Kamis, 24 Mei 2012


SELISIK RUMAH DEMOKRASI BANGKA BELITUNG…(KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 1)
Posted by admin on December 3, 2011
Dalam keriuhan demokrasi Indonesia, geliat Bangka Belitung seolah redup. Namun, sebenarnya, justru di provinsi yang baru menjejak usia ke-11 tahun ini, idealisasi nilai-nilai demokrasi berikut pertautannya dengan kesejahteraan masyarakat tengah dipertaruhkan.
Pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2009 yang dipublikasikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun ini menempatkan Provinsi Bangka Belitung di posisi ke-20 dari 33 provinsi di seluruh Indonesia.
Berdasarkan posisi itu, prestasi demokrasi provinsi berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa ini jika dibandingkan provinsi lain tampak kurang mengesankan. Berdasarkan tiga aspek yang diukur, yaitu kebebasan sipil, pemenuhan hak politik, dan kualitas kelembagaan demokrasinya, skor provinsi ini hanya 67,01. Skor itu di bawah rata-rata skor nasional sebesar 67,30. Tertinggal jauh jika dibandingkan skor papan atas IDI, yaitu Kalimantan Tengah (77,63), Riau (75,85), dan DKI Jakarta (73,61).
Aspek kesejahteraan masyarakat, sebagai salah satu indikator yang kerap dijadikan tolok ukur penopang demokrasi, juga tak terlalu menawan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bangka Belitung tahun 2009 sebesar 72,55. Nilai itu sedikit di atas rata-rata IPM nasional (71,76). Namun, jika dikaji dari sejumlah komponen pembentuk IPM, hanya daya beli dan angka melek huruf yang berada di atas rata-rata angka nasional. Indikator sosial lainnya, seperti rata-rata lama pendidikan masyarakat—yang selama ini selalu dikaitkan dengan kualitas demokrasi—dan angka harapan hidup penduduknya masih di bawah rata-rata nasional. Dengan mengaitkan antara besaran IDI dan IPM Bangka Belitung, tampak benar posisi provinsi ini secara nasional kurang menonjol.
Modal ikatan sosial
Peringkat demokrasi dan kesejahteraan Bangka Belitung, sebagai dua entitas yang selalu dipertautkan, bisa saja kurang menonjol. Persoalannya, apakah dinamika kehidupan politik di provinsi ini tergolong kurang demokratis? Lebih mendasar lagi, apakah bibit demokrasi yang disemai tidak mampu bertahan hidup dalam kultur sosial politik masyarakatnya? Apakah kondisi kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung harus disikapi secara pesimistis dalam menopang demokrasi di kawasan ini?
Pergulatan demokrasi tengah berlangsung di Bangka Belitung. Beragam premis dasar sebagai modal terbentuknya kehidupan demokrasi yang berkualitas dimiliki provinsi ini. Aspek keragaman sosial masyarakat, misalnya, terbentuk sejak abad ke-17. Terbentuknya masyarakat kedua pulau ini umumnya dari hasil migrasi pekerja tambang, perkebunan, atau persinggahan perdagangan. Masyarakat beretnik Melayu, Tionghoa, Jawa, atau suku lain melebur dan beranak-pinak di wilayah ini.
”Arus panjang sejarah pertambangan timah dan perdagangan itu secara khusus membentuk masyarakat di sini dalam kultur yang plural, terbuka, sekaligus egaliter,” kata Bustami Rahman, sosiolog yang juga Rektor Universitas Bangka Belitung.
Di tengah keragaman, segregasi sosial tidak tampak. Ikatan sosial hingga kini relatif terjaga, yang sekaligus adalah modal potensial terbentuknya kehidupan masyarakat yang demokratis. Ini pula yang berlangsung dalam kehidupan politik masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengurai, di Bangka Belitung komposisi penduduk berdasarkan etnisitasnya terbesar adalah Melayu Bangka dan Melayu Belitung sekitar 69 persen. Tionghoa dengan populasi 11 persen. Selain itu, ada Jawa (6 persen), Bugis-Makassar (3 persen), Madura, dan sejumlah suku lain.
Sekalipun dari sisi kuantitas proporsi setiap etnik berbeda, praktik kesetaraan tidak tersingkirkan. Tampilnya sosok politisi pilihan masyarakat beretnik Tionghoa di DPR, seperti Rudianto Tjen dan Basuki Tjahaja Purnama, serta di Dewan Perwakilan Daerah seperti Tellie Gozelie dan Bahar Buasan, atau dalam kursi kepemimpinan lokal, seperti Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama, mengukuhkan terbukanya kesetaraan itu, sekaligus memorakporandakan konsep proporsionalitas politik yang umumnya dipraktikkan.
Terpilihnya sosok politisi beretnik Tionghoa tergolong alami dari hasil kalkulasi rasional pemilihnya dalam sejumlah ajang kontestasi politik. Pemilih mereka tidak semata-mata berasal dari kesamaan etnik atau agama. Anhar, warga Melayu di Manggar, Belitung Timur, yang pernah aktif di Partai Bulan Bintang, mengatakan, ”Tidak masalah China sepanjang punya perhatian terus-menerus kepada kami.” Pendapat ini ia buktikan saat pemilu gubernur Bangka Belitung tahun 2007. Sekalipun berbeda suku, agama, dan partai politik, Anhar bersama warga sekitar wilayahnya lebih memilih Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ahok akhirnya kalah tipis dari Eko Maulana Ali, yang menjabat gubernur saat ini. Namun, sebelumnya, ia memenangi Pilkada Kabupaten Belitung Timur tahun 2005, wilayah di mana identitas sosial dirinya tergolong minoritas.
Penopang ekonomi
Soliditas sosial masyarakat Bangka Belitung adalah modal sosial terbesar bagi berlangsungnya demokrasi di kawasan ini. Modal ini terbentuk dan berproses sedemikian lama, yang sebenarnya terbentuk dari adanya ”kesamaan nasib” dalam kerja ekonomi atau distribusi pemanfaatan sumber daya alam. Kekayaan alam timah menjadi perekat masyarakat Bangka Belitung. Ekonomi masyarakat adalah ekonomi timah.
Sejauh ini, sesuai perhitungan BPS, proporsi terbesar—lebih dari sepertiga bagian—gerak ekonomi bertumpu secara langsung pada pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang. Selebihnya seperti sektor jasa, keuangan, dan perdagangan yang sebenarnya langsung atau tidak langsung bersentuhan pula dengan pertambangan. Diperkirakan hampir 70 persen ekonomi provinsi ini digerakkan oleh keberadaan timah.
Pemanfaatan timah berkontribusi langsung bagi perekonomian masyarakat. Zulfari, Ahong, dan Parno, petambang yang berbeda suku, tetapi bekerja sama dalam satu kelompok kerja, mengungkapkan tidak terlalu sulit mengais rezeki timah. Minimal Rp 100.000 mereka dapatkan dalam sehari. ”Jika beruntung dan harga timah tinggi, seminggu bisa Rp 5 juta,” ungkap Zulfari. Kemudahan ini mendongkrak daya beli masyarakat, yang secara agregat tergolong tinggi. Data BPS mengungkapkan, rata-rata daya beli masyarakat Rp 639.000 per kapita per tahun, di atas daya beli rata-rata per kapita Indonesia.
Terdapat masa sulit ketika penambangan tak lagi ekonomis. Namun, geliat ekonomi timah kembali terasakan sesaat bergulirnya otonomi daerah. Munculnya kebijakan menteri perindustrian dan perdagangan yang membuka peluang industri pengolahan timah di daerah dan makin dipermulus dengan munculnya beberapa peraturan daerah (perda), salah satunya Perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, semakin memperluas kesempatan eksploitasi timah.
”Saat itu saya dihadapkan pada kondisi yang terdesak, harus mencari pekerjaan bagi puluhan ribu penganggur, bekas petambang,” kata Eko Maulana. Kebijakan yang ia keluarkan saat masih menjadi Bupati Bangka ini membuka babak baru pertambangan rakyat, lebih sering disebut tambang inkonvensional, yang kini bahkan merambah tidak hanya daratan, tetapi juga penambangan timah di laut seputar Pulau Bangka.
Munculnya tambang rakyat dan pengolahannya di satu sisi berdampak bagi kesejahteraan warga. Warga dengan beragam latar belakang identitas dipersatukan timah dalam berbagai bentuk pekerjaan guna pencapaian kebutuhan hidup yang layak. Di sisi lain, eksploitasi timah tidak luput dari sorotan.
Selain persoalan potensi kerusakan lingkungan, kebijakan ini dalam perjalanannya melahirkan kelompok elite ekonomi pengusaha tambang. Peningkatan kapital secara signifikan membuat posisi tawar penguasa tambang kian kuat. Pada gilirannya, perpolitikan Bangka Belitung pun tidak luput dari pengaruh kekuatan aktor yang bersentuhan dengan pertambangan. ”Ekonomi dan politik Bangka Belitung tak lepas dari timah, belum bisa,” ungkap Hidayat Arsani, pengusaha pertambangan yang juga banyak berkiprah dalam kegiatan politik dan sosial di Bangka Belitung.
Bertumbuhnya aktor ekonomi ataupun politik semacam ini mengukuhkan peran aktor dalam wajah demokrasi Bangka Belitung. Apalagi situasi semacam ini tak diimbangi kiprah parpol. Sebagian besar fungsi parpol tenggelam, terkooptasi kekuatan aktor yang dalam banyak hal hanya menggunakan partai sebagai kendaraan politik semata. Benteng penguasaan parpol di sejumlah wilayah pun, yang seolah sangat ideologis dan mampu terpertahankan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2009, cenderung menjadi semu.
Pada situasi demikian, ancaman terhadap demokratisasi Bangka Belitung di ambang mata. Menjadi makin mengkhawatirkan jika Bangka Belitung pun tengah dihadapkan pada kenyataan kian terbatasnya potensi ekonomi timah yang selama ini menjadi penopang kesejahteraan masyarakat. Jika selama ini mereka dipersatukan dalam kenikmatan hasil timah, menipisnya timah berpotensi mengancam kerekatan sosial antarmasyarakat. Padahal, kerekatan sosial menjadi fondasi utama terbangunnya demokrasi. Kekhawatiran itu harus disingkirkan mereka yang siap berkontestasi dalam pemilihan gubernur Bangka Belitung dalam waktu dekat ini. (Litbang Kompas/Kompas.com December 3, 2011)
ROH PERSAUDARAAN MELAYU-TIONGHOA (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 2)
Posted by admin on December 5, 2011
“Saya ini Fang Tong Fan atau Melayu yang punya leluhr Tiongkok. Nenek saya perempuan Hakka dari Belinyu. Kami disini hidup rukun, tidak pernah membedakan,” kata Hazil Ma`aruf, seorang Melayu Belinyu yang berkulit gelap dan bermata sipit, beberapa waktu lalu.
Saat itu, mantan anggota DPRD Kab Bangka tersebut tengah duduk bersama karibnya, A Hiong, seorang peranakan Tiongoa Hakka, di warung otak-otak kha Belinyu.
Masyarakat Bangka Belitung (Babel) secara umum tidak mempertentangkan mayoritas-minoritas. Kebersamaan menjadi semangat hidup mereka.”Serumpun Sebalai,” itulah semboyang hidup masyarakat Babel dalam bahasa Melayu. Persaudaraan dan kesetaraan adalah harga mati disana.
kalau dirunut, ungkap Hazil, pasti masih ada hubungan kerabat jauh atau dun-sanak antara masyarakat Melayu dan Tionghoa. Pendapat itu dibenarkan A Hiong. Pemahaman kesetaraan lintas komunitas itu merata di Babel.
“Tong Ngin Phang Ngin jit Jong, semboyan kami dalam bahasa Hakka yang berarti Tionghoa dan Melayu adala sama, merupakan semangat hidup masyarakat Babel sejak berabad silam,” kata ZUlkarnain Karim, Walikota Pangkal Pinang yang berasal dari suku Melayu kelahiran Koba, Kab Bangka Tengah.
Zulkarnain lahir dan dibesarkan di perkampungan nelayan Melayu yang bertetangga dengan lingkungan Tionghoa. Sampai dia akhirnya menjadi walikota, para tetangga dan teman masa kecilnya tetap akrab dengannya. Bahkan, tumpukan sadjadah untuk shalat berjemaah di Kantor Walikota merupakan pemberian karib Tionghoa masa kecilnya.
Setia hari raya pun, warga Melayu biasanya tidak usah terlalu repot menyiapkan masakan. Para tetangga Tionghoa, ujar Zulkarnai, mengirimkan makanan bagi warga Melayu pada hari lebaran.
Demikian pula pada peringatan imlek, kata Hongky Listhiady, seorang warga Tionghoa Pangkal Pinang, Zulkarnain dan para tetangga Melayu mengirimkan makanan bagi warga Tionghoa.”Malahan pernah diadakan peringatan Imlek di rumah dinas Walikota Pangkal Pinang. Rasanya itu yang pertama di Indonesia pasca reformasi 1998,” ujarnya.
Zulkarnain lebih lanjut mengatakan, warga Tionghoa suda sejak abad 17 berdatangan ke Babel dalam jumla besar untuk bekerja di pertambangan timah sebelum penjajah Belanda datang. Orang Tionghoa yang umumnya suku Hakka tidak membawa pasangan perempuan sehingga mereka menikah dengan para perempuan Melayu di Babel. Selanjutnya terbentuklah masyarakat Tionghoa peranakan yang ‘separuh Melayu’ dari hubungan yang erat tersebut.
“Kalau mereka selanjutnya memeluk Islam, dia melebur dalam masyarakat Melayu. Kalau mempertahankan identitas budaya Tionghoa, dia menjadi seorang peranakan. Namun, semuanya secara umum saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari ataupun berhubungan darah. Nenek sayapun ada yang bermarga Theng atau dalam Mandarin disebut Deng. Bisa dibilang saya berkerabat jau dengan Deng Xiao Ping,” kata Zulkarnain tertawa.
Selain jalur perkawinan, sudah lazim di Babel terjadi saling mengangkat anak. kalau di Indonesia Timur dikenal sebagai ‘anak piara’ atau di kalangan pernakan Tionghoa di Jawa disebut anak ‘Kwe Pang”, di Babel sudah biasa terjadi keluarga Melayu mengangkat anak dari keluarga Tionghoa. Demikian pula sebaliknya.
Sebagai contoh adalah sesepuh pembentukan provinsi Babel, Amung Tjan-dra (81) alias Then Hon Liong, seorang penganut Katolik yang memiliki anak angkat Melayu seorang guru mengaji yang tinggal bertahun-tahun bersama keluarganya.
Kedekatan tersebut, menurut Amung adalah modal sosial dan menjadi kekuatan untuk pembangunan Babel. Keluarga inti AMung juga beragam, anak-anaknya ada yang menikah dengan suku Batak dan Jawa. Salah seorang menantunya juga ada yang muslim.
“Masyarakat asli Bangka yang Melayu dan Tionghoa hubungannya sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Selanjutnya banyak suku lain yang datag menjadi orang Babel pada masa silam. yang menjadi pertanyaan adalah membanjirnya pendatang sesudah pemekaran Prov Babel dan demam industri timah rakyat. Sekarang banyak warga tidak berpendidikan yang masuk ke Babel. Dulu jarang terjadi perampolan dan beragam jenis kejahatan. Sekarang hampir setiap hari terjadi pencurian, perampokan bahkan ada pembunuhan, ujar Amung prihatin.
Rasionalotas dan kedekatan hubungan itula yang membuat Babel bersatu tanpa prasangka antar kelompok masyarakat. Misalnya, terpilihnya Basuki T. Purnawa alias Ahok sebagai Bupati Belitung Timur beberapa tahun silam.
Di Belitung dinamika politik lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Bangka. Kedai-kedai kopi yang menjadi saran silaturahim warga buka hingga larut malam. Bahkan, Manggar ibukota Belitung Timur (Beltim) dijuluki Kota 1001 Kedai Kopi, Kedai kopi dipadati warga yang sibuk berbicang beragam hal dari soal ekonomi hingga politik.
Ahok terpilih sebagai Bupati Beltim yag 90 persen masyarakatnya adalah suku Melayu. Pertimbangan yang digunakan pemilih adalah rasionalitas dan pengakuan terhadap kedekatan hubungan lintas komunal.
Ahok dan keluarganya dikenal dekat dengan masyarakay jauh sebelum euforia otonomi daerah ataupun pemekaran kabupaten. Anhar seorang warga Babel yang berasal dari kubu politik Masyumi mengaku Ahok dipilih karena amal perbutannya sangat menyentuh hati warga.
“Keluarganya sangat dengan masyarakat, ada warga yang memasang bendera kuning pertanda kematian, meski tidak dikenalnya akan dikunjungi. Itu terjadi sebelum pemekaran daerah. Kedekatan dan prilaku baik itu menjadikan masyarakat menghormati Ahok,” kata Anhar.
Kebangkitan Identitas
Namun, Rektor Universitas Bangka Belitung Bustami Rachman mengatakan ada gejala kebangkitan identitas kesukuan.
Kebangkitan itu dipicu oleh politisasi isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) oleh sebagian elite Babel.
“Pilkada 2007 diwarnai pemanfaatan isu rasial untuk kepentingan politik, sebagian orang Tionghoa Babel khahwatir keterlibatan salah satu dari mereka di politik akan membahayakan yang lain,” ujarnya.
Kekhawatiran itu tidak lepas dari indoktrinasi selama Order Baru yang menciptakan kesan Tionghoa tidak masuk politik. Orang-orang peranakan itu hanya boleh begerak di sektor swasta.
“Sebagian orang Melayu dan Tionghoa seolah mempertahankan pandangan itu sampai sekarang. Walau tidak pernah muncul letupan besar, gejala kebangkitan identitas itu ada,” ujarnya.
Anggota DPD dari Babel, Bahar Buasan, tidak menampik hal tersebut. Namun, baginya itu bukan isu yang harus dibesar-besarkan walau bukan berarti dikesampingkan.”Jangankan berbeda suku, orang yang lahir dari ibu yang sama saja punya perbedaan. Pertanyaannya, mau memperbesar pebedaan itu atau justru mencari persamaan lalu memanfaatkannya untuk modal bersama,” ujarnya.
Persaingan politik di Babel sejauh ini secara umum masi dibangun di atas semangat,”Tong Ngin Phang Ngin jit Jong,” ibarat guru demokrasi dan keberagaman di Republik Indonesia tanpa dikotori perilaku elite politik yang membenturkan rakyat dengan menjadikan perbedaaan sebagai sarana pemecah belah.[Litbang Kompas December 5, 2011]
PERGOLAKAN DEMI TIMAH TERULANG LAGI (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 3)
Posted by admin on December 7, 2011
April 1812, Perang Napoleon antara Perancis-Belanda dan Inggris merambat ke wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Inggris di bawah Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Kolonel Robert Gillespie menyerbu Kesultanan Palembang pimpinan Mahmud Badaruddin II itu demi menguasai timah di Bangka.
Raffles dalam berbagai surat kepada Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto, menegaskan pentingnya menguasai Bangka karena kekayaan timahnya. Oleh karena itu, setelah menggilas pasukan Napoleon di Jawa yang dipimpin Jean Guillaume (dalam bahasa Belanda disebut Jan Willem) Janssens, Raffles mengarahkan pasukan ke Palembang yang kala itu menguasai penambangan timah di Bangka dan lama berkongsi dengan Belanda lewat perdagangan lada (Piper nigrum) dan timah.
Serangan Raffles itu membuktikan timah sudah mempunyai nilai ekonomi dan politik sejak dulu. Kini, 199 tahun sejak aksi militer Raffles, nilai itu tetap bertahan di Bangka dan Belitung. Bahkan, nilai itu semakin kuat selepas Bangka dan Belitung membentuk provinsi sendiri yang terpisah dari Sumatera Selatan pada 2000.
Reinout Vos dalam buku Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the Tightrope of Diplomacy in the Malay World 1740-1800 terbitan KITLV Belanda tahun 1994 dengan gamblang memaparkan betapa penguasaan timah menjadi salah satu faktor penentu dalam persaingan ekspansi serikat dagang Eropa dan sejumlah Kesultanan di sekitar Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Dewasa ini, relasi timah dan politik, antara lain diakui mantan anggota DPRD Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Hazil Ma’ruf. Semasa menjadi anggota DPRD Bangka, ia pernah didatangi pengusaha kapal isap pasir timah. Pengusaha itu membawa uang tunai ratusan juta rupiah. Uang tersebut akan diberikan kepada Hazil kalau dia mau mendukung pengoperasian kapal isap di perairan Pesaren, Bangka, yang merupakan wilayah konstituennya.
”Saya menolak tawaran itu karena kompensasi untuk konstituen tidak jelas. Pengoperasian kapal isap akan menghancurkan daerah tangkapan warga Pesaren yang hampir seluruhnya nelayan. Para nelayan bertekat melawan, bahkan kalau perlu, membakar kapal isap timah,” paparnya, Rabu (23/11), di Belinyu, Bangka.
Bentrokan antara petambang timah dan kelompok nelayan memang tidak mengada-ada. A Kioen, nelayan warga Pesaren, mengaku, meski tidak ada kapal isap yang beroperasi di dekat mereka, keberadaan kapal isap timah pada musim tertentu mengakibatkan tangkapan merosot tajam akibat keruhnya air laut di pesisir Pesaren.
Sumbangan politik
Presiden Asosiasi Timah Indonesia Hidayat Arsani mengatakan tidak dapat ditampik, pengusaha timah banyak menyumbang kepada politisi di Bangka Belitung. Namun, ia tidak menjawab tegas apakah sumbangan itu diiringi permintaan untuk menyukseskan bisnis timah atau tidak. ”Politik perlu biaya. Di Bangka Belitung, sebagian biaya itu disumbang oleh pengusaha timah. Mereka menyumbang ke semua tokoh dan partai politik yang dihitung sebagai biaya ’pengamanan’ investasi,” tuturnya.
Bahkan, sejumlah pengurus parpol adalah pengusaha timah. Fakta itu, ujar Hidayat, adalah salah satu jalur lain dana timah masuk politik. ”Tidak salah kalau kader menyumbang ke partai sendiri. Ada juga pengusaha yang bukan pengurus partai,” ujarnya.
Tawaran kepada Hazil dan pengakuan Hidayat itu salah satu dari sekian banyak transaksi politik untuk menyukseskan penambangan timah di Bangka Belitung. Namun, sebagian besar politisi dan pengusaha menolak mengakui secara tegas apa yang disampaikan Hazil dan Hidayat.
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Eko Maulana Ali termasuk yang menyanggah hal itu. Menurut dia, tak ada transaksi apa pun untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok antara politisi dan pengusaha timah. Transaksi masih tahap normatif sesuai kewenangan. ”Saya minta pengusaha timah membangun rumah sakit, membantu rumah ibadah, biaya pendidikan. Transaksi untuk kepentingan pribadi tidak ada,” ujarnya.
Sandaran ekonomi
Eko tidak membantah jika timah termasuk faktor prioritas dalam pengambilan keputusan di Bangka Belitung. Hal itu lebih didasari pada kenyataan bahwa timah sebagai penggerak utama perekonomian Bangka Belitung. Badan Pusat Statistik Bangka Belitung mencatat, timah berperan hingga 70 persen dalam perekonomian Bangka Belitung.
Eko juga menyatakan sudah sering mendengar tuduhan dirinya sebagai pemicu penambangan timah ilegal atau lazim disebut TI. Tudingan itu tidak lepas dari penerbitan Surat Keputusan Bupati Bangka Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum. SK itu disahkan Eko semasa menjadi Bupati Bangka. ”Keputusan saya didasarkan pada situasi saat itu. Rakyat butuh penghasilan dan ada sumber daya alam yang belum dimanfaatkan,” tuturnya.
Sebelum SK No 6/2001 terbit, sejak masa Kesultanan Palembang hingga masa PT Timah, penambangan timah adalah monopoli pemerintah dan perusahaan yang ditunjuknya. Di masa Orde Baru, warga petambang liar timah harus siap masuk penjara.
Setelah Eko menerbitkan SK No 6/2001, penambangan skala kecil bermunculan di penjuru Bangka Belitung. Aktivitas itu diikuti kehadiran ratusan penjual alat tambang dan puluhan pabrik peleburan timah swasta yang menampung pasir timah dari penambangan skala kecil. Bahkan, induk koperasi polisi (inkopol) pernah menjadi penjual resmi peralatan tambang dan penampung pasir timah.
Pasir timah disalurkan ke total 28 pabrik peleburan di Bangka Belitung. Inkopol adalah salah satu pedagang pengumpul pasir timah yang menyetor ke pabrik. Salah seorang pedagang pengumpul di Belinyu, A Hiong Lohan, menuturkan, penambangan kecil berkontribusi pada perekonomian lokal. Sebaliknya, petambang bermodal besar dari luar Bangka mengirimkan hasil kerjanya ke daerah asal.
”Penambangan besar, seperti lewat kapal isap, hanya mengeruk saja. Hasilnya dibawa ke luar. Penambangan kecil ini adalah cara warga Bangka menikmati kekayaan alamnya setelah bertahun-tahun menjadi penonton,” tuturnya.
Hidayat tidak membantah sinyalemen tersebut. Setiap bulan pada 2011, rata-rata nilai ekspor timah Bangka Belitung Rp 2 triliun. Namun, tidak seluruh uang itu berputar di Bangka Belitung. ”Sebagian diinvestasikan pemilik modal ke daerah asalnya di luar Bangka Belitung, baik di dalam maupun di luar negeri. Hasil dari kapal isap paling banyak dibawa ke luar Bangka Belitung, bahkan ke luar Indonesia karena sejumlah pemilik sahamnya orang asing,” tuturnya.
Sebaliknya, hasil penambangan kecil berputar di sekitar wilayah penambangan. Hasil penambangan kecil memicu percepatan pertumbuhan perekonomian. ”Sampai 2000, jumlah mobil di Belinyu bisa dihitung dengan jari. Orang tahu mobil A punya siapa. Sejak warga bebas menambang, sudah tidak terhitung berapa jumlah mobil di sini,” ujar A Hiong.
Tak sedikit pula pelajar yang bisa membeli kendaraan sendiri. Mereka mendapatkan uang dengan cara mencari timah di tumpukan limbah tambang sepulang sekolah atau lazim disebut melimbang oleh warga Bangka. ”Dalam sehari bisa dapat rata-rata satu kilogram. Dari melimbang, mereka sudah dapat uang hingga Rp 100.000 per hari saat harga bagus,” tuturnya.
A Hiong menegaskan, petambang kecil siap diatur. Namun, pemerintah harus adil dengan mengatur pula izin kapal isap. ”Saya sering baca berita, jumlah kapal isap jauh lebih banyak dibandingkan dengan izin operasi yang ada. Apa itu namanya kalau bukan hasil kongkalikong pejabat, politisi, dengan pengusaha besar?” ujarnya.[Kompas December 7, 2011]
PEMAIN PANGGUNG POLITIK (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 4)
Posted by admin on December 7, 2011
Cukong timah dan penguasa lokal adalah satu entitas penguasa di Bangka-Belitung, terutama di Bangka yang dipenuhi tambang, baik di daratan maupun lautan. Keberadaan para cukong yang saling menyokong dengan penguasa itu memberikan warna baru pada lanskap politik Bangka pasca-penetapan otonomi daerah sepuluh tahun silam.
Partisipasi atau sumbangan para cukong timah membanjiri pundi politikus lokal. Sebaliknya politikus lokal juga menyediakan kemudahan dan perizinan tambang. Skala usaha yang paling menguntungkan dan menghasilkan pemain kakap di industri timah kini adalah kapal isap yang beroperasi di perairan Bangka.
Kalau di masa keemasan industri gula di Jawa para pengusaha kakap dikenal sebagai Baron Gula, kini dikenal Baron Timah yang menjadi pengusaha kakap bisnis timah di Bangka. Salah satu Baron Timah yang juga Presiden Asosiasi Timah Indonesia Hidayat Arsani tidak segan mengakui kerap memberi sumbangan kepada sejumlah pejabat sipil, polisi, dan tentara di Provinsi Kepulauan Babel.
Hidayat membantah sumbangan itu gratifikasi, apalagi penyuapan. Bantuan itu kerap diberikan kepada pejabat yang menempuh pendidikan lanjut atau perlu kebutuhan lain. ”Saya membantu Indonesia mendapat pejabat yang lebih baik. Bagaimana mereka mau konsentrasi sekolah kalau di rumah beras habis. Saya bantu sekadar untuk ongkos ke tempat pendidikan lanjutan atau untuk belanja di rumah,” ujar pria yang mengaku pernah jadi preman ini.
Namun, dia tidak membantah pernah membantu mempromosikan pejabat tertentu. Bantuan itu diberikan dengan alasan sejumlah pejabat tidak pandai melobi. ”Saya hanya menyampaikan apa kompetensi seseorang. Selanjutnya terserah gubernur atau bupati mau memakai orang itu atau tidak,” tuturnya.
Sejumlah pengusaha timah juga menjadi politikus. Sebutlah Ismiryadi dan Ernawan Rebuin yang menjadi Ketua dan Wakil Ketua DPRD Babel 2009-2014. Ismiryadi aktif di PDI-P, sementara Ernawan kader Partai Golkar. Sebelum terjun ke politik, keduanya mendirikan pabrik peleburan bijih timah.
Meskipun selalu menyatakan sebagai pengusaha timah dalam berbagai kesempatan, Ismiryadi menegaskan sudah memisahkan perannya antara sebagai politikus dan sebagai pengusaha.
Potret politikus
Bupati Bangka periode 1998-2007 yang menjadi Gubernur Babel periode 2007-2012 Eko Maulana Ali tidak membantah pernah mengajak Ismiryadi dan Ernawan mendirikan pabrik peleburan timah. Sejumlah pengusaha mendirikan pabrik selepas Eko mengesahkan SK Bupati Bangka No 6/2001 tentang Pengelolaan Penambangan Umum. Menurut Eko, SK itu menjadi salah satu penyebab dirinya dituding sebagai pelindung tambang ilegal. ”Saya akan buat buku, menjawab tudingan itu,” ujarnya.
Selepas menang pemilu gubernur 2007, purnawirawan anggota TNI AL berpangkat kolonel ini jadi aktor terkuat di panggung politik Babel. Sebagai Ketua DPD Partai Golkar Babel, ia jadi patron bagi bupati sekaligus Ketua DPD Golkar Bangka Tengah Erzaldi Rosman Djohan yang putra Wali Kota Pangkal Pinang (1989-1993) Rosman Djohan.
Di sekeliling Eko ada Elly Rebuin yang menjadi staf khusus gubernur dan Ernawan dalam status anggota DPRD Babel dari Golkar. Ernawan dan Elly, saudara Wali Kota Pangkal Pinang periode 1993-1998 Sofyan Rebuin, hampir selalu terlihat di sekitar Eko. Elly kerap menjadi representasi Eko dalam berbagai pertemuan dengan aneka kelompok. Jejaring Eko masih ditambah dengan Noorhari Astuti, anggota DPD 2009-2014 yang juga istri Eko. Banyak warga Babel mengakui, gaya komunikasi Noorhari yang supel menciptakan citra kedekatan warga dengan keluarga gubernur.
Sebagai calon petahana pada Pemilu Gubernur Babel 2007- 2012, Eko disokong Golkar, PDI-P, dan PKS. PKS menyatakan dukungan beberapa hari sebelum pendaftaran. Sebelumnya, PKS berkomunikasi dengan Yusron Ihza Mahendra yang akan diusung PBB sebagai calon gubernur.
Namun, komunikasi itu terhenti dan Yusron merapat ke PPP. PKS menjajaki kemungkinan mengusung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan Bupati Belitung Timur dan anggota Fraksi Golkar di DPR 2009-2014. Namun, akhirnya PKS melabuhkan pilihan politiknya pada pasangan Eko-Rustam Effendy yang sudah diusung Golkar-PDI-P.
Sementara Yusron, anggota keluarga Ihza dari Belitung Timur, sudah pasti menggandeng Bupati Bangka Yusroni Yazid yang merupakan kader PPP dalam Pemilu Gubernur Babel 2012. Yusron, satu dari lima adik mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, mencoba menambah rekam jejak keluarga Ihza di kancah politik. Meski diwarnai dukungan dari pebisnis timah, para kandidat gubernur juga menjual isu pembangunan Bangka pasca-pertambangan Timah.
Salah satu kuda hitam sebagai calon gubernur adalah Zulkarnain Karim yang kini Wali Kota Pangkal Pinang. Zul, demikian kader Partai Demokrat itu akrab disapa, mengaku, para pengusaha timah berpartisipasi pada parpol secara merata. ”Tentu saja mereka membantu di mana-mana agar usaha juga lancar. Saya pribadi mendorong agar bisnis timah di Bangka berkembang bersama usaha lain, seperti budidaya perikanan agar masyarakat memiliki alternatif pendapatan. Strategi itu penting karena di sejumlah daerah, seperti Kota Pangkal Pinang dan Pulau Belitung, tidak beroperasi kapal isap timah yang dapat mengganggu mata pencaharian nelayan,” kata Zulkarnain.
Dinasti politik?
Menurut Rektor Universitas Bangka Belitung Bustami Rachman, Babel belum punya dinasti politik. Sebagai provinsi, Babel baru berusia 11 tahun dan belum cukup waktu bagi kelompok-kelompok politik membangun kekuatan menjadi dinasti. ”Masih mencari bentuk,” tuturnya.
Hal lain, Babel nyaris tidak mengenal kerajaan. Kesultanan Palembang yang mengklaim sebagai penguasa Bangka selama ratusan tahun praktis hanya berpengaruh pada jalur-jalur perdagangan timah. Hal itu menumbuhkan budaya egaliter yang tidak mengenal otoritas, cikal bakal dinasti politik. Apalagi, selama bertahun-tahun Babel tidak pernah dilibatkan dalam pergulatan politik regional dan nasional. ”Babel hanya dimanfaatkan,” ujarnya.
Fakta itu membuat tidak ada warisan kekuatan politik yang mengakar di Babel. Hal itu menjelaskan mengapa Babel tidak seperti daerah pemekaran lain yang jadi ajang pembentukan dinasti oleh kekuatan politik yang tersingkir dari daerah induk. Namun, seiring pengaplingan dan eksploitasi timah yang menghasilkan segelintir elite pengusaha, kelihatannya pola patron-klien antara pengusaha kakap dan elite politikus bisa jadi akan membentuk kelompok-kelompok politik di Babel.
Saat ini, Bupati Belitung Timur Basuri, kerabat dekat mantan Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama, muncul di panggung politik lokal. Demikian pula Yusron Ihza Mahendra maju dalam pencalonan gubernur Babel 2012. Inikah tanda-tanda terbentuknya dinasti politik?[KompasDecember 7, 2011]
DI LUAR PANGGUNG TIMAH (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 5)
Posted by admin on December 8, 2011
Naskah (17) memaksakan senyum saat ditanya bagaimana kelanjutan Suku Sawang di Bangka Belitung. Sebagai putra Kepala Suku Sawang di Desa Juru Seberang Menan (60), dia termasuk orang yang gelisah dengan kelanjutan orang laut dari Bangka Belitung tersebut.
Naskah ditakdirkan sebagai orang laut sejak lahir. Pemuda bertubuh besar itu lahir di perahu yang tengah berlayar di Selat Gaspar, penghubung Pulau Bangka dengan Pulau Belitung. Sejak kecil, dia bermain, mencari makan, dan mencari penghasilan dari laut. ”Saya ke darat karena sedang jenuh di laut. Sedang musim angin barat, ombak tinggi. Biasanya, beberapa hari ke darat lalu ke laut lagi berminggu-minggu,” ujarnya pada pertengahan November 2011 di Belitung.
Ketangguhannya sebagai orang laut bisa dilihat antara lain dari kesanggupannya menyelam selama lebih dari 30 menit hanya dengan udara dari kompresor pompa ban. ”Ayah saya malah cukup modal kacamata kecil, bisa menyelam 15 menit lebih tanpa ambil napas. Begitulah cara orang laut mencari nafkah,” ujarnya.
Namun, semakin sedikit orang laut benar-benar menggantungkan hidup dari laut. Di Desa Juru Seberang tersisa 40 keluarga suku Sawang. ”Saya tidak ingat ada bantuan pemerintah untuk Suku Sawang. Orang-orang Sawang yang sudah bercampur dengan suku lain tak bekerja di laut lagi,” ujarnya.
Ketua RT 06 Desa Juru Seberang Ardiansyah (28) membenarkan hal itu. Sebagian besar orang Sawang di Belitung menjadi buruh angkut di pelabuhan. Sangat sedikit orang Sawang yang tetap menjadi nelayan atau orang-orang yang mencari penghasilan dari laut. ”Orang Sawang di sini hampir tak pernah mendapat bantuan pemerintah. Bantuan lebih banyak ke Kampung Laut yang sebagian besar bukan orang Sawang asli dan tidak lagi hidup dari laut,” tuturnya.
Memang, bantuan dari pemerintah disikapi dengan sangat hati-hati. Dua kali pemerintah mencoba mengubah orang Sawang menjadi orang darat. Pada dekade 1970-an, pemerintah memukimkan orang Sawang di Kampung Laut. Sekarang nyaris tidak ada orang Sawang di kampung itu hidup dari laut.
Pada 1985, pemerintah mencoba memukimkan orang Sawang di Juru Seberang. Sebanyak 20 rumah semipermanen dibangun dan sebagian masih dipakai hingga kini. Mereka diminta menyerap cara-cara hidup orang Melayu yang lebih berbasis daratan. ”Kalau mau membantu, sesuaikan dengan kebutuhan kami sebagai orang laut,” ujar Naskah.
Warga Belitung lainnya, Ramsi (67), mengatakan tidak terlalu hirau dengan hiruk-pikuk politik. Dia pernah aktif berpolitik di masa Orde Lama dengan menjadi anggota organisasi kepemudaan. Namun, prahara politik pada 1965 membuatnya susah. ”Saya diperiksa dan dicurigai bertahun-tahun berdasarkan daftar hadir pertemuan yang hanya sekali saya ikuti. Saya hadir sebagai tamu dan berstatus anggota organisasi lain,” ujarnya.
Sejak itu, ia memilih menjauh dari politik praktis dan menyibukkan diri mencari nafkah. Sebagai warga sipil biasa, harapannya hanyalah jaminan keamanan dan kestabilan situasi. ”Saya pedagang dan rakyat kecil, tahu susahnya hidup kalau situasi tidak stabil. Para politisi silakan saja bersaing berebut kursi. Namun, jangan sampai persaingan itu merusak ketenteraman warga. Saya hanya ingin berdagang dengan tenang,” ujarnya.
Mengandalkan laut
Warga Pulau Belitung adalah potret konsistensi kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam yang lambat laun digerus pertambangan timah di laut. Mereka secara umum menolak beroperasinya kapal isap timah. Bahkan, beberapa waktu lalu, masyarakat mendemo pejabat setempat karena mendengar ada pemberian izin bagi kapal isap timah di perairan Belitung.
Walhasil, hingga kini, perairan Belitung aman dari eksploitasi timah di lautan yang mengganggu ekosistem laut. Warga mengandalkan perikanan dan wisata sebagai sumber pendapatan. Ikon sebagai ”Negeri Laskar Pelangi” dimanfaatkan betul oleh warga Belitung yang mencoba menjual keindahan pantai dan keberagaman kehidupan masyarakat Melayu dan Tionghoa yang digambarkan oleh novelis Andrea Hirata di Desa Gantung, Belitung Timur.
Warga Pulau Bangka juga banyak yang tidak sekadar menggantungkan hidup dari bisnis timah, terutama kapal isap timah yang notabene dikuasai segelintir pengusaha besar dan bermitra dengan oknum pejabat daerah dan pusat.
Baru-baru ini, seribu lebih warga Bangka Belitung alumni Sekolah Budi Mulia berkumpul merayakan ulang tahun ke-77 yayasan sekolah Katolik tersebut. Banyak alumnus Budi Mulia dari suku Melayu dan Tionghoa yang merantau ke luar daerah menghadiri reuni tersebut. Sebutlah musisi Idang Rasjidi, Irjen Polisi (Purn) Chairul Rasjid, hingga sejumlah pengusaha terkenal di Jawa yang ternyata memiliki akar di Jawa.
”Banyak juga orang Bangka nonbisnis timah yang sukses. Waktu reuni kemarin selama dua hari, alumni mengumpulkan dana hingga lebih dari Rp 1 miliar untuk disumbangkan ke Yayasan Budi Mulia,” kata Hongky yang bekerja sebagai arsitek di Pangkal Pinang.
Kisah sukses warga Bangka perantauan memang patut dipuji. Bahkan, salah satu konglomerasi besar di Surabaya, seperti grup usaha Wings, juga dimiliki keluarga Katuari yang berasal dari Bangka.
Itu kisah sukses para perantau. Warga kecil yang tidak berkecimpung di sektor pertambangan timah, semisal Wayan Rana yang tinggal di lokasi transmigrasi di Desa Sumber Jaya Permai, Kecamatan Batu Tumpang, Kabupaten Bangka Selatan, optimistis mampu meraih sukses dengan budidaya sawit dan karet serta kebun buah-buahan di wilayahnya. ”Kami warga Bali dan warga asal Pulau Jawa yang pindah sejak 1996 mulai menikmati hasil budidaya tanaman di sini,” kata Rana yang juga menjabat sebagai sekretaris desa.
Di utara Pulau Bangka, tepatnya di Belinyu, banyak warga masih mengandalkan kehidupan nelayan atau berwiraswasta mengandalkan hasil laut, seperti industri kerupuk dan otak-otak yang menjadi ciri khas Bangka. Hendi Bong, pengusaha kerupuk di Belinyu, mengaku akan terus menjaga usaha yang diwariskan keluarga dan tidak terpikir untuk banting setir ke bisnis timah. Setiap hari, dia mampu memproduksi puluhan kilogram kerupuk dengan bahan baku beragam dari ikan tenggiri hingga jenis ikan lain.
Zulkarnain Karim, Wali Kota Pangkal Pinang, secara tegas mendukung kegiatan ekonomi nontimah. ”Kita jangan berbicara Bangka Belitung pascatimah. Kegiatan ekonomi nontimah harus berjalan simultan. Budidaya perikanan dan perkebunan harus dihidupkan. Terbukti banyak warga masih bisa mendapatkan penghasilan di luar penambangan timah,” katanya.[Kompas December 8, 2011]


BELITUNG, POLITIK BHINEKA (KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG 6)
Posted by admin on December 8, 2011
Keberadaan Pulau Belitung tidaklah setenar Pulau Bangka dalam percaturan politik nasional. Meski demikian, dari Manggar, Belitung Timur, muncul sejumlah tokoh nasional, bahkan internasional.
Sebutlah Yusril Ihza Mahendra sebagai tokoh politik dari kelompok Islam. Selain itu, dari kecamatan itu hadir pula Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit, petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) semasa Orde Lama. Sementara itu, selepas Reformasi 1998, publik juga mengenal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Tionghoa pertama yang menjadi Bupati Belitung Timur, lalu calon Gubernur Bangka Belitung, dan kini anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Aidit, Yusril, dan Ahok seolah menjadi bukti keragaman dalam dunia politik di Belitung. Aidit dibesarkan dalam keluarga yang aktif di Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah satu partai Islam besar di masa Orde Lama. Namun, pilihan politiknya mengantarkan dia menjadi Ketua PKI.
Lalu, muncul Yusril, pendebat tangguh sejak mahasiswa, yang pernah dicap sebagai komunis sehingga membuatnya dijauhi Orde Baru. Padahal, sejak muda, Yusril cenderung memilih Masyumi, dan hal itu diwujukan dengan mendeklarasi Partai Bulan Bintang (PBB), yang diklaim sebagai penerus gagasan Masyumi.
Pengamat politik dari Belitung, Rosihan Sahid, mengatakan, Belitung dalam sejarah politik memang cenderung ”hijau” sejak pemilu pertama digelar tahun 1955. Namun, bukan berarti partai Islam sukses mengakar di Belitung.
”Warga Belitung tidak terlalu mempertimbangkan ideologi partai. Warga lebih memperhatikan rekam jejak tokoh dan keluarga mereka dalam jangka panjang,” ujar Rosihan, yang juga kerabat Aidit itu.
Rekam jejak itu terlihat pada keluarga Yusril Ihza, Aidit, dan Ahok. Ayah Aidit, yakni Abdullah Aidit, lebih dikenal sebagai pendidik dan tokoh agama ketimbang tokoh politik. Abdullah Aidit, antara lain, mendirikan madrasah di Tanjung Pandan, Belitung.
Sementara itu, ayah dan paman Yusril Ihza adalah pemuka agama terkemuka di Manggar. Ayahnya lama menjadi penghulu. Pamannya kerap membantu memandikan jenazah.
Keluarga Ahok dikenal sebagai donatur tanpa pamrih. ”Mereka kerap membantu siapa saja meski tidak kenal. Bantuan itu diberikan kapan saja, bukan hanya mendekati pemilu untuk mencari dukungan sesaat,” tutur Rosihan lagi.
Dengan bekal rekam jejak keluarga itu, mereka mudah mendapatkan dukungan saat masuk ke kancah politik. Publik Belitung cenderung mengikuti pilihan politiknya sesuai hati nurani. Namun, kecenderungan itu bukan tanpa didasari sikap kritis. Ahok dan keluarganya tidak mengandalkan dukungan primordial. Ahok dipilih oleh masyarakat Melayu yang merupakan bagian terbesar penduduk Kabupaten Belitung Timur karena pertimbangan rasional dan bukan sektarian yang membedakan orang berdasarkan suku ataupun keyakinan.
Anhar, seorang warga Melayu asal Belitung Timur yang aktif di organisasi Masyumi, mengaku sepenuh hati mendukung Ahok dalam pencalonan Bupati Belitung Timur lalu. ”Kami melihat hati dan amalan seseorang. Itulah kenapa banyak orang mendukung Ahok,” kata dia.
Demokrasi warung kopi
Warga Belitung memiliki ruang demokrasi terbuka untuk membangun daya pikir kritis dan dewasa. Ruang itu terutama di meja warung kopi yang tersebar di sejumlah penjuru. Warung kopi di Manggar dan Tanjung Pandan adalah tempat diskusi utama orang Belitung. Mereka membahas apa saja, mulai dari pengurusan aneka surat terkait pemerintah, gosip politik, sampai pencuri di kampung.
Warung demi warung dan meja demi meja di ajang demokrasi harian itu secara spesifik menjadi ruang partisipasi rakyat membahas segala sesuatu. Peminat politik akan bergabung dengan kelompok yang berbincang politik. Peminat bisnis akan bergabung dengan sesama orang yang sedang membahas peluang dan perkembangan bisnis. Warung demi warung berdiri berdampingan memberi ruang pendidikan politik ala Belitung itu. Semakin malam, suasana di warung kopi pun kian hangat.
Bahkan, orang Belitung lebih percaya kabar yang didapatkan di warung kopi dibandingkan dengan dari media massa. ”Kalau mau tahu apa yang terjadi di Belitung, tidak perlu melihat berita televisi atau membeli koran. Datang saja ke warung kopi,” ujar Akuan (45), seorang pelanggan warung kopi Ake di Tanjung Pandan.
Di warung kopi, penjual sayur sampai anggota DPRD mempunyai hak berbicara yang sama. Mereka menyampaikan pandangan masing-masing atas suatu masalah. ”Kami bisa mendapat beragam pandangan di sini. Sedikit banyak, itu membantu membuat keputusan,” ungkap Akuan lagi.
Kekritisan orang Belitung juga terbangun oleh trauma peristiwa 1965. Saat ini, seperti di sejumlah wilayah Indonesia, banyak orang tiba-tiba dipenjara atau paling sedikit diperiksa bertahun-tahun oleh aparat. Sebagian dari mereka memang aktif di PKI dan organisasi sayapnya. Sebagian cuma karena pernah terdaftar hadir saat ada pertemuan yang diselenggarakan PKI atau organisasi sayapnya.
”Saya sekali ikut rapat Pemuda Rakyat dan hadir sebagai anggota organisasi pemuda lain. Namun, nama saya masuk daftar. Setelah 1965, bertahun-tahun saya diperiksa militer,” imbuh Ramsi (66), warga Tanjung Pandan.
Setelah kejadian itu, Ramsi memilih menjauh dari hiruk-pikuk politik. Dia hanya berdiskusi tentang banyak hal, termasuk politik, di warung kopi. Karena itu, dia sama sekali tidak mau terlibat politik dalam bentuk apa pun. ”Buat apa berpolitik kalau ujung-ujungnya terborgol,” tuturnya.
Itulah dinamika politik Belitung. Kemeriahan warung kopi di Belitung tidak tertandingi oleh dinamika di Bangka, yang memiliki banyak juragan timah bermodal besar. Masyarakat nelayan dan petani Belitung lebih memiliki kesadaran berpolitik yang rasional. Tokoh pembentukan Provinsi Bangka Belitung, Amung Tjandra Chen, berulang kali menegaskan nilai strategis Belitung. ”Bangka tidak berarti tanpa Belitung. Ikrar pembentukan Bangka Belitung dilakukan di Belitung,” ujarnya.
Warga dan dunia politik Belitung mungkin bagian kecil di Bangka Belitung, tetapi penting dan penuh dinamika.[Kompas December 8, 2011]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar