnya.
Tawaran kepada Hazil dan pengakuan
Hidayat itu salah satu dari sekian banyak transaksi politik untuk menyukseskan
penambangan timah di Bangka Belitung. Namun, sebagian besar politisi dan
pengusaha menolak mengakui secara tegas apa yang disampaikan Hazil dan Hidayat.
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Eko
Maulana Ali termasuk yang menyanggah hal itu. Menurut dia, tak ada transaksi
apa pun untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok antara politisi dan
pengusaha timah. Transaksi masih tahap normatif sesuai kewenangan. ”Saya minta
pengusaha timah membangun rumah sakit, membantu rumah ibadah, biaya pendidikan.
Transaksi untuk kepentingan pribadi tidak ada,” ujarnya.
Sandaran ekonomi
Eko tidak membantah jika timah termasuk
faktor prioritas dalam pengambilan keputusan di Bangka Belitung. Hal itu lebih
didasari pada kenyataan bahwa timah sebagai penggerak utama perekonomian Bangka
Belitung. Badan Pusat Statistik Bangka Belitung mencatat, timah berperan hingga
70 persen dalam perekonomian Bangka Belitung.
Eko juga menyatakan sudah sering
mendengar tuduhan dirinya sebagai pemicu penambangan timah ilegal atau lazim
disebut TI. Tudingan itu tidak lepas dari penerbitan Surat Keputusan Bupati
Bangka Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum. SK itu
disahkan Eko semasa menjadi Bupati Bangka. ”Keputusan saya didasarkan pada
situasi saat itu. Rakyat butuh penghasilan dan ada sumber daya alam yang belum
dimanfaatkan,” tuturnya.
Sebelum SK No 6/2001 terbit, sejak masa
Kesultanan Palembang hingga masa PT Timah, penambangan timah adalah monopoli
pemerintah dan perusahaan yang ditunjuknya. Di masa Orde Baru, warga petambang
liar timah harus siap masuk penjara.
Setelah Eko menerbitkan SK No 6/2001,
penambangan skala kecil bermunculan di penjuru Bangka Belitung. Aktivitas itu
diikuti kehadiran ratusan penjual alat tambang dan puluhan pabrik peleburan
timah swasta yang menampung pasir timah dari penambangan skala kecil. Bahkan,
induk koperasi polisi (inkopol) pernah menjadi penjual resmi peralatan tambang
dan penampung pasir timah.
Pasir timah disalurkan ke total 28
pabrik peleburan di Bangka Belitung. Inkopol adalah salah satu pedagang
pengumpul pasir timah yang menyetor ke pabrik. Salah seorang pedagang pengumpul
di Belinyu, A Hiong Lohan, menuturkan, penambangan kecil berkontribusi pada
perekonomian lokal. Sebaliknya, petambang bermodal besar dari luar Bangka
mengirimkan hasil kerjanya ke daerah asal.
”Penambangan besar, seperti lewat kapal
isap, hanya mengeruk saja. Hasilnya dibawa ke luar. Penambangan kecil ini
adalah cara warga Bangka menikmati kekayaan alamnya setelah bertahun-tahun
menjadi penonton,” tuturnya.
Hidayat tidak membantah sinyalemen
tersebut. Setiap bulan pada 2011, rata-rata nilai ekspor timah Bangka Belitung
Rp 2 triliun. Namun, tidak seluruh uang itu berputar di Bangka Belitung.
”Sebagian diinvestasikan pemilik modal ke daerah asalnya di luar Bangka Belitung,
baik di dalam maupun di luar negeri. Hasil dari kapal isap paling banyak dibawa
ke luar Bangka Belitung, bahkan ke luar Indonesia karena sejumlah pemilik
sahamnya orang asing,” tuturnya.
Sebaliknya, hasil penambangan kecil
berputar di sekitar wilayah penambangan. Hasil penambangan kecil memicu
percepatan pertumbuhan perekonomian. ”Sampai 2000, jumlah mobil di Belinyu bisa
dihitung dengan jari. Orang tahu mobil A punya siapa. Sejak warga bebas
menambang, sudah tidak terhitung berapa jumlah mobil di sini,” ujar A Hiong.
Tak sedikit pula pelajar yang bisa
membeli kendaraan sendiri. Mereka mendapatkan uang dengan cara mencari timah di
tumpukan limbah tambang sepulang sekolah atau lazim disebut melimbang oleh
warga Bangka. ”Dalam sehari bisa dapat rata-rata satu kilogram. Dari melimbang,
mereka sudah dapat uang hingga Rp 100.000 per hari saat harga bagus,” tuturnya.
A Hiong menegaskan, petambang kecil siap
diatur. Namun, pemerintah harus adil dengan mengatur pula izin kapal isap.
”Saya sering baca berita, jumlah kapal isap jauh lebih banyak dibandingkan
dengan izin operasi yang ada. Apa itu namanya kalau bukan hasil kongkalikong
pejabat, politisi, dengan pengusaha besar?” ujarnya.[Kompas December 7, 2011]
PEMAIN PANGGUNG POLITIK (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 4)
Cukong timah dan penguasa lokal adalah satu entitas penguasa di
Bangka-Belitung, terutama di Bangka yang dipenuhi tambang, baik di daratan
maupun lautan. Keberadaan para cukong yang saling menyokong dengan penguasa itu
memberikan warna baru pada lanskap politik Bangka pasca-penetapan otonomi
daerah sepuluh tahun silam.
Partisipasi atau sumbangan para cukong
timah membanjiri pundi politikus lokal. Sebaliknya politikus lokal juga
menyediakan kemudahan dan perizinan tambang. Skala usaha yang paling
menguntungkan dan menghasilkan pemain kakap di industri timah kini adalah kapal
isap yang beroperasi di perairan Bangka.
Kalau di masa keemasan industri gula di
Jawa para pengusaha kakap dikenal sebagai Baron Gula, kini dikenal Baron Timah
yang menjadi pengusaha kakap bisnis timah di Bangka. Salah satu Baron Timah
yang juga Presiden Asosiasi Timah Indonesia Hidayat Arsani tidak segan mengakui
kerap memberi sumbangan kepada sejumlah pejabat sipil, polisi, dan tentara di
Provinsi Kepulauan Babel.
Hidayat membantah sumbangan itu
gratifikasi, apalagi penyuapan. Bantuan itu kerap diberikan kepada pejabat yang
menempuh pendidikan lanjut atau perlu kebutuhan lain. ”Saya membantu Indonesia
mendapat pejabat yang lebih baik. Bagaimana mereka mau konsentrasi sekolah
kalau di rumah beras habis. Saya bantu sekadar untuk ongkos ke tempat
pendidikan lanjutan atau untuk belanja di rumah,” ujar pria yang mengaku pernah
jadi preman ini.
Namun, dia tidak membantah pernah
membantu mempromosikan pejabat tertentu. Bantuan itu diberikan dengan alasan
sejumlah pejabat tidak pandai melobi. ”Saya hanya menyampaikan apa kompetensi
seseorang. Selanjutnya terserah gubernur atau bupati mau memakai orang itu atau
tidak,” tuturnya.
Sejumlah pengusaha timah juga menjadi
politikus. Sebutlah Ismiryadi dan Ernawan Rebuin yang menjadi Ketua dan Wakil
Ketua DPRD Babel 2009-2014. Ismiryadi aktif di PDI-P, sementara Ernawan kader Partai
Golkar. Sebelum terjun ke politik, keduanya mendirikan pabrik peleburan bijih
timah.
Meskipun selalu menyatakan sebagai
pengusaha timah dalam berbagai kesempatan, Ismiryadi menegaskan sudah
memisahkan perannya antara sebagai politikus dan sebagai pengusaha.
Potret politikus
Bupati Bangka periode 1998-2007 yang
menjadi Gubernur Babel periode 2007-2012 Eko Maulana Ali tidak membantah pernah
mengajak Ismiryadi dan Ernawan mendirikan pabrik peleburan timah. Sejumlah
pengusaha mendirikan pabrik selepas Eko mengesahkan SK Bupati Bangka No 6/2001
tentang Pengelolaan Penambangan Umum. Menurut Eko, SK itu menjadi salah satu
penyebab dirinya dituding sebagai pelindung tambang ilegal. ”Saya akan buat
buku, menjawab tudingan itu,” ujarnya.
Selepas menang pemilu gubernur 2007,
purnawirawan anggota TNI AL berpangkat kolonel ini jadi aktor terkuat di
panggung politik Babel. Sebagai Ketua DPD Partai Golkar Babel, ia jadi patron
bagi bupati sekaligus Ketua DPD Golkar Bangka Tengah Erzaldi Rosman Djohan yang
putra Wali Kota Pangkal Pinang (1989-1993) Rosman Djohan.
Di sekeliling Eko ada Elly Rebuin yang
menjadi staf khusus gubernur dan Ernawan dalam status anggota DPRD Babel dari
Golkar. Ernawan dan Elly, saudara Wali Kota Pangkal Pinang periode 1993-1998
Sofyan Rebuin, hampir selalu terlihat di sekitar Eko. Elly kerap menjadi
representasi Eko dalam berbagai pertemuan dengan aneka kelompok. Jejaring Eko
masih ditambah dengan Noorhari Astuti, anggota DPD 2009-2014 yang juga istri
Eko. Banyak warga Babel mengakui, gaya komunikasi Noorhari yang supel
menciptakan citra kedekatan warga dengan keluarga gubernur.
Sebagai calon petahana pada Pemilu
Gubernur Babel 2007- 2012, Eko disokong Golkar, PDI-P, dan PKS. PKS menyatakan
dukungan beberapa hari sebelum pendaftaran. Sebelumnya, PKS berkomunikasi
dengan Yusron Ihza Mahendra yang akan diusung PBB sebagai calon gubernur.
Namun, komunikasi itu terhenti dan
Yusron merapat ke PPP. PKS menjajaki kemungkinan mengusung Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok, mantan Bupati Belitung Timur dan anggota Fraksi Golkar di
DPR 2009-2014. Namun, akhirnya PKS melabuhkan pilihan politiknya pada pasangan
Eko-Rustam Effendy yang sudah diusung Golkar-PDI-P.
Sementara Yusron, anggota keluarga Ihza
dari Belitung Timur, sudah pasti menggandeng Bupati Bangka Yusroni Yazid yang
merupakan kader PPP dalam Pemilu Gubernur Babel 2012. Yusron, satu dari lima
adik mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, mencoba menambah
rekam jejak keluarga Ihza di kancah politik. Meski diwarnai dukungan dari
pebisnis timah, para kandidat gubernur juga menjual isu pembangunan Bangka
pasca-pertambangan Timah.
Salah satu kuda hitam sebagai calon
gubernur adalah Zulkarnain Karim yang kini Wali Kota Pangkal Pinang. Zul,
demikian kader Partai Demokrat itu akrab disapa, mengaku, para pengusaha timah
berpartisipasi pada parpol secara merata. ”Tentu saja mereka membantu di
mana-mana agar usaha juga lancar. Saya pribadi mendorong agar bisnis timah di
Bangka berkembang bersama usaha lain, seperti budidaya perikanan agar
masyarakat memiliki alternatif pendapatan. Strategi itu penting karena di
sejumlah daerah, seperti Kota Pangkal Pinang dan Pulau Belitung, tidak
beroperasi kapal isap timah yang dapat mengganggu mata pencaharian nelayan,”
kata Zulkarnain.
Dinasti politik?
Menurut Rektor Universitas Bangka
Belitung Bustami Rachman, Babel belum punya dinasti politik. Sebagai provinsi,
Babel baru berusia 11 tahun dan belum cukup waktu bagi kelompok-kelompok
politik membangun kekuatan menjadi dinasti. ”Masih mencari bentuk,” tuturnya.
Hal lain, Babel nyaris tidak mengenal
kerajaan. Kesultanan Palembang yang mengklaim sebagai penguasa Bangka selama
ratusan tahun praktis hanya berpengaruh pada jalur-jalur perdagangan timah. Hal
itu menumbuhkan budaya egaliter yang tidak mengenal otoritas, cikal bakal
dinasti politik. Apalagi, selama bertahun-tahun Babel tidak pernah dilibatkan
dalam pergulatan politik regional dan nasional. ”Babel hanya dimanfaatkan,”
ujarnya.
Fakta itu membuat tidak ada warisan
kekuatan politik yang mengakar di Babel. Hal itu menjelaskan mengapa Babel
tidak seperti daerah pemekaran lain yang jadi ajang pembentukan dinasti oleh
kekuatan politik yang tersingkir dari daerah induk. Namun, seiring pengaplingan
dan eksploitasi timah yang menghasilkan segelintir elite pengusaha, kelihatannya
pola patron-klien antara pengusaha kakap dan elite politikus bisa jadi akan
membentuk kelompok-kelompok politik di Babel.
Saat ini, Bupati Belitung Timur Basuri,
kerabat dekat mantan Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama, muncul di
panggung politik lokal. Demikian pula Yusron Ihza Mahendra maju dalam
pencalonan gubernur Babel 2012. Inikah tanda-tanda terbentuknya dinasti
politik?[KompasDecember 7, 2011]
DI LUAR PANGGUNG TIMAH
(KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 5)
Naskah (17) memaksakan senyum saat ditanya bagaimana kelanjutan
Suku Sawang di Bangka Belitung. Sebagai putra Kepala Suku Sawang di Desa Juru
Seberang Menan (60), dia termasuk orang yang gelisah dengan kelanjutan orang
laut dari Bangka Belitung tersebut.
Naskah ditakdirkan sebagai orang laut
sejak lahir. Pemuda bertubuh besar itu lahir di perahu yang tengah berlayar di
Selat Gaspar, penghubung Pulau Bangka dengan Pulau Belitung. Sejak kecil, dia
bermain, mencari makan, dan mencari penghasilan dari laut. ”Saya ke darat
karena sedang jenuh di laut. Sedang musim angin barat, ombak tinggi. Biasanya,
beberapa hari ke darat lalu ke laut lagi berminggu-minggu,” ujarnya pada
pertengahan November 2011 di Belitung.
Ketangguhannya sebagai orang laut bisa
dilihat antara lain dari kesanggupannya menyelam selama lebih dari 30 menit
hanya dengan udara dari kompresor pompa ban. ”Ayah saya malah cukup modal
kacamata kecil, bisa menyelam 15 menit lebih tanpa ambil napas. Begitulah cara
orang laut mencari nafkah,” ujarnya.
Namun, semakin sedikit orang laut
benar-benar menggantungkan hidup dari laut. Di Desa Juru Seberang tersisa 40
keluarga suku Sawang. ”Saya tidak ingat ada bantuan pemerintah untuk Suku
Sawang. Orang-orang Sawang yang sudah bercampur dengan suku lain tak bekerja di
laut lagi,” ujarnya.
Ketua RT 06 Desa Juru Seberang
Ardiansyah (28) membenarkan hal itu. Sebagian besar orang Sawang di Belitung
menjadi buruh angkut di pelabuhan. Sangat sedikit orang Sawang yang tetap
menjadi nelayan atau orang-orang yang mencari penghasilan dari laut. ”Orang
Sawang di sini hampir tak pernah mendapat bantuan pemerintah. Bantuan lebih
banyak ke Kampung Laut yang sebagian besar bukan orang Sawang asli dan tidak
lagi hidup dari laut,” tuturnya.
Memang, bantuan dari pemerintah disikapi
dengan sangat hati-hati. Dua kali pemerintah mencoba mengubah orang Sawang
menjadi orang darat. Pada dekade 1970-an, pemerintah memukimkan orang Sawang di
Kampung Laut. Sekarang nyaris tidak ada orang Sawang di kampung itu hidup dari
laut.
Pada 1985, pemerintah mencoba memukimkan
orang Sawang di Juru Seberang. Sebanyak 20 rumah semipermanen dibangun dan
sebagian masih dipakai hingga kini. Mereka diminta menyerap cara-cara hidup
orang Melayu yang lebih berbasis daratan. ”Kalau mau membantu, sesuaikan dengan
kebutuhan kami sebagai orang laut,” ujar Naskah.
Warga Belitung lainnya, Ramsi (67),
mengatakan tidak terlalu hirau dengan hiruk-pikuk politik. Dia pernah aktif
berpolitik di masa Orde Lama dengan menjadi anggota organisasi kepemudaan.
Namun, prahara politik pada 1965 membuatnya susah. ”Saya diperiksa dan
dicurigai bertahun-tahun berdasarkan daftar hadir pertemuan yang hanya sekali
saya ikuti. Saya hadir sebagai tamu dan berstatus anggota organisasi lain,”
ujarnya.
Sejak itu, ia memilih menjauh dari
politik praktis dan menyibukkan diri mencari nafkah. Sebagai warga sipil biasa,
harapannya hanyalah jaminan keamanan dan kestabilan situasi. ”Saya pedagang dan
rakyat kecil, tahu susahnya hidup kalau situasi tidak stabil. Para politisi
silakan saja bersaing berebut kursi. Namun, jangan sampai persaingan itu
merusak ketenteraman warga. Saya hanya ingin berdagang dengan tenang,” ujarnya.
Mengandalkan laut
Warga Pulau Belitung adalah potret
konsistensi kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam yang lambat laun
digerus pertambangan timah di laut. Mereka secara umum menolak beroperasinya
kapal isap timah. Bahkan, beberapa waktu lalu, masyarakat mendemo pejabat setempat
karena mendengar ada pemberian izin bagi kapal isap timah di perairan Belitung.
Walhasil, hingga kini, perairan Belitung
aman dari eksploitasi timah di lautan yang mengganggu ekosistem laut. Warga
mengandalkan perikanan dan wisata sebagai sumber pendapatan. Ikon sebagai
”Negeri Laskar Pelangi” dimanfaatkan betul oleh warga Belitung yang mencoba
menjual keindahan pantai dan keberagaman kehidupan masyarakat Melayu dan
Tionghoa yang digambarkan oleh novelis Andrea Hirata di Desa Gantung, Belitung
Timur.
Warga Pulau Bangka juga banyak yang
tidak sekadar menggantungkan hidup dari bisnis timah, terutama kapal isap timah
yang notabene dikuasai segelintir pengusaha besar dan bermitra dengan oknum
pejabat daerah dan pusat.
Baru-baru ini, seribu lebih warga Bangka
Belitung alumni Sekolah Budi Mulia berkumpul merayakan ulang tahun ke-77
yayasan sekolah Katolik tersebut. Banyak alumnus Budi Mulia dari suku Melayu
dan Tionghoa yang merantau ke luar daerah menghadiri reuni tersebut. Sebutlah
musisi Idang Rasjidi, Irjen Polisi (Purn) Chairul Rasjid, hingga sejumlah
pengusaha terkenal di Jawa yang ternyata memiliki akar di Jawa.
”Banyak juga orang Bangka nonbisnis
timah yang sukses. Waktu reuni kemarin selama dua hari, alumni mengumpulkan
dana hingga lebih dari Rp 1 miliar untuk disumbangkan ke Yayasan Budi Mulia,”
kata Hongky yang bekerja sebagai arsitek di Pangkal Pinang.
Kisah sukses warga Bangka perantauan
memang patut dipuji. Bahkan, salah satu konglomerasi besar di Surabaya, seperti
grup usaha Wings, juga dimiliki keluarga Katuari yang berasal dari Bangka.
Itu kisah sukses para perantau. Warga
kecil yang tidak berkecimpung di sektor pertambangan timah, semisal Wayan Rana
yang tinggal di lokasi transmigrasi di Desa Sumber Jaya Permai, Kecamatan Batu
Tumpang, Kabupaten Bangka Selatan, optimistis mampu meraih sukses dengan
budidaya sawit dan karet serta kebun buah-buahan di wilayahnya. ”Kami warga
Bali dan warga asal Pulau Jawa yang pindah sejak 1996 mulai menikmati hasil
budidaya tanaman di sini,” kata Rana yang juga menjabat sebagai sekretaris
desa.
Di utara Pulau Bangka, tepatnya di
Belinyu, banyak warga masih mengandalkan kehidupan nelayan atau berwiraswasta
mengandalkan hasil laut, seperti industri kerupuk dan otak-otak yang menjadi
ciri khas Bangka. Hendi Bong, pengusaha kerupuk di Belinyu, mengaku akan terus
menjaga usaha yang diwariskan keluarga dan tidak terpikir untuk banting setir
ke bisnis timah. Setiap hari, dia mampu memproduksi puluhan kilogram kerupuk
dengan bahan baku beragam dari ikan tenggiri hingga jenis ikan lain.
Zulkarnain Karim, Wali Kota Pangkal
Pinang, secara tegas mendukung kegiatan ekonomi nontimah. ”Kita jangan
berbicara Bangka Belitung pascatimah. Kegiatan ekonomi nontimah harus berjalan
simultan. Budidaya perikanan dan perkebunan harus dihidupkan. Terbukti banyak
warga masih bisa mendapatkan penghasilan di luar penambangan timah,”
katanya.[Kompas December 8, 2011]
BELITUNG, POLITIK
BHINEKA (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 6)
Keberadaan Pulau Belitung tidaklah setenar Pulau Bangka dalam
percaturan politik nasional. Meski demikian, dari Manggar, Belitung Timur,
muncul sejumlah tokoh nasional, bahkan internasional.
Sebutlah Yusril Ihza Mahendra sebagai
tokoh politik dari kelompok Islam. Selain itu, dari kecamatan itu hadir pula
Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit, petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI)
semasa Orde Lama. Sementara itu, selepas Reformasi 1998, publik juga mengenal
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Tionghoa pertama yang menjadi Bupati
Belitung Timur, lalu calon Gubernur Bangka Belitung, dan kini anggota DPR dari
Fraksi Partai Golkar.
Aidit, Yusril, dan Ahok seolah menjadi
bukti keragaman dalam dunia politik di Belitung. Aidit dibesarkan dalam
keluarga yang aktif di Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah
satu partai Islam besar di masa Orde Lama. Namun, pilihan politiknya
mengantarkan dia menjadi Ketua PKI.
Lalu, muncul Yusril, pendebat tangguh
sejak mahasiswa, yang pernah dicap sebagai komunis sehingga membuatnya dijauhi
Orde Baru. Padahal, sejak muda, Yusril cenderung memilih Masyumi, dan hal itu
diwujukan dengan mendeklarasi Partai Bulan Bintang (PBB), yang diklaim sebagai
penerus gagasan Masyumi.
Pengamat politik dari Belitung, Rosihan
Sahid, mengatakan, Belitung dalam sejarah politik memang cenderung ”hijau”
sejak pemilu pertama digelar tahun 1955. Namun, bukan berarti partai Islam
sukses mengakar di Belitung.
”Warga Belitung tidak terlalu
mempertimbangkan ideologi partai. Warga lebih memperhatikan rekam jejak tokoh
dan keluarga mereka dalam jangka panjang,” ujar Rosihan, yang juga kerabat
Aidit itu.
Rekam jejak itu terlihat pada keluarga Yusril
Ihza, Aidit, dan Ahok. Ayah Aidit, yakni Abdullah Aidit, lebih dikenal sebagai
pendidik dan tokoh agama ketimbang tokoh politik. Abdullah Aidit, antara lain,
mendirikan madrasah di Tanjung Pandan, Belitung.
Sementara itu, ayah dan paman Yusril
Ihza adalah pemuka agama terkemuka di Manggar. Ayahnya lama menjadi penghulu.
Pamannya kerap membantu memandikan jenazah.
Keluarga Ahok dikenal sebagai donatur
tanpa pamrih. ”Mereka kerap membantu siapa saja meski tidak kenal. Bantuan itu
diberikan kapan saja, bukan hanya mendekati pemilu untuk mencari dukungan
sesaat,” tutur Rosihan lagi.
Dengan bekal rekam jejak keluarga itu,
mereka mudah mendapatkan dukungan saat masuk ke kancah politik. Publik Belitung
cenderung mengikuti pilihan politiknya sesuai hati nurani. Namun, kecenderungan
itu bukan tanpa didasari sikap kritis. Ahok dan keluarganya tidak mengandalkan
dukungan primordial. Ahok dipilih oleh masyarakat Melayu yang merupakan bagian
terbesar penduduk Kabupaten Belitung Timur karena pertimbangan rasional dan
bukan sektarian yang membedakan orang berdasarkan suku ataupun keyakinan.
Anhar, seorang warga Melayu asal
Belitung Timur yang aktif di organisasi Masyumi, mengaku sepenuh hati mendukung
Ahok dalam pencalonan Bupati Belitung Timur lalu. ”Kami melihat hati dan amalan
seseorang. Itulah kenapa banyak orang mendukung Ahok,” kata dia.
Demokrasi warung kopi
Warga Belitung memiliki ruang demokrasi
terbuka untuk membangun daya pikir kritis dan dewasa. Ruang itu terutama di
meja warung kopi yang tersebar di sejumlah penjuru. Warung kopi di Manggar dan
Tanjung Pandan adalah tempat diskusi utama orang Belitung. Mereka membahas apa
saja, mulai dari pengurusan aneka surat terkait pemerintah, gosip politik,
sampai pencuri di kampung.
Warung demi warung dan meja demi meja di
ajang demokrasi harian itu secara spesifik menjadi ruang partisipasi rakyat
membahas segala sesuatu. Peminat politik akan bergabung dengan kelompok yang
berbincang politik. Peminat bisnis akan bergabung dengan sesama orang yang
sedang membahas peluang dan perkembangan bisnis. Warung demi warung berdiri
berdampingan memberi ruang pendidikan politik ala Belitung itu. Semakin malam,
suasana di warung kopi pun kian hangat.
Bahkan, orang Belitung lebih percaya
kabar yang didapatkan di warung kopi dibandingkan dengan dari media massa.
”Kalau mau tahu apa yang terjadi di Belitung, tidak perlu melihat berita
televisi atau membeli koran. Datang saja ke warung kopi,” ujar Akuan (45),
seorang pelanggan warung kopi Ake di Tanjung Pandan.
Di warung kopi, penjual sayur sampai
anggota DPRD mempunyai hak berbicara yang sama. Mereka menyampaikan pandangan
masing-masing atas suatu masalah. ”Kami bisa mendapat beragam pandangan di
sini. Sedikit banyak, itu membantu membuat keputusan,” ungkap Akuan lagi.
Kekritisan orang Belitung juga terbangun
oleh trauma peristiwa 1965. Saat ini, seperti di sejumlah wilayah Indonesia,
banyak orang tiba-tiba dipenjara atau paling sedikit diperiksa bertahun-tahun
oleh aparat. Sebagian dari mereka memang aktif di PKI dan organisasi sayapnya. Sebagian
cuma karena pernah terdaftar hadir saat ada pertemuan yang diselenggarakan PKI
atau organisasi sayapnya.
”Saya sekali ikut rapat Pemuda Rakyat
dan hadir sebagai anggota organisasi pemuda lain. Namun, nama saya masuk
daftar. Setelah 1965, bertahun-tahun saya diperiksa militer,” imbuh Ramsi (66),
warga Tanjung Pandan.
Setelah kejadian itu, Ramsi memilih
menjauh dari hiruk-pikuk politik. Dia hanya berdiskusi tentang banyak hal,
termasuk politik, di warung kopi. Karena itu, dia sama sekali tidak mau terlibat
politik dalam bentuk apa pun. ”Buat apa berpolitik kalau ujung-ujungnya
terborgol,” tuturnya.
Itulah dinamika politik Belitung.
Kemeriahan warung kopi di Belitung tidak tertandingi oleh dinamika di Bangka,
yang memiliki banyak juragan timah bermodal besar. Masyarakat nelayan dan
petani Belitung lebih memiliki kesadaran berpolitik yang rasional. Tokoh
pembentukan Provinsi Bangka Belitung, Amung Tjandra Chen, berulang kali
menegaskan nilai strategis Belitung. ”Bangka tidak berarti tanpa Belitung. Ikrar
pembentukan Bangka Belitung dilakukan di Belitung,” ujarnya.
Warga dan dunia politik Belitung mungkin
bagian kecil di Bangka Belitung, tetapi penting dan penuh dinamika.[Kompas December 8, 2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar